Review Jurnal “Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa”

Haaay temen-temen, kali ini saya akan berbagi tentang tugas artikel mata kuliah Sosiologi Politik pada semester 5. Ini adalah hasil review atau pandangan saya tentang isi jurnal Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa karya Nugroho Trisnu Brata.

Semoga ilmunya bermanfaat yaa….

Pendahuluan

            Budaya atau kebudayaan (culture) menurut James P. Spradley adalah sistem gagasan atau sistem pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman sikap dan pedoman perilaku masyarakat yang pemilik kebudayaan. Sedangkan menurut Clifford Geertz, kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya kebudayaan akan menutun tingkah laