Sejarah Tradisi Carok Pada Masyarakat Madura.

Awalnya pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok. Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M hingga menjadi Tradisi di Pulau Madura. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, orang- orang di Jawa Timur mulai berani melakukan perlawanan pada Belanda. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan. Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari kalau pelawanan tersebut dihasut oleh Belanda.

Tradisi warisan leluhur mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.

Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.

Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filosofi hidupnya, bahwa bila ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri, Istilah khas nya di Jawa Timur dan Madura, “daripada putih mata lebih baik putih tulang” artinya, “lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu”. Maka tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam itu akhirnya memasyarakat bagi para keturunan orang Jawa Timur dan Madura di Jawa Timur, di Kalimantan, di Sumatra, di Irian Jaya, di Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, suka kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Inilah akibat dari Warisan kolonial Belanda.

Sesungguhnya masyarakat Madura memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri, Leluhur mereka bertujuan melawan kolonial penjajahan Belanda di Tanah Jawa Timur dan Pulau Madura. Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok yang selalu menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bahwa sesungguhnya adalah Warisan Kolonial Belanda hasil rekayasa Kolonial Belanda.

 Cara Menyelesaikan Sengketa Masyarakat Madura Tanpa Menggunakan Carok.

Secara umum, dipersepsikan persengketaaan akan muncul karena adanya konflik antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat. Dan masing-masing pihak yang bersengketa kurangnya bukti-bukti dan saksi-saksi sehingga tidak mungkin untuk di selesaikan kejalur peradilan. Oleh sebab itu pihak yang bersengketa, hanya bisa bicara, bersikukuh pada dalil masing-masing dan tidak mempunyai yang lengkap untuk mencari fakta yang benar, maka mereka menyelesaiakan sengketa melalui sumpah pocong. Bahwa persengketaan masalah harta waris, tanah, persaingan bisnis, utang piutang dan gangguan terhadap istri pada orang Madura diselesaikan melalui Carok. Namun tidak semua persengketaan itu diselesaikan melalui kekerasaan dalam hal ini Carok. Untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan, bisa dilakukan dengan jalan persahabatan dan perdamaian yaitu melalui sumpah pocong sebagai upaya penyelesaian sengketa. Pelaksanaan sumpah pocong selalu dilaksanakan di Masjid. Pada faktanya, pelaksanaan sumpah pocong selalu di Masjid karena akan menambah keyakinan bagi orang yang di sumpah dan memiliki keampuhan dari sumpah pocong tersebut. Sumpah pocong pada masyarakat Madura dalam menyelesaikan sengketa memiliki makna, sehingga hal ini sangat mempengaruhi pelaksanaannya. Dalam memaknai sesuatu peristiwa seperti sumpah pocong, maka pengertian makna itu sendiri adalah nilai yang digunakan sebagai pedoman oleh seseorang atau masyarakat untuk berperilaku, hal ini biasanya diikuti dengan suatu tuntutan emosional. Secara emosional seseorang atau suatu masyarakat merasa perilaku tertentu adalah benar dan perilaku yang lain salah.(M.Fauzi.S, 2008)

 Peran Ulama dan Tokoh Masyarakat Madura dalam Penyelesaian Sengketa.

Tujuan dari diciptakannya hukum adalah agar terciptanya suatu keadaan yang teratur didalam suatu masyarakat. Masyarakat zaman sekarang sudah semakin kompleks tidak lagi seperti dulu yang gampang masuk pengaruh asing dan diserap oleh masyarakat tersebut. Adalah suatu yang wajar bila suatu masyarakat baik yang berskala kecil dalam lingkup suku bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa mengadopsi nilai-nilai asing melalui berbagai tranmisi kebudayaan, tetapi hal ini tentunya akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan individu-individu yang menjadi elemen pendukung komunitas masyarakat tesebut termasuk dalam hal kesadaran mematuhi norma-norma yang merupakan sumber hukum tidak tertulis dalam masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran norma-norma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi sebagai pengendali kontrol sosial yang membuat keadaan tetap damai telah dilanggar. Bentuk-bentuk pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama karena konsepsi batas-batas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif, berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu sendiri bersifat relatif(Soetandio W, 1982).

Mengenai masyarakat Madura di Indonesia, telah menunjukan betapa identiknya Islam dan pentingnya peranan ulama atau kyai dalam kehidupan orang Madura. Pengaruh Agama Islam terhadap unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada hubungan yang erat antara ulama dengan anggota masyarakat. Besarnya peranan Islam dan ulama atau kyai di dalam kehidupan orang Madura tidak hanya diperlakui oleh masyarakat umum tetapi juga pihak pemerintah Indonesia. Dalam konteks rancangan pembangunan misalnya, pihak ulama atau kyai yang lazimnya didekati untuk mengetahui pandangan masyarakat Madura. Selain unsur tersebut, bahasa dan budaya Madura merupakan unsur yang penting untuk membedakan mereka daripada etnik lain yang terdapat di Jawa Timur.  Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa agama Islam, ulama atau kyai dan bahasa Madura dapat dianggap sebagai asas kepada pembentukan identitas Madura.(Soetandio W, 1982).

NB: Artikel ini merupakan penjelasan dari kebudayaan masyarakat Madura, termasuk dalam materi masyarakat multikultural dan majemuk.