“Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa Karya Jan Newberry”

Haaay temen-temen, kali ini saya akan berbagi tentang tugas artikel mata kuliah Etnografi pada semester 3. Ini adalah hasil review atau pandangan saya tentang isi buku Back Door Java karya Jan Newberry.

Semoga ilmunya bermanfaat yaa….

PENDAHULUAN

Dalam arti luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari segi kehidupan masyarakat. Rumah dapat di mengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan bersama keluarga, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Di dalam rumah orang memiliki kesan pertama dari kehidupannya di dunia. Rumah pun harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh berkembang, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberikan ketenangan, kesenangan, kebahagiaan dan kenyamanan dalam segala peristiwa hidupnya. (Frick, 2006:1)

Namun dalam masyarakat Jawa, rumah memiliki fungsi yang lebih kompleks dan juga memiliki syarat-syarat tertentu. Karena saya bukan asli dari masyarakat Jawa, ssehingga saya berusaha mencari di beberapa website tentang definisi rumah menurut orang Jawa. Masyarakat Jawa tidak sembarangan dalam memilih atau membangun rumah, mereka memiliki beberapa syarat dan tradisi agar rumah tersebut dapat berfungsi secara maksimal dan memberikan kenyamanan juga keberkahan.

Rumah dalam masyarakat Jawa tidak hanya digambarkan sebagai tempat berteduh. Akan tetapi rumah merupakan rangkaian dari gugusan bangunan yang diumpamakan sebagai bagian-bagian pohon yang sangat penting untuk menopang keberadaan pohon tersebut. Dalam masyarakat Jawa setiap bagian dari rumah memiliki filosofi masing-masing. Misalnya saja bentuk atap pada rumah tradisional Jawa yang mengambil filosofi bentuk gunung. Gunung sering digambarkan sebagai sesuatu yang suci, tempat para dewa tinggal, dan lain sebagainya. Perwujudan gunung dalam atap rumah tradisional masyarakat Jawa dapat dilihat dari bentuk tajug, joglo, limasan, dan kampung. Struktur bangunan atap ditopang dengan saka (tiang). Bangunan utama penyangga atap disebut saka guru yang berjumlah empat buah. Jumlah saka guru ini melambangkan arah mata angin yang berjumlah empat. Manusia dianggap berada di antara empat penjuru tersebut. Bangunan yang diapit oleh saka guru ini kemudian disebut dengan pancer. Dalam buku “BACK DOOR JAVA” ini Newberry memaparkan hasil penelitiannya bersama suaminya dengan ikut serta hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa di Yogyakarta, dan ia pun berusaha untuk mengikuti setiap kegiatan yang ada di masyarakat sekitar agar mendapat informasi yang lebih luas dan juga lebih nyata.

PEMBAHASAN

“Pendekatan tritunggal yang disebut oleh sang etnografer sebagai rumah, rumah tangga, dan kediaman ini adalah seperangkat unsur-unsur parsial untuk memahami ruang rumah tangga tidak dapat diisolasi dari pengaruh masyarakat dan praktek negara, dan itulah tujuan yang lebih besar daripada etnografi yang berikut: untuk memahami bagaimana ruang rumah tangga, masyarakat dan negara menghasilkan budaya kehidupan tertentu di kampung.” Halaman 19. Newberry mencoba menganalisa masyarakat Jawa menggunakan pendekatan tritunggal untuk memahami keterkaitan antara ruang rumah tangga, masyarakat, dan negara dapat menghasilkan kebudayaan.

