Manusia dan Kebudayaan

images ekologi

Keanekaragaman Makhluk Manusia dan Kebudayaannya
Kebangkitan kembali terhadap studi kesusasteraan dan ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi klasik pada abad XVI di Eropa, atau yang disebut dengan Renaissance. Pada saat itu Eropa mengalami zaman Aufklaarung atau pencerahan. Pada zaman inilah yang berkembang aliranpemikiran positivisme. Gordon Childe menyatakan tingkat kebudayaan paling tinggi manusia terjadi saat terjadi revolusi industri di Inggris pada abad XVII. Sejak saat itulah kebudayaan berkembang sangat pesat seolah melupakan evolusi fisik dari manusia, dan para cendekiawan masih menempatkan bangsa diluar Eropa sebagai contoh orang yang tingkat perkembangan kebudayaannya berada pada tahap awal.
Konsep Kebudayaan
Sejak 1871, E.B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. telah muncul pembatasan konsep kebudayaan karena kompleksnya bentuk kebudayaan dan pengetahuan mengenai kebudayaan juga terus berkembang. Sementara itu Radcliffe Brown memberikan batasan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh konsep fakta sosial oleh Emile Durkheim. Struktur sosial adalah dasar utama masyarakat, budaya termasuk didalamnya, sehingga untuk memahami struktur sosial masyarakat harus dirumuskan melalalui fakta sosial di masyarakat. untuk kepentingan studi tentang struktur sosial, sistem kekerabatan dipakai sebagai titik pangkalnya, dengan harapan didapatkannya pendekatan mikro khas antropologis terhadap struktur sosial masyarakat dapat dipakai untuk memecahkan masalah sosial budaya yang terjadi. Karenanya tugas antropologi harus mampu menyelami jiwa dari suatu kebudayaan dengan memperhatikan gagasan, perasaan dan emosi para individu suatu masyarakat. Sistem pemaknaan ini mempunyai dua aspek yaitu kognitif dan evaluatif. Aspek kognitif memungkinkan akan didapat sistem pengetahuan penganut kebudayaan dapat melihat dunianya, masyarakat bahkan dirinya sendiri. Sedangkan pemahaman terhadap aspek evaluatif akan diperoleh suatu pengetahuan tertentu yang ditransformasikan menjadi nilai-nilai yang pada gilirannya akan mengkristal menjadi sistem nilai.
Ekologi dan Homeostatis
Adaptasi menuntut pengembangan pola-pola perilaku yang akhirnya membantu oragnisme untuk memanfaatkan lingkungan hidup untuk kepentingannya. Kebudayaan merupakan sebuah gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Adaptasi mengacu pada interaksi antar perubahan yang ditimbulkan organisme pada suatu lingkungan dan sebaliknya. Suatu perubahan ekologi juga akan mempengaruhi manusia untuk menyesuaikan gagasan mereka, misal tentang kosmologi, suksesi politik, kesenian dll. Penerapan azas analisis ekologis yang digunakan untuk mengungkap azas tersebut pada manusia, sesungguhnya metode paling sederhana adalah memandang bahwa seluruh masyarakat sebagai suatu fenomena biotik seperti yang lain, kemudian menerapkan konsep ekologi itu secara langsung dan menyeluruh.
Terpelihara keseimbangan sistem atau homoestatis merupaka kekuatan pengatur perimbangan alam. Masuknya manusia sebagai suatu unsur dalm ekosistem tidak akan mengubah hakekat azas tersebut. Misalnya uraian Clark dalam Geertz yang jengkel dan membunuh anjing hutan yang memakan biri-biri yang masih kecil, hal ini kemudian menyebabkan berbagai hewan pengganggu seperti kelinci, tikus berkembangbiak dan memakan rumput di padang rumput, hingga akhirnya menyadari dan menghentikan pembunuhan terhadap anjing hutan. Tulisan Geertz tentang Mojokuto menyataan bahwa faktor ekologi, ekonomi dan sosial, kultural berperan dalam perubahan struktur sosial, perubahan dari suatu keseimbangan sosial atau homoestatis ke keseimbangan sosial lainnya.
Ekologi Budaya
Pendekatan ekologi pertama kali dilakukan oleh Julian H. Steward (1955) ia memakai istilah kultural ekologi yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan dengan suatu lingkungan geografi tertentu. Menurutnya ada bagian dari inti sistem budaya yang sangat responsif terhadap adatasi ekologis. Karenanya proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis akan secara langsung dapat mempengaruhi unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar mereka tetap produktif maka perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis tadi, harus menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali. Akhirnya, berbagai upaya pengaturan kembali tersebut akan berpengaruh pula terhadap struktur sosial mereka. Lebih lanjut Steward berpendapat bahwa hubungan antara kebudayaan dengan alam sekitar juga dapat dijelaskan melalui aspek-aspek tertentu dalam suatu kebudayaan sekalipun alam sekitarnya belum tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dari suatu bangsa-bangsa. Ia juga menyarankan bahwa suatu penelitian misalnya, tidak dibuat hipotesis bahwa alam sekitar sebagai faktor yang mempengaruhi kebudayaan.
Roy A. Rappaport berpendapat bahwa manusia dan lingkungannya sebagai suatu jaringan yang kompleks dan terwujud dalam sistem religi. Ahli antropologi juga menyadari bahwa lingkungan alam juga mempengaruhi kebudayaan sekalipun tidak selalu bersifat negatif. atas dasar tersebut maka Vayda dan Rappaport (1968) menggabungkan pendekatan ekologi budaya dengan ekologi biologis dengan tujuan memunculkan suatu disiplin ilmu ekologi. Menurut mereka sama halnya berbagai sub unsur kebudayaan atau traits kebudayan, pada awalnya traits biologis pun muncul sebagai akibat proses penyesuaian dengan alam mereka. Sesuai dengan konsep cultural core dari Haviland (1985), oleh karenanya yang merupakan pusat kajian ekologi budaya lebih berdasarkan pengalaman empirik, terutama yang paling erat hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan. Disamping teknologi dan lingkungan ada faktor lainnya seperti sistem politik da organisasi sosial yang menentukan bentuk-bentuk kehidupan suatu masyarakat, selain itu juga diperlukan ditelaah lebih lanjut aspek sistem pemerintahan dan sistem kepercayaan yang ada.
Determinisme Lingkungan dan Posibilisme
Di masa lalu studi tentang kebudayaan selalu ditekankan adanya keterkaitan perilaku manusia dengan lingkungannya (enviromental determinism). Sekalipun ada benarnya bahwa variasi kebudayaan manusia tidak terlepas dari pengaruh geografis, namun dalam perkembangannya, kalangan antropolog Amerika muncul pemikiran yang berlawanan. Kaum Possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaannya dipilih secara selektif atau jika tidak secara tidak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Untuk itu kaum possibilis berpendapat bahwa suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai sebab utama yang menyebabkan perbedaan suatu kebudayaan, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi dan beranggapan pada dasarnya faktor geografis tidak mungkin dapat membentuk suatu kebudayaan manusia. Sedangkan kaum enviromentalism lebih menekankan perilaku sosial budaya dalam proses pembentukannya lebih ditentukan oleh lingkungan alam tempat mereka tinggal.
Menurut Geertz ketidakpastian pendekatan berpangkal dari kurang kuatnya konsepsi dasar yang digunakan. Kedua pendekatan memisahkan antara karya manusia dan proses alam menjadi dua bidang pengaruh yang berlawanan, yaitu kebudayaan adalah sebagai karya manusia sedangkan lingkungan lebih pada proses alam. Dalam upaya melihat bagaimanakah hubungan keduanya secara menyeluruh dan saling mempengaruhi, jawaban yang didapat lebih bersifat umum, antar lain dikatan bahwa tidak sepenuhnya kebudayaan dipengaruhi oleh lingkungan atau pengaruhnya hanya sampai pada tingkat tertentu.

4 thoughts on “Manusia dan Kebudayaan

Leave a Reply to Dwi Rokhayati Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.