Home > Anthropology > Atas Nama Pembangunan Dan Kemajuan : Negara, Pasar Dan Hutan

Atas Nama Pembangunan Dan Kemajuan : Negara, Pasar Dan Hutan

November 18th, 2015

Teritorialisasi adalah konsep yang dapat digunakan untuk melihat proses bergesernya kekuasaan masyarakat Siberut terhadap hutan. Proses ini mengandalkan pembuatan peta, sensus, pendaftaran jumlah permukiman, penetapan batas hutan, dan penggolongan kawasan dengan penilaian tertentu dan penciptaan undang-undang (Vandergeest dan Peluso 1995:388; 2006). Setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, campur tangan pemerintah terhadap tempat-tempat seperti Siberut semakin mendapat pembenaran melalui wacana masyarakat terasing dan kebutuhan akan pembangunan (Tsing 1998). Negara menguatkan klaim untuk campur tangan resmi melalui empat hal (Li 2002), yaitu : 1) penentuan status sebagian besar lahan sebagai hutan, 2) pembangunan perkebunan skala besar dan permukiman transmigrasi, 3) pengaturan pemukiman migran spontan, 4) pemukiman kembali kelompok yang disebut sebagai masyarakat terasing ke desa-desa yang dikelola secara tertib.

Rezim Kehutanan Orde Baru

Di Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi berbeda setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU Kehutanan). James Scott (1998) menyebut proses ini sebagai “state simplification” di mana negara mengklasifikasikan penduduk dan lanskap, dan menjadikan mereka sebagai objek observasi dan sasaran intervensi. Orde Baru memulai kampanye kepemerintahannya dengan meluncurkan kebijakan pembangunan yang lebih tepat diartikan sebagai pembangunan ekonomi. Untuk mencapainya, negara menggunakan dua strategi (Li 2002, 2007). Yang pertama, pertumbuhan yang menekankan aspek pengelolaan sumber daya alam. Kedua, pemerintah melaksanakan kebijakan untuk memfasilitasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi berorientasi ekspor. Cara untuk memperlancar pemanfaatan hutan ini adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang memfasilitasi masuknya modal asing, khususnya modal terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Dua tahun setelah pemberlakuan UU Kehutanan, pemerintah memperluas eksploitasi sumber daya hutan di pulau-pulau di luar Jawa dengan pembukaan besar-besaran area pengambilan kayu komersial (Casson dan Obidzinki 1991). Pada 1980, Menteri Pertanian memberi arahan kepada pemerintah provinsi di luar Jawa untuk membuat Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) untuk penyelesaian masalah intersektoral (McCarthy 2002). Melalui TGHK, hutan di klasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu : 1) Suaka Alam atau Kawasan Konservasi, 2) Hutan Lindung, 3) Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas dan 4) Hutan Konversi. Siberut tidak luput dari jangkauan kebijakan negara tersebut. Dalam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut, negara mengumumkan seluruh area di Siberut adalah Kawasan Hutan Negara (KWN) (WWF 1980). Sementara cadangan kayu yang melimpah, penduduk setempat yang terbelakang adalah ancaman aktual bagi kelestariannya. Sebagai jawaban atas masalah ini, pemerintah menerapkan program pemukiman kembali dan memberikan hak konsesi hutan kepada perusahaan kayu untuk “meningkatkan kesejahteraan” masyarakat lokal dan “mengurangi kerusakan hutan” karena budaya perladangan berpindah. Departemen Kehutanan merasa bahwa pemberian Hak Penguasaan Hutan dan program pemukiman adalah proyek yang paling tepat untuk mengurangi kerusakan hutan akibat perladangan berpindah sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Siberut.

Eksploitasi Kayu Siberut

Usaha mengeksploitasi hutan Siberut pernah dilakukan pada abad ke-18 semasa Raffles (Coronese 1986; Marsden 2008) dan semasa Belanda pada awal abad-20 (Hansen 1917 dalam Person 1997) namun tidak berlangsung lama. Siberut tidak pernah dikategorikan sebagai unit administrasi yang dikontrol ketat (Asnan 2007) dan dijadikan “political forest” (Vandergeest dan Peluso 2001; 2006) oleh pemerintah kolonial. Usaha menciptakan kawasan hutan negara secara lebih efektif dimulai dengan mengirimkan tim survei ahli kehutanan untuk mencari justifikasi ilmiah bagi pengelolaan hutan Siberut. Atmosoedarjo (1969, 1970) dan Subagio (1972, 1973) keduanya merupakan lulusan UGM dan IPB. Hasil survei tersebut menunjukkan, cadangan jenis-jenis kayu komersial yang ada di hutan Siberut cukup melimpah, terutama yang diameternya berada dalam kisaran di bawah50 cm. Meskipun hasil survei telah mengingatkan bahwa penebangan hutan Siberut tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan, kedua rimbawan tersebut memberi rekomendasi bahwa hutan Siberut bisa ditebang dengan beberapa syarat, yaitu melakukan sistem tebang pilih dan hanya untuk pohon berdiameter lebih dari 50 cm dan berada di hutan yang telah masak. Tahap pertama penebangan kayu berlangsung pada 1972 sampai 1993. Mitchell (1982) melaporkan adanya pelanggaran tata batas di kawasan suaka alam oleh perusahaan kayu. Teknik penebangan kayu di Siberut adalah dengan sistem kabel. Sistem ini membuat semak dan pohon muda terkena dampak penyeretan balok kayu tebangan oleh kabel sehingga kerusakan sangat tinggi. Meskipun ada kekhawatiran dampak negatif pembalakan kayu, sampai dekade 1990-an ekosistem hutan tropis dataran rendah masih bertahan di sebagian besar wilayah Siberut, terutama di kawasan-kawasan perbukitan. Fakta ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, studi mengenai dampak penebangan kayu tidak dilakukan sehingga batas-batas kerusakan akibat penebangan tidak pernah diketahui. Kedua, eksploitasi hutan di Siberut tidak sepenuhnya berlangsung sukses.

Reaksi-Reaksi Terhadap Penebangan Kayu

Pada awalnya masyarakat Siberut tidak banyak menaruh perhatian terhadap kehadiran perusahaan kayu. Akan tetapi, lambat laun, pembalakan kayu mendekat ke ladang-ladang penduduk setempat. Protes-protes mulai terdengar sejak dekade 1990-an. Laporan Cohen (1992) menyebutkan, penduduk Siberut mengeluh karena kehilangan tanaman-tanaman yang bernilai sosial, kultural, dan ekonomi seperti durian, toktuk, pusinoso, peigu, sagu, elagmata, dan rambutan akibat penebangan. Dalam sebuah diskusi sore hari pada 2006, salah satu informan dari Desa Katurei mengatakan, kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan kayu telah mengganggu kehidupan spiritual. Sistem pengangkutan kayu dengan kabel telah menyebabkan pohon-pohon yang dikeramatkan, terutama pohon yang telah ditandai dengan gambar tertentu (kirekat). Orang Siberut melihat bahwa bekerja di perusahaan kayu menjadi cara mereka untuk menambah pengalaman atau menghilangkan kebosanan bekerja di kampung. Kehadiran perusahaan kayu di Siberut tidak sesederhana masuknya gagasan baru tentang bagaimana hutan harus dimanfaatkan dan ditransformasikan. Adanya perusahaan kayu juga mengendapkan pandangan tentang komodifikasi produk-produk hutan dalam diri orang Siberut. Lambat laun, orang Siberut sendiri bisa memanfaatkan hutan dengan teknologi baru atau dengan cara baru yang berbeda dengan pandangan dan cara lama. Dalam skala kecil, pandangan tentang hutan yang bernilai ekonomi mendorong terjadinya perilaku yang mengubah tabu-tabu dan pantangan. Penduduk Siberut menerapkannya dengan semakin intensif mengumpulkan rotan dari hutan-hutan primer yang dulunya dianggap berbahaya untuk didatangi tanpa melakukan lia. Melalui perusahaan kayu, penduduk Siberut belajar tentang keunggulan teknologi dalam memanfaatkan hutan. Mereka mulai mengenal gergaji mesin sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan kayu untuk rumah atau sampan. Berdasarkan peraturan, perusahaan kayu sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk membantu penduduk lokal melalui program pemberdayaan desa. Semenjak 1980-an, masalah-masalah lingkungan akibat perusahaan kayu mulai dilihat oleh aktivis lingkungan dan pembangunan. Dampak ekologis penebangan hutan yang diabaikan pada dekade 1970-an mulai diperhatikan dan dikampanyekan para pejuang pelestarian alam. Elite-elite terdidik, peneliti, dan juga aktivis lingkungan menyerukan adanya keadilan bagi penduduk Siberut. Pemberian fasilitas publik dan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur harusnya dipenuhi oleh pemerintah. Pembangunan yang eksploitatif terhadap lingkungan dan ketidakadilan pemerataan bagi warga Siberut menjadi sasaran tembak bagi aktivis lingkungan. Kelompok-kelompok lingkungan nasional dan global meminta kepada pemerintah untuk melakukan moratorium penebangan hutan di Siberut, mengingat degradasi alam di Siberut semakin parah.

Penetrasi Pasar : Pasang Surut Hasil Hutan dan Pertanian

Meningkatnya kontrol negara terhadap hutan yang diiringi dengan semakin intensifnya pembangunan, penetrasi pasar, dan meningkatnya gelombang migrasi ke Siberut telah mentransformasikan cara pandang orang Siberut terhadap kehidupan sehari-hari. Hasil hutan nonkayu dan kayu dari hutan dilihat sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tercukupinya kebutuhan dan hasrat-hasrat unruk meningkatkan standar hidup yang lebih tinggi. Tanaman komersial menjadi bagian penting dari perubahan gaya hidup, aspirasi, maupun relasinya dengan dunia luar. Kelapa, rotan, cengkeh, gaharu, dan nilam mengambil peranan penting dalam perubahan hubungan manusia dengan hutan.

Kelapa dan Rotan

Kelapa dan rotan adalah komoditas paling tua yang diperdagangkan di Siberut. Para pedagang dari etnis tetangga telah membeli kelapa dari penduduk Siberut sejak abad ke-18 (Asnan 2007:168; Loeb 1972:168). Biasanya kelapa ditukar dengan kain, kelambu, barang-barang metal seperti periuk logam, parang, kapak dan lain-lain. Kelapa sendiri sudah lama di budidayakan oleh orang Siberut. Pada zaman kolonial, perdagangan kelapa dimulai melalui etnis tetangga, Minangkabau dan saudagar Bugis yang berlayar paruh waktu. Perdagangan semakin intensif ketika beberapa perantau Minangkabau mengusahakan kebun kelapa di pantai pulau-pulau kecil di bagian timur awal abad ke-20. Para perantau leluasa memiliki waktu untuk mengawetkan kelapa menjadi kopra sehingga lebih menguntungkan. Meningkatnya permintaan kelapa yang dikeringkan (kopra) sebagai bahan baku minyak atau industri makanan merangsang orang Siberut mengakumulasikan kekayaannya dalam bentuk pohon kelapa. Selain kelapa, rotan adalah komoditas utama perdagangan Siberut. Rotan sudah diperdagangkan ke luar Siberut sejak abad ke-19 melalui perantara pedagang China, Melayu, dan Minangkabau (Asnan 2007). Pengaruh pasar menjadi lebih kuat sejalan dengan terikatnya penduduk Siberut ke dalam tatanan negara pascakemerdekaan. Penduduk Siberut mulai terintegrasi dengan pasar bersamaan dengan masuknya ide-ide tentang wacana kebangsaan dan nilai-nilai kebudayaan nasional. Sistem konsesi pengumpulan hasil hutan dimulai seiring dengan keluarnya UU Kehutanan 1967. Pada 1969, UU itu berlaku secara efektif. Pemerintah memberikan izin pemanfaatan rotan di Siberut kepada sejumlah perusahaan yang seluruhnya dimiliki oleh para pendatang.

Pasang Surut Tanaman Komersial

Cengkeh

Tidak semua pendatang Minangkabau berprofesi tunggal sebagai pedagang. Sebagian lain fokus menanam cengkeh pada awal 1950-an. Cengkeh disukai karena menghasilkan buah sepanjang musim. Cengkeh bisa dicampur dengan durian dan tanaman buah di pumonean. Pada awalnya, warga Siberut tidak terlalu menaruh perhatian karena penjualan kelapa dan rotan jauh lebih menguntungkan. Namun, setelah para pendatang sukses menikmati panen cengkeh awal 1960-an. Harga cengkeh yang meninggi pada 1970 direspon cepat warga Siberut.

Gaharu dan nilam

Dalam bahasa lokal, gaharu disebut sebagai simoitek. Secara tradisional tanaman ini tidak banyak mendapat perhatian karena kualitas kayunya yang tidak terlalu bagus untuk  konstruksi  rumah dan sampan. Pasar gaharu melibatkan jaringan sebagai berikut: masyarakat Siberut sebagai pengumpul, pedagang perantara yang kebanyakan etnis Minangkabau, Nias, dan Batak serta para pemodal yang umumnya keturunan Tionghoa yang mengendalikan perusahaannya dari Padang atau Pekanbaru. Gaharu diekspor ke Singapura, Timur Tengah, Hongkong, dan Jepang. Sebelum adanya perdagangan gaharu, penduduk Siberut tidak mengetahui nilai komersial pohon gaharu di pasaran global. Banyak pencari gaharu mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar. Gaya hidup sehari-hari dan pola makan pun berubah. Pada awal 1990-an, ekspor gaharu menyusut drastis. Habisnya gaharu dan jatuhnya harga cengkeh mengalihkan perhatian penduduk Siberut untuk mengolah nilam. Masyarakat mengenal nilam sebagai obat tradisional radang sendi atau untuk cuci rambut bagi perempuan. Harga nilam di pasar regional tidak pernah stabil. Fluktuasinya sangat cepat dan seringkali drastis. Peluang pasar mengubah pemaknaan orang Siberut terhadap tanaman-tanaman yang dianggap inferior seperti sagu. Sagu dikenal sebagai makanan pokok dan keberadaannya dihubungkan dengan kehidupan subsisten. Banyak dongeng dan mitos Mentawai mengesankan sagu sebagai tanaman spiritual. Namun tidak lama berselang, oleh rangsangan orang luar yang di wakili oleh pengusaha, s

Categories: Anthropology Tags:
Comments are closed.