Newberry yang melihat bahwa masyarakat Jawa sangat ramah, suka bertegur sapa antar tetangga untuk menunjukan keramahannya. Maka ia menyimpulkan bahwa memiliki pintu depan dan pintu belakang dalam suatu rumah dapat meningkatkan intensitas tegur sapa antar tetangga, keluarga dan orang-orang terdekat. Seperti yang tertulis di halaman 23, yaitu :

“Pintu depan dan pintu belakang rumah kampung penting untuk memelihara ikatan yang membentuk masyarakat. Penggunaan kedua pintu itu berkaitan dengan jantung rumah dan peranan rumah dalam tata perlambangan, dala sistem gender dan kekerabatan, dan dalam reproduksi rumah tangga dan masyarakat. Pintu belakang rumah kampung secara khusus hanya dilewati oleh anggota keluarga dan tetangga dekat, bahkan laki-laki dewasa sering tidak mau mendekati pintu belakang sebuah rumah kecuali jika ia tinggal disitu.”

Berbicara tentang kampung di Jawa berarti tidak sekedar berbicara tentang lingkungan tetangga di perkotaan, meskipun ini adalah rujukan yang paling sederhana untuk pengertian kampung. Newberry menganalisa kampung yang menurutnya memiliki beberapa tingkat:

(1) sebagai unit adminitrasi

(2) sebagai seperangkat jalan dan rumah

(3) sebagai sekelompok orang yang hidup dalam hubungan yang erat satu sama lain

(4) sebagai gaya hidup

(5) sebagai pembentukan sosial

(6) sebagai kelompok kelas

(7) sebagai struktur perasaan

(8) sebagai ruang tempat semua ini berpadu.

Namun, Newberry berpendapat bahwa ada pengaruh yang lain atas pengertian dan bobot istilah kampung, yaitu dari kaitan kampung dengan wilayah tempat tinggal menurut jenis-jenis pekerjaan di kesultanan-kesultanan Jawa Tengah dan keraton-keraton. Kampung sebagai sebuah rumah dibangun melalui arus kekarabatan, tenaga kerja, dan sumber daya melewati ambang pintu ruang rumah tangga. Kekerabatan kampung menunjukan batas-batas dari model ideal apapun mengenai keluarga batih dan kebutuhan bilateral, meski pada waktu bersamaan digunakan sebagai bahasa sehari-hari dalam hubungan dengan saling berbagi, pertukaran dan transformasi.

“Rumah Jawa yang digambarkan  Rassers (1960[1925]) menunjukan bagian depan rumah yang didominasi oleh sebuah paviliun yang disebut pendapa. Pavilion ini tersambung dengan sebuah lorong terbuka yang terlentang dari paviliun hingga belakang rumah dan cukup menarik, rumah bagian depan dan belang ini disebut Rassers kampung. Dibagian belakang rumah terdapat ruang utama yang besar termasuk tiga ruang di dinding belakang: sarong, boma, dan senthong (semua ini istilah dari bahasa Jawa).”

Pendapa terletak di depan, fungsi utamanya untuk menerima tamu. Bagian ini selalu terbuka tanpa pembatas ruangan. Keterbukaan ini bukannya tanpa maksud. Ini melambangkan hangatnya pribadi Jawa yang senantiasa terbuka dan mengutamakan kerukunan serta kebersamaan. Juga melambangkan keakraban antara yang punya rumah dan tamu yang berkunjung. Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah. Ruangan ini juga digunakan untuk membicarakan segala macam masalah yang bersifat keduniawian. Misalanya membicarakan masalah pekerjaan, bisnis, dll.

Bentuknya yang terbuka juga merupakan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang beriklim tropis.Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut dengan membuat teras depan yang luas, terlindung dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo.

“Terbukanya ruang dalam rumah untuk digunakan baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan sejalan dengan penggunaan ruang sebagai pangkalan untuk menyeleggarakan slametan. Pendapa yang terbuka di depan rumah Jawa terkait dengan laki-laki. Keperkasaan laki-laki, terbuka untuk orang luar, sedangkan bagian dibelakang diperuntukan bagi perempuan, bersifat pribadi dan berfungsi sebagai ruang keluarga. Tetapi Rassers juga mencatat bahwa keris, belati sakti perlambang kejantanan laki-laki Jawa juga disimpan di ruang belakang, yang dikaitkanya dengan perempuan. Paradoks ini sebenarnya membuka kemungkinan untuk menafsirkan rumah ideal Jawa menurut penafsiran Keeler tentang transformasi dan kesatun keluarga.”

