Pendahuluan

Laki-laki dan perempuan merupakan dua makhluk Yang Tuhan cipatakan untuk saling berdampingan. Dari pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dalam menjalankan kehidupannya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Dalam agama sekalipun,Tuhan tidak membedakan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kewajiban yang sama untuk beriman kepada Tuhannya serta sama-sama berhak mendaptkan pahala. Idealnya memang tidak ada pembedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Karena hal tersebut akan menimbulkan beberapa permasalahan-permasalahan yang acap kali hanya menguntungkan salah satu pihak.

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pernyataan yang telah disebutkan dalam paragraf pertama tersebut tidak sepenuhnya cocok. Idealnya antara laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan dalam hak dan kewajibannya, akan tetapi beberapa masalah mengenai ketidakadilan gender atau kesenjangan gender saat ini sangat mudah kita jumpai. Mungkin saja masalah-masalah tersebut sudah ada sejak lama, yang bahkan telah mendarah daging dan orang menganggap bahwa hal tersebut sudah menjadi “takdir”.

Ketidakadilan gender muncul ketika para cendekiawan melihat bahwa ternyata dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali masalah mengenai ketidakadilan gender, bahkan yang dianggap “takdir” sekalipun. Misalnya ketika kita melihat seorang Ayah menyuapi anaknya biasanya muncul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menjurus kepada ketidakadilan gender. Mengapa Ayahnya yang menyuapi? Kemana Ibunya? Hmm Kok aneh anak disuapi oleh Ayahnya. Kata-kata tersebut telah menggambarkan bahwa kita telah melakukan sebuah pandangan tentang ketidakadilan gender.

Contoh di atas merupakan hal yang sangat kecil dari kesenjangan gender. Semakin kita mengenal ketidakadilan gender maka akan semakin banyak pula masalah-masalah yang kita temukan. Di televisi misalnya, hampir setiap mengandirkan kisah-kisah mengenai ketidakadilan gender. Setelah mengetahui tentang kasus ketidakadilan gender seringkali kita tetap melakukan beberapa hal yang sebenarnya merujuk terhadap ketidakadilan gender. Lantas mengapa kita tetap melakukan hal tersebut? Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah, mengurangi, bahkan menyelesaikan kasus-kasus ketidakadilan gender? Dengan melihat beberapa kasus di atas maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa kasus yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan serta bagaimana kita menyikapi akan kasus tersebut.

Pembahasan

Indonesia merupakan salah satu Negara yang kini sedang melawan ketidakadilan gender dan menerapkan kesetaraan gender. Sebagai contohnya ialah dengan memposisiskan perempuan di kursi politik. Akan tetapi, cukupkah hal tersebut menjadi indicator bahwa di Indonesia kini tidak ada ketidakadilan gender? Beberapa masalah ketidakadilan gender kerap terjadi di Indonesia. Baik itu dalam bentuk stereotip, sub ordinasi, marginalisasi,beban ganda, dan kekerasan. Padahal ketika kita coba tarik ke belakang banyak pahlawan-pahlawan perempuan kita, yang memperjuangkan hak-hak perempuan seperti R.A Kartini, Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan masi banyak lagi yang lainnya.

Kenyataan yang ada pada saat ini yaitu masih banyak masalah-masalah yang hadir dimana salah satu pihak di rugikan. Sebenarnya dalam membahas mengenai ketidakadilan gender disini bukan menyalahkan salah satu pihak. Akan tetapi kadangkala sebagai manusia biasa kita hanya memberikan sebuah pernyataan yang memihak. Di bawah ini akan di bahas beberapa kasus ketidakadilan gender di Indonesia yang saat ini sedang ramai diperbincangkan yaitu prostitusi online dan tes keperwanan masuk POLRI/TNI bagi perempuan.

