PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya dan majunya zaman kini banyak kebiasaan orang yang berubah, termasuk dalam hal system pertukaran. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang seolah-olah menjadi dewa dalam kehidupan bermasyarakat.
Sistem pertukaran telah mengalami banyak perubahan. Mulai dari system pertukaran sebelum mengenal mata uang hingga kini system pertukaran tanpa tatap muka. Tak jarang pula system pertukaran dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di daerah tersebut.
Di era modern seperti sekarang ini, segala hal dinilai dengan uang. Banyak orang yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang. Karena uang saat ini sebagai ukuran kekayaan yang dapat meningkatkan martabat seseorang. Bahkan seseorang rela kehilangan nama baiknya demi mendapatkan uang, misalanya dengan mencuri, mencopet, dan lainnya.
Adalah hal yang wajar ketika penjual menjual barang dagangannya hingga larut malam. Bahkan kenyataan yang ada di sebagian besar desa di Indonesia, khususnya Jawa, warung-warung di desa meskipun sudah tutup ketika ada yang ketok pintu untuk membeli pasti akan dilayani. Keadaan tersebut umum karena masyarakat desa yang masih sangat akrab, dan mempunyai rasa sungkan atau pekewuh ketika tidak mau melayani.
Namun terdapat satu keunikan yang ada di Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, khususnya di RT 06 RW 06. Keadaan seperti ini sepertinya belum pernah ditemukan di daerah lain. Asumsi sementara hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh gugon tuhon yang ada di desa tersebut.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai keunikan-keunikan system jual beli yang hingga saat ini masih dipegang teguh oleh beberapa masyarakat di Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas khususnya RT 06 RW 06.

PEMBAHASAN
Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai Ibu, baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa mempunyai cara yang bijak dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya agar anak-anaknya mau berfikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon. Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul.
Brunvand menuliskan dalam Danandjaya (1986:169) bahwa latar belakang mengapa mitos masih bertahan sampai hari ini di tengah-tengah masyarakat yang modern dapat dijelaskan dengan berbagai kategori. Misalnya, disebabkan oleh cara berpikir yang salah, koinsidensi, predileksi (kegemaran) secara psikologis umat manusia untuk percaya pada yang gaib, ritus peralihan hidup, teori keadaan dapat hidup terus (survival), perasaan ketidaktentuan akan tujuan-tujuan yang sangat didambakan, ketakutan akan hal-hal yang tidak normal atau penuh resiko dan takut akan kematian, pemodernisasian takhyul, serta pengaruh kepercayaan bahwa tenaga gaib dapat tetap hidup berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan agama.
Sebagian besar masyarakat Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas masih sangat memegang teguh warisan-warisan leluhur. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan yang terjadi pada masyarakat Desa Banjarsari. Misalnya ketika bepergian atau membeli barang berharga maka masyarakat Desa Banjarsari memiliki aturan-aturan berupa lisan yang harus diikuti. Ketika hal tersebut dilanggar maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau dalam masyarakat Desa Banjarsari lebih dikenal dengan “mantek”.
Salah satu hal yang masih dipercaya oleh masyarakat Desa Banjarsari ialah dalam hal jual beli. Jual beli disini dibataskan kepada peternak bebek dan warung yang menjual paku. Tulisan ini dapat masuk ke dalam kajian antropologi ekonomi. Karena dalam hal ini kebudayaan dan kepercayaan masyarakat masih sangat mempengaruhi dalam proses jual beli.
Kenyataan yang ada di tengah masyarakat Desa Banjarsari khususnya RT 06 RW 06 bisa dikatakan unik. Pada umumnya, semua barang boleh dijual belikan pada malam hari. Terlebih bagi para penjual. Biasanya jam berapapun, sekalipun itu tengah malam penjual tetap melayani dengan senang hati. Mereka hanya memandang hal tersebut merupakan rezeki.
Di era modern seperti sekarang ini, ternyata masih ada segelintir orang yang masih memegang teguh tradisi-tradisi nenek moyang serta tetap mempercayainya sebagai hal yang pasti terjadi. Kepercayaan yang masih sangat kental yang dirasakan di Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas ini adalah larangan menjual barang-barang tertentu pada malam hari. Hal ini dikaitkan dengan warisan-warisan nenek moyang yang berupa petuah yang diwariskan melalui bahasa.
Berdasarkan hasil observasi dan pengalaman langsung yang dirasakan oleh penulis, penulis merasakan adanya keunikan yang terdapat pada salah satu peternak bebek yang beradadi Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Sekilas secara fisik tidak ada yang unik dari peternakan bebek ini. Peternakan bebek ini dimiliki oleh sepasang suami istri. Rutinitas yang dijalankan mereka pun tergolong masih sangat wajar seperti para peternak lainnya. Di rumahnya, pasangan ini tidak hanya memelihara bebek saja, akan tetapi ada pula mentok, ayam, dan sebagainya.
Setiap pagi suami pergi ke sawah yang dalam bahasa masyarakat Desa banjarsari lebi dikenal dengan ngangon. Ketika sawa disekitar ruma sedang tidak menghasilkan misalnya sedang kekeringan, biasanya suami tersebut akan melakukan ngangon ke luar desa, bahkan hingga luar kabupaten. Ngangon di luar tersebut harus mondok atau menginap. Istilah dalam masyarakat Desa Banjarsari Kabupaten Banyumas ialah buara. Buara yang dilakukan biasanya hingga berminggu-minggu bahkan jika kekeringan tersebut sangat para bias sampai berbulan-bulan.
Sang istri di rumah biasanya akan mengurusi tentang regenerasi bebek. Telor bebek dimasukan ke dalam tempat pengeraman mentok tanpa sepengetahuan mentok. Karena sifat bebek adalah malas mengerami. Setelah menetas, bebek-bebek bayi tersebut kemudian dilatih untuk mencari makan, misalnya dilepas disungai atau sawah akan tetapi masih menggunakan tempat seperti keranjang.
Setelah bebek remaja, bebek digabungkan dengan bebek produktif dengan harapan bebek tersebut dapat menggantikan bebek yang suda tidak produktif. Biasanya bebek yang tidak produktif akan disembelih. Setiap pagi maka pemandangan indah dari bawah kerumunan bebek dikandang bebek pun mulai terlihat. Dengan diiringi aroma khas dari bebek,satu persatu telor yang berwarna biru segar tersebut dimasukan ke dalam bakul. Setiap pagi sekitar 80 hingga 100 butir telor dapat diperoleh dipeternakan kecil ini. Pemasarannya ialah kepada Bayan (pengepul telor bebek), warung, dan masyarakat.
Uniknya dalam peternakan ini ialah waktu yang digunakan untuk menjual. Pemilik peternakan akan menghindari menjual telor bebeknya pada malam hari. Jadi waktu yang digunakan untuk menjual telor bebek ialah mulai dari pagi hingga sore hari. Ketika ada orang yang mau membelinya ketika malam hari maka akan ditolak atau disarankan membeli di warung. Padahal ketika siang ia bebas beli dimana saja.
Keadaan di atas sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat setempat mengenai gugon tuhon. Ketika ditanyakan kepada pemilik peternakan mengapa beliau menghindari menjual telor bebeknya ketika malam hari penulis merasa sedikit kesulitan. Karena narasumber kami sempat sulit memberikan inormasi mengenai hal ini. Kata yang penulis dapat dari pertanyaan tersebut ialah “nggi wonten manteke mbak” atau dalam bahasa Indonesia “ya adasesuatu lah mbak”. Dari pernyataan tersebut menggambarkan adanya sebuah kepercayaan yang dianut oleh narasumber tersebut. Dengan sedikit kesulitan akhirnya penulis mendapatkan satu jawaban yang cukup membingungkan yaitu “mangke nggi bebeke mboten purun ngendhog malih“ nanti jadi bebeknya tidak mau bertelur lagi”.
Ketika penulis mencoba mengaitkan antara menjual telur bebek pada malam hari dengan bebeknya tidak produkti lagi maka yang terjadi ialah kebingungan yang tidak berujung. Penulis tidak sempat mencari hasil analisis laboratorium mengenai hal ini, serta dari piak narasumber pun sulit untuk menjelaskan kaitan antara hal tersebut. Keadaan tidak masuk akal inila yang dimaksud dengan gugon tuhon, khususnya dalam bidang ekonomi.
Ketika sebagian besar masyarakat sedang mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, namun ada seseorang dengan keadaan seperti di atas. Bagi peneliti hal tersebut merupakan sesuatu yang unik. Keadaan ekonomi masyarakat Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, khususnya pada kehidupan peternak bebek tadi merupakan salah satu tindakan ekonomi yang antropologis. Hal ini bias dijadikan sebagai salah satu ciri khas perdagangan telur bebek yang ada di daera tersebut. Dengan polesan-polesan sedikit demi perkembangan dan pelestarian kebudayaan yang ada.
Gugon tuhon juga mempengaruhi tindakan ekonomi pada sebuah warung yang ada di Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Sama halnya dengan peternakan bebek sebelumnya, secara fisik warung ini seperti warung-warung yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Barang-barang yang dijualpun seperti warung kelontong yaitu semabako dan beberapa keperluan sehari-hari lainnya. Warung ini buka dari pukul 06.00 bahkan ketika pukul 5 pagi adaorang yang mau beli tetap dibukakan pintu. Secara sederhana, warung ini ditutup sekitar pukul 10 malam. Akan tetapi, ketika ada orang yang maumembeli jam 10 ke atas juga tetap dilayani walaupun hanya beberapa menit. Satu barang dagangan yang tidak mungkin akan dilayani pada malam hari yaitu paku.
Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas merupakan salah satu desa sebagai sentra industry sangakar burung. Dalam pembuatan sangkar burung, bahan yang dibutuhkan adalah kayu atau bamboo dan paku. Paku termasuk dalam bahan pokok pembuatan sangkar burung, meskipun beberapa perubahan terakhir ialah paku menggunakan lem. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat Desa Banjarsari masi menggunakan paku sebagai pengait antara satu kerangka dengan kerangka lainnya.
Karena hal tersebutlah maka setiap warung yang ada di Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas seakan wajib menyediakan atau berjualan paku. Akan tetapi ada satu keunikan yang terjadi pada salah satu warung yang ada di Desa Banjarsari, yaitu tidak menjual paku pada malam hari.
Hal tersebut ugamasi dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakar setempat. Ketika ditanyakan kepada narasumber mengapa tidak jual paku pada malam hari jawabannya ialah teringat pesan yang disampaikan oleh neneknya. Ini dikaitkan dengan kejadian dahulu dimana orang menggunakan paku sebagai bahan santet. Sehingga orang beranggapan bahwa ketika ada orang membeli paku pada malam hari maka akan digunakan untuk menyantet. Jika dikaji lebi dalam, sebenarnya maknanya tidak hanya sebatas hal itu saja.

SIMPULAN
Tindakan ekonomi yang ada pada masyarakat Desa Banjarsari Kecamatan Ajibarang bersiat antropologis. Kepercayaan terhadap gugon tuhon masih mendarah daging di masyarakat Desa Banjarsari, khususnya RT 06 RW 06. Kepercayaan untuk tidak menjual telur bebek dan paku pada malamari merupakan salah satu bentuk kepercyaan masyarakat Desa Banjarsari terhadap gugon tuhon.
DAFTAR PUSTAKA
D. J. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng Dan Lain- Lain. Jakarta: Grafiti