IHWAL DIALEKTOLOGI

IHWAL DIALEKTOLOGI

 Bahasa mempunyai sistem dan sub-sistem yang dipahami sama oleh pendukungnya. Namun, karena pendukung bahasa merupakan kumpulan manusia yang beragam, wujud bahasa menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi bervariasi. Untuk mengkaji hal variasi bahasa lahirlah cabang ilmu linguistik yang disebut dialektologi. Kajian mengenai dialektologi ini dipaparkan mulai dari istilah yang digunakan, sejarah lahir, sampai pada perkembangan kajian dialektologi.

A. Istilah Dialektologi

Dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat. Kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertetangga tetapi menggunakan sistem yang erat hubungannya. Sementara itu, dialektologi berasal dari paduan kata dialek yang berarti variasi bahasa dan logi  berarti ilmu. Berdasarkan etimologi kata itu, dialektologi adalah ilmu yang mempelajari dialek atau ilmu yang mempelajari variasi bahasa. Chambers dan Trudgill (1980:3) mengatakan bahwa dialektologi adalah suatu kajian tentang dialek atau dialek-dialek. Geografi dialek adalah cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dari semua aspeknya (Zulaeha, 2010:1). Aspek bahasa yang dimaksud mencakupi fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon serta semantik.

Dilihat dari cakupan ilmu yang membawahinya, dialektologi merupakan sebuah cabang dari kajian linguistik yang timbul antara lain karena dampak kemajuan kajian linguistik komparatif atau linguistik diakronis. Dialektologi juga dikenal dengan nama geografi dialek atau geolinguistik. Kedua nama itu muncul  karena adanya penyempitan bidang kajian dialektologi ‘ilmu tentang variasi bahasa’ kini menyempit menjadi telaah variasi bahasa secara spasial. Distribusi variasi bahasa secara geografis pada dasarnya berhubungan erat dengan linguistik bandingan karena keduanya sama-sama mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya, dialektologi cenderung memaparkan hubungan antarragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang tempat terwujudnya ragam-ragam itu pada saat penelitian itu dilakukan sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat diperiksa kebenarannya (Lauder, 2001:1).  Dalam dialektologi, hasil akhir analisisnya secara diakronis mengacu pada prabahasa yang berupa pemetaan bahasa sebagai visualisasi sehingga kebenarannya dapat diperiksa, sedangkan linguistik bandingan, hasil akhirnya mengacu pada proto bahasa yang berupa asumsi sebagai hasil rekonstruksi sehingga kebenarannya sulit dibuktikan (Zulaeha, 2016:2).

B. Sejarah Kelahiran Dialektologi

Dialektologi lahir pada waktu adanya pengaruh oleh aliran Romantik di Eropa terhadap bidang linguistik yang mengilhami gagasan untuk melestarikan bahasa-bahasa yang dianggap lebih wajar dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu itu terdapat pandangan yang berasumsi bahwa bahasa-bahasa baku tidak mencerminkan keaslian karena terdapat banyak penyimpangan dari bahasa yang wajar yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat penuturnya. Hal itu terkait dengan temuan hukum perubahan bunyi tanpa kecuali oleh Kaum Neogrammarian. Perubahan bunyi tersebut dimungkinkan dapat menyebabkan suatu dialek mengalami kepunahan. Jika dihubungkan dengan keadaan sebelumnya, hal itu dapat dipahami karena terdapat penilaian tentang adanya bahasa yang bagus (bahasa baku) dan bahasa yang tidak bagus (dialek). Kemudian timbul reaksi untuk menentang pandangan serupa itu. Misalnya, di Italia ada upaya menerjemahkan cerita klasik Italia berjudul de Cameron ke dalam dua belas dialek bahasa Italia. Semula cerita itu tersimpan dalam bahasa Latin Klasik yang dipandang sebagai bahasa yang indah, mulia, dan berprestise tinggi. Oleh karena itu, Italia dipandang sebagai tempat awal lahirnya kajian dialektologi.

Dari kajian Linguistik Komparatif, sebagaimana dikemukakan oleh Meillet (1967:69; Zulaeha, 2010:3) mula-mula diperkirakan bahwa bahasa asal atau protobahasa dari bahasa-bahasa sekerabat merupakan bahasa yang satu atau seragam (ada suatu kesatuan). Hal itu berpengaruh terhadap pandangan untuk mengupayakan adanya suatu bahasa baku yang lebih mendukung kesatuan dan persatuan. Selain itu, istilah dialek dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa di Yunani yang terdapat perbedaan-perbedaan bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak menghalangi mereka untuk merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, Meillet (1967:70; Zulaeha, 2010:3) berpendapat bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan atau keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain ciri khusus yang dikemukakan Meillet, ada dua ciri umum yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek merupakan seperangkat bentuk ujaran lokal (setempat) yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan  masing-masing lebih saling mirip dibandingkan dengan  bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet, 1967:69; Zulaeha, 2010:3).

Dialek-dialek tidak selalu meliputi semua bentuk ujaran suatu bahasa secara lokal. Misalnya dialek bahasa Jawa di daerah Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri mempunyai ciri-ciri yang sama dengan dialek bahasa Jawa Solo-Yogyakarta, akan tetapi bukan dialek bahasa Jawa Solo-Yogyakarta. Dialek-dialek tersebut merupakan identitas daerah setempat meskipun terdapat kesamaan ciri-ciri akibat kontak antarpendukung masing-masing dialek (Zulaeha, 2010:4). Kemudian dalam perkembangannya, salah satu dialek yang kedudukannya sederajat itu secara bertahap diterima sebagai bahasa baku (standar) oleh seluruh penutur di daerah pakai (daerah yang penuturnya menuturkan) dialek-dialek itu. Faktor-faktor yang menentukan dalam penobatan atau pengakuan suatu dialek menjadi bahasa baku adalah politik, budaya, dan ekonomi. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang juga turut menentukan, misalnya faktor historis (Meillet, 1967:72). Dalam bahasa Jawa, dialek Solo-Yogya dinobatkan menjadi dialek baku karena ditentukan oleh faktor politik, budaya, dan ekonomi pada saat kejayaan kerajaan Jawa yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta. Karena faktor historis tersebut, sampai sekarang dialek Solo-Yogya masih diakui sebagai dialek baku dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Sunda, dialek Bandung dinobatkan sebagai bahasa baku. Hal itu disebabkan oleh faktor politik, budaya, dan ekonomi. Bandung atau ‘Bumi Siliwangi’ merupakan pusat politik, budaya, dan ekonomi pada masa kerajaan Padjadjaran. Bahkan, sampai sekarang Bandung merupakan pusat budaya Sunda sekaligus pusat budaya inovasi (pembaruan) dalam bahasa Sunda. Bahasa Sunda di kota Bandung oleh Ayatrohaedi (1979:9) disebut sebagai basa sakola ‘bahasa sekolah’ atau basa Sunda lulugu yang dapat dijadikan tolok ukur atau bahasa Sunda standar.

C. Perkembangan Kajian (Mazhab) Dialektologi

Mula-mula kajian dialektologi berkembang di Eropa, yakni Italia kemudian berkembang di Jerman dan Perancis. Karena itu Italia adalah tanah kelahiran dialektologi. Kajian dialektologi kemudian menyebar ke India, Amerika, dan berbagai negara lainnya termasuk Indonesia.                                     

  1. Perkembangan Kajian Dialektologi di Jerman

Kajian dialektologi mulai berkembang sesudah tahun 1875 semenjak upaya pemahaman tentang perubahan bahasa secara diakronis terhadap sistem bahasa yang meliputi berbagai tataran kebahasaan (meliputi fonetik-fonologi, leksikon, gramatika, dan semantik) semakin maju. Lehmann (dalam Fernandez, 1993/1994:5) menggunakan istilah geografi dialek (dialect geography) untuk menyebut kajian dialektologi.

Tahun 1876 seorang filsuf Jerman bernama Gustav Wenker, pertama kali membuat pemetaan dialek bahasa Jerman untuk membuktikan teori kelompok Jung Grammatiker yang mencetuskan Ausnahmslasigkeit de Lautgesetze yaitu ‘hukum perubahan bunyi tanpa pengecualian’. Pemetaan itu dilakukan dengan cara mengirimkan angket yang berisi empat puluh kalimat melalui jasa pos kepada para guru sekolah di Rhenian yang disertai dengan petunjuk pengisian. Kalimat-kalimat itu diterjemahkan oleh para guru ke dalam dialek setempat, sehingga  Wenker dapat menjaring variasi fonetis bahasa Jerman dialek Rhenian. Kemudian hasil analisisnya dipetakan ke dalam enam buah peta. Dengan metode yang sama, Wenker melakukan penelitian lagi tahun 1877 di  titik pengamatan Weshalia, tahun 1879 di sebagian Jerman Utara dan Jerman Tengah, dan 1887 melakukan penelitian ke daerah lain yang masih termasuk daerah kekuasaan Jerman. Akhirnya, dengan cara tersebut Wenker berhasil menghimpun variasi fonetis dari seluruh wilayah Jerman yang meliputi sekitar 40.000 titik pengamatan dan menghasilkan sebuah peta bahasa Jerman yang disebut Deutscher Sprachatlas. Pemetaan itu memerlukan waktu sekitar lima puluh tahunan untuk menggeneralisasikan data sebelum dipetakan. Setelah itu, penelitiannya diarahkan pada pencarian hubungan yang ada di antara masalah luar bahasa yang dapat menyebabkan timbulnya ragam-ragam bahasa.

Upayan yang dilakukan Gustav Wenker dikecam oleh banyak ahli karena hanya merupakan hasil rekonstruksi atau pupuan sinurat menurut Ayatrohaedi (1978:31) yang menggunakan empat puluh kalimat sederhana sebagai alat penjaring keragaman fonetis sehingga validitas dan reliabilitas temuannya diragukan. Seharusnya, penelitian itu dilakukan dengan menggunakan metode penelitian lapangan atau pupuan lapangan (Ayatrohaedi 1978:33; Zulaeha, 2010:6). Pemetaan dengan sistem mengirimkan angket yang berupa daftar tanyaan yang jumlahnya kurang dari 200 buah seperti itu dapat disebut pemetaan bahasa mazhab Jerman. Di Indonesia, mazhab Jerman itu dianut oleh Ayatrohaedi (1978) dalam melakukan penelitian dialek-dialek bahasa Sunda. Ia menamai cara penelitian mazhab Jerman dengan istilah metode pupuan sinurat.

2. Perkembangan Kajian Dialektologi di Perancis

Tahun 1875 ada anjuran dari Gaston Paris agar melakukan penelitian yang terperinci mengenai dialek-dialek di seluruh wilayah Perancis. Bahkan, Paris juga menganjurkan agar membuat peta fonetik untuk seluruh Perancis. Pemikiran Gaston Paris inilah yang mendorong geografi dialek bertumpu pada peta-peta bahasa sehingga geografi dialek tidak lagi menempel pada linguistik bandingan.

Tahun 1880, orang Swiss yang berbahasa Prancis bernama J.L. Gillieron menyambut anjuran Gaston Paris dengan melakukan penelitian di daerah Vionnaz, Swiss kemudian melanjutkan penelitian di daerah Rhone. Ia mengunjungi 43 desa guna mencari keterangan tentang daftar tanyaan sebanyak 200 pertanyaan. Bidang yang menjadi sasarannya adalah fonetik. Tahun 1897 Gillieron dan Edmont melakukan penelitian geografi dialek di seluruh wilayah Perancis. Penelitian itu menghasilkan peta bahasa Perancis yang disebut Atlas Linguistique de la France pada tahun 1902-1910. Peta bahasa itu merupakan hasil penelitian lapangan secara langsung yang dijaring dari 639 titik pengamatan (2% dari semua tempat yang berbahasa Perancis) dengan menggunakan 1920 tanyaan leksikal dan 100 tanyaan kalimat. Berbeda dengan peta bahasa Jerman, peta bahasa Perancis ini membutuhkan waktu empat tahun untuk menyelesaikan proses pemetaan bahasa tanpa digeneralisasikan terlebih dahulu (Pop dalam Lauder, 1993:28). Pemetaan bahasa dengan melakukan penelitian lapangan secara langsung dan dengan menggunakan daftar tanyaan leksikon dan kalimat yang berjumlah lebih dari 200 buah ini disebut pemetaan mazhab Perancis. Ayatrohaedi (1978) menggunakan istilah metode pupuan lapangan untuk hal yang sama.

Dalam perkembangan selanjutnya, metode penelitian geografi dialek mazhab Jerman hanya berkembang di beberapa negara saja, antara lain Swiss di bawah pimpinan Stalder, Cekoslowakia di bawah pimpinan Vazny, Finlandia di bawah pimpinan Lonnrot dan Castren, Hungaria di bawah pimpinan Zulnat dan Erdely, Yunani di bawah pimpinan Pernot, dan Denmark di bawah pimpinan Marius Kristensen. Sebaliknya, metode penelitian geografi dialek mazhab Perancis berkembang di berbagai negara.

3. Perkembangan Kajian Dialektologi di India

Penelitian bahasa India dilakukan pada tahun 1927. Penelitian yang dipimpin oleh Gierson itu bertujuan memetakan bahasa-bahasa di India. Dalam penelitian itu, Gierson berhasil mengetahui bahwa di India terdapat 179 bahasa dan 544 dialek. Akhirnya, penelitian itu menghasilkan sebelas peta bahasa yang mengikuti metode penelitian yang dikenal di Inggris, yaitu metode mazhab Perancis. Di India, metode penelitian mazhab Perancis lebih berkembang karena peneliti secara langsung dapat mengetahui konteks atau jiwa data dialek yang dituturkan oleh informan. Bahkan, peneliti dapat mengidentifikasi bunyi yang menjadi kekhasan dialek yang dituturkan oleh informan sehingga analisis fonologis dengan cepat dapat segera dilakukan.

 4. Perkembangan Kajian Dialektologi di Amerika

Tahun 1939 Amerika melakukan pemetaan bahasanya yang pertama di bawah asuhan Hans Kurath. Pemetaan bahasa di Amerika bermula karena para guru tidak tahu dengan pasti pelafalan mana yang dianggap baku dan yang seharusnya diajarkan kepada para siswa. Masalah para guru itu berkembang menjadi masalah “Manakah yang disebut dialek dan mana pula yang dapat disebut bahasa baku?” Untuk itu, para ahli dialektologi Amerika segera melakukan penelitian geogrefi dialek. Dalam pemetaan itu Kurath memasukkan strata sosial sebagai dasar pemetaannya. Dengan demikian, Amerika adalah negara pertama yang melakukan pemetaan bahasa berdasarkan strata sosial dengan menggunakan metode penelitian mazhab Perancis (Kurath, 1972).

 5. Perkembangan Kajian Dialektologi di Indonesia

Penelitian-penelitian geografi dialek bahasa daerah di Indonesia telah banyak dilakukan meskipun jumlahnya belum sebanding dengan jumlah bahasa daerah di Indonesia. Tahun 1990 baru 15 buku hasil penelitian geografi dialek yang telah diterbitkan dari 54 penelitian yang telah dilakukan (Lauder, 1993:31) mencakupi bahasa-bahasa di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara. Sementara itu, hasil-hasil penelitian geografi dialek yang belum diterbitkan tercatat 39 buah, mencakupi bahasa-bahasa di Jawa (28,20%),  Bali  (25,65%), Sulawesi (23,08%), Sumatera (10,25%), Kepulauan Nusa Tenggara (7,69%), dan Kalimantan (5,13%). Adapun bahasa-bahasa di wilayah kepulauan Maluku dan Papua Barat belum tergarap.

Pertanyaan Diskusi

  1. Ilmu apakah yang paling berkaitan dalam sejarah kelahirannya?
  2. Semboyan dialektologi yang menjadi ciri utamanya adalah perbedaaan dalam kesatuan dan kesatuaan dalam perbedaaan. Apakah maksudnya?
  3. Dalam dialektologi terdapat aliran atau mazhab Jerman dan mazhab Perancis. Bagaimanakah perbedaan kedua mazhab tersebut?
  4. Kajian dialektologi di India mengikuti mazhab apa? Siapakah yang pertama kali mengembangkan kajian dialektologi di India? Hal-hal apakah yang menjadi penanda keikutsertaannya pada mazhab tersebut?
  5. Kajian dialektologi di Amerika mengikuti mazhab apa? Siapakah yang pertama kali mengembangkan kajian dialektologi di Amerika? Hal-hal apakah yang menjadi penanda keikutsertaannya pada mazhab tersebut?
  6. Kajian dialektologi di Indonesia mengikuti mazhab apa? Hal-hal apakah yang menjadi penanda keikutsertaannya pada mazhab tersebut?
  7. Gambarkan hubungan interseksi antara dialektologi dengan linguistik, linguistik historis komparatif, sosiolinguistik, geografi, dan sejarah! Berilah penjelasannya secara singkat!

Daftar Pustaka

Ayotrahaedi. 1979. Dialektologi. Jakarta: Depdikbud.

Fernandez, Inyo Yos.1993/1994. Dialektologi. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Kurath, Hans. 1972. Studies in Area Linguistics. Bloomington: Indiana University Press.

Lauder, Multamia R.M.T. 2001. “Perkembangan Kajian Dialektologi di Indonesia”. Makalah Pelbba 15, Jakarta 24-25 Juli.

 

Meillet, Antoine. 1970. The Comparative Method in Historical Linguistics. Paris: Librairie Honore Champion.

Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi, Dialek Geografi & Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zulaeha, Ida. 2016. Teori Dialektologi, Dialek Sosial dan Regional. Semarang: Unnes Press.