Berdasarkan penelitian para etnografer, semua hal dalam kebudayaan Jawa pasti memiliki definisi tersendiri dan khusus. Banyak benda dan hal-hal tertentu yang dikaitkan dengan kejantanan seorang laki-laki. Dan kamar, sumur, dapur adalah tempat di mana wanita seharusnya berada. Memang sangat nampak bias gender dalam kebudayaan Jawa.

“Menurut Newberry, rumah tangga sudah dikembangkan menjadi analisi ekonomi rumah tangga sebagai unit produksi dan konsumsi. Menurutnya yang dimaksud rumah tangga adalah unit penyimpanan pangan, artinya sekumpulan orang yang hidup serumah dan saling memberikan dukungan langsung antara sesama mereka, kadangkala dibawah pimpinan seorang kepala rumah tangga. Sistem RT/RW dan PKK menurutnya adalah beberapa bentuk-bentuk awal dari pengaturan oleh pemerintah yang dialami warga kampung dan bukanlah suatu bentuk kebetulan bahwa bentuk-bentuk peraturan oleh negara ini berpengaruh pada bagaimana warga kampung melihat rumah tangga dan keluarga.”

“Kehidupan sehari-hari dibawah naungan struktur perasaan yang dijalani oleh warga kampung dan ibu rumah tangga inilah yang menghasilkan pembentukan sosial dan politik tertentu yang  merupakan pertanyaan sekaligus jawaban atas bagaimana warga masyarakat dikelola sesuai dengan peraturan negara. Peraturan negara selalu ada selama-lamanya adalah proyek rumah tangga yang ditunjukan lebih untuk mengontrol reproduksi daripada untuk mengontrol produksi. Kontrol atas reproduksi rumah tangga dalam pengertiannya yang diperluas manusia, hubungan sosial masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan negara, bukan bagian dari politik riil untuk kaum perempuan. Pemikiran tentang kampung sebagai semacam masyarakat rumah tangga tertentu dapat dikaitkan sebagai suatu studi budaya populer yaitu lapisan kelas bawah dan pembentukan negara Indonesia dan budaya kampung yang memakan waktu lama. Bahwa budaya ini juga semacam ideologi negara yang dipaksakan dari atas juga benar adanya. Namun penerapan sehari-hari bentuk-bentuk budaya ini dalam kegiatan sehari-hari rumah tanggalah yang seharusnya mengarahkan perhatian kita tentang bagaimana kekuasaan negara dibentuk dan dibentuk kembali disisi-sisi jalan dan gang kampung lapisan kelas bawah ini.”

Sebagaimana kutipan di atas, Newberry berpendapat bahwa bagian kecil dalam masyarakat luas yaitu budaya di perkampungan atau juga masyarakat lapisan kelas bawah ini memiliki peranan penting dalam pelestarian kebudayaan khas, karena belum terkontaminasi modernisasi dari efek globalisasi. Seharusnya negara lebih melihat secara jelas bagaimana sistem dalam struktur masyarakat kampung ini.

“Pintu belakang dalam lingkup keluarga Jawa memiliki makna yang sangat penting untuk mengungkap dan menggambarkan bagaimana interaksi antara suatu negara dengan masyarakat lapisan bawah yang saling menjalin sebuah hubugan untuk membentuk suatu wujud negara. Tidak adanya pintu belakang rumah Jawa dapat menjadi penyebab beberapa masalah kecil. Bukan hanya keterkaitan dengan hubungannya dengan masyarakat, bahan isu-isu dan mitos-mitos muncul daru urusan pintu belakang rumah Jawa.”

Karena tegur sapa menurut masyarakat Jawa dapat memperkuatnya tali silaturahmi antar keluarga, saudara, dan tetangga. Sehingga dapat terjadi kerukunan dan keseimbangan dalam tatanan sistem sosial. Rumah yang tidak memiliki pintu belakang dianggap kurang ramah dan kurang terbuka terhadap orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: