Setelah masa SMA berakhir maka jenjang selanjutnya adalah perguruan tinggi. Peralihan dari sebutan siswa atau siswi menjadi mahasiswa. Menjadi seorang mahasiswa berarti harus hidup mandiri (kost). Hidup jauh dari orang tua dan mengurus segala keperluan seorang diri. Selain itu juga harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru baik itu cara belajar, tempat tinggal, dll.

Bertempat tinggal di kost bertemu dengan orang-orang asing kadang menimbulkan konflik batin. Konflik itu seakan-akan menjadi ospek kost bagi sebagian besar mahasiswa baru. Itulah yang saya alami di awal-awal menempati kost. Kost saya terdiri dari dua lantai. Lantai pertama terdiri dari tiga kamar tidur dan lantai kedua terdiri dari enam kamar.

Lantai pertama berasal dari Tegal sedangkan lantai dua mayoritas berasal dari Rembang. Bila kami bertatap muka kami saling senyum, tetapi dibalik itu ada “sesuatu”. Bila salah satu lantai ada kegiatan yang membuat keadaan menjadi berisik pasti lantai lainnya akan membalas. Contohnya ketika anak-anak di lantai satu ada semacam reuni kecil-kecilan di teras kost, dilantai atas langsung memutar musik dengan suara yang cukup keras.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya itu dikarenakan perbedaan kebudayaan yang jelas berbeda. Yang menjadi kewajaran bagi orang Tegal belum tentu menjadi kewajaran pula bagi orang Rembang. Karena hal itulah kita mengalami sedikit “goncangan” pada kebudayaan lain. Untuk mengatasi hal tersebut menurut saya yaitu saling menurunkan ego masing-masing dan berusaha menghargai dan menghormati orang lain. Selain itu dengan bertambahnya waktu dan intensitas saling mengenal keadaan itu dapat berkurang. Dan terbukti keadaan yang kurang harmonis sekarang sudah membaik.

NB: Artikel ini merupakan laporan hasil pengamatan etnografi yang saya lakukan pada kos. Dilaksanakan guna pemenuhan mata kuliah Pengantar Antropologi semester 1.