Prostitusi. Sebuah pekerjaan yang menjual belikan “perempuan” ini sangat banyak terjadi di Indonesia. Bahkan di beberapa tempat yang ada di Negara Indonesia sengaja dijadikan tempat prostitusi. Seperti Gang dolli yang beberapa saat yang lalu di tutup oleh Walikota Surabaya, Sunan Kuning, Baturraden, dan sebagainya. Pada beberapa pekan yang lalu juga muncul berita mengenai rumah kos yang dijadikan tempat prostitusi. Padahal banyak sekali masalah yang muncul dari adanya prostitusi mulai dari kesehatan hingga pembunuhan. Apalagi kini yang sangat ramai diperbincangkan adalah prostitusi online.

Dari kasus prostitusi online tersebut muncul beberapa hal yang berkaitan dengan gender. Selama ini ketika melihat berita mengenai prostitusi online tersebut sering kali perempuan menjadi sasaran biang dari adanya prostitusi online tersebut. Dalam siaran-siaran di televisi, hanya menyebutkan mengenai inisial-inisial artis yang menjadi penjual jasa dalam bisnis terlarang tersebut. Mulai dari AA, KP, SB, LM, dan masih banyak lagi yang lainnya. Secara cepat kita mengatakan bahwa perempuan-perempuan tersebut bersalah. Media juga agaknya memberikan sumbangsih yang besar dalam membentuk pemikiran seseorang. Semakin sering media memunculkan berita-berita mengenai hal tersebut, maka semakin besar pulaorang menyalahkan pihak perempuan.

Dari beberapa pernyataan di atas kemudian kita mulai berfikir kenapa yang selama ini diberitakan lalu diperiksa oleh pihak kepolisian adalah perempuan saja. Lalu kemanakah para laki-laki pengguna jasa langganan mereka? Bukankah ketika kita melihat kesalahan dari salah satu pihak saja itu tidak adil?

Hal di atas dapat dimasukan ke dalam salah satu bentuk ketidakadilan gender. Dimana secara tidak langsung media dan masyarakat pada umumnya menyalahkan pihak perempuan. Yang menjadi bulan-bulanan publik ialah pihak perempuan dimana dalam kasus tersebut kebetulan adalah seorang artis. Apakah prostitusi online akan berjalan ketika tidak ada penggunanya? Maka disinila seharusnya kita berfikir, sehingga kita tidak selalu menyalahkan danmemberikan citra yang buruk terhadap perempuan. Mungkin rumor yang beredar selama ini bahwa perempuan merupakan orang yang menyukai gaya atau lebih senang hidup konsumtif sehingga kerap dicap melakukan pekerjaan yang terlarang.

Apakah prostitusi online artis juga dijadikan sebagai bukti kesuksesan seorang laki-laki ketika dia mampu “membeli” artis tersebut? Karena selama ini laki-laki dianggap kuat baik dalam fisik maupun seksual. Sehingga mungkin ketika seorang laki-laki mampu membeli dia akan merasa bangga. Ternyata konstruksi gender yang ada di Indonesia masih melekat erat.

Bukankah ketika tidak ada para pengguna jasa atau pembeli dalam bisnis prostitusi perempuan lemah, perempuan pemicu atau penggoda, serta perempuan racun dunia. Pemerintah atau aparat yang kebanyakan ditempati atau diduduki oleh kaum laki-laki juga sepertinya masih memegang erat konstruksi tersebut. Sehingga sama seperti media, mereka tetap mengejar-ngejar dan berusaha menyalahkan pihak perempuan tanpa melihat atau mengabaikan pihak laki-laki. Seharusnya dalam masalah seperti ini tidak selalu perempuan yang disalahkan. Karena bisnis tersebut berawal dari kaum laki-laki. Mungkin saja perempuan “menawarkan”, akan tetapi jika tidak ada yang “membeli” juga tidak akan berjalan.

Fakta di Indonesia yang baru-baru ini sedang gencar adalah mengenai tes keperawanan bagi POLRI/TNI. Memang hal tersebut adalah aturan lama. Akan tetapi selama ini hal tersebut biasa dan tidak dipermasalahkan. Meskipun mungkin sebenarnya para calon atau pendaftar merasa rishi, akan tetapi mereka tidak bisa melawan karena hal tersebut merupakan aturan negara.

Pengadaan tes keperawanan dalam seleksi aparatur negara tersebut dapat dikatakan merugikan perempuan. Apa manfaat yang didapatkan dari tes keperawanan? Apa seorang perempuan yang akan menjadi aparat negara tersebut harus selalu perawan? Perawan identik dengan adanya selaput dara. Akan tetapi, dalam sebuah acara di televisi, Dr. Boyke menjelaskan bahwa ada berapa puluh persen perempuan yang tidak memiliki selaput dara. Sehingga seorang yang tidak memiliki selaput dara tidak selalu bukan perawan. Selain itu, selaput dara bisa hilang tidak hanya melalui hubungan seksual saja, akan tetapi bisa dikarenakan beberapa hal misalnya kecelakaan, olahraga, dan sebagainya. Bahkan melalui tes keperawanan pula seseorang bisa kehilangan selaput daranya.

Tes keperawanan mungkin kurang tepat dilakukan sebagai salah satu bahan seleksi. Karena hal tersebut hanya berlaku bagi perempuan. Sedangkan para laki-laki dengan mudah dapat mendaftar tanpa melalui tes sejenis tes Keperawanan. Mungkin apabila tes keperawanan diganti dengan tes kehamilan akan lebih tepat karena akan berpengaruh terhadap pendidikan fisik mereka.

Setelah mengetahui beberapa kasus ketidakadilan gender yang saat ini sedang ramai diperbincangkan di Indonesia, kini kita mengetahui bagaimana pemerintah melihat perempuan dengan sebelah mata. Memang di beberapa kursi pemerintahan atau kursi politik di Indonesia sudah ditempati oleh perempuan. Akan tetapi suara mereka kurang begitu diperhitungkan.

Dua contoh yang telah dibahas di atas terlihat jelas menganggap perempuan di pihak yang salah. Lalu bagaimana kita menanggapi beberapa permasalahan tersebut?

Konstruksi yang ditanam oleh nenek moyang kita terlalu melekat erat di masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat menganggap hal tersebut adalah biasa. Memang sulit untuk merubah pemikiran yang telah tertanam dalam. Tidak dapat dengan cepat mengganti pemikiran tersebut. Bahkan ketika yang muncul adalah sebuah kata “takdir” maka tidak dapat dilanjutkan lagi.

Akan tetapi, itu bukanlah menjadi alasan bahwa konstruksi tersebut tidak dapat dirubah atau diperbaiki. Yang pertama harus diluruskan adalah dari diri kita terlebih dahulu. Jangan biarkan pikiran kita untuk menyalahkan salah satu pihak dalam menanggapi masalah. Kita juga tidak boleh menjudge sesuatu sebelum kita mengetahui kebenarannya. Kita juga harus memiliki pemikiran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Simpulan

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup banyak masalah ketidakadilan gender. Dari beberapa contoh kasus ketidakadilan gender, ternyata pelaku ketidakadilan gender selain dari masyarakat umum, media, juga aturan dan aparatur negara. Kasus prostitusi online yang selama ini disalahkan adalah perempuan. Mulai dari citra buruk dari masyarakat, pemberiataan di media massa, hingga pemeriksaan oleh kepolisian. Tes keperawanan juga termasuk ketidakadilan gender karena tes tersebut hanya ditujukkan kepada perempuan, sedangkan laki-laki tidak ada tes serupa. Selama ini tes keperawanan merujuk kepada selaput dara yang dimiliki oleh perempuan. Padahal tidak semua perempuan memiliki selaput dara, selain itu selaput dara perempuan hilang bukan hanya disebabkan oleh hubungan seksual, akan tetapi bisa pula disebabkan oleh kecelakaan, olahraga, dan sebagainya. Dalam menyikapi beberapa kasus kesetaraan gender yang ada di Indonesia, sebaiknya kita tidak perlu langsung menyalahkan salah satu pihak. Kita pahami dahulu bagaimana kasus tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual Sebuah Pembahasan Sosiologi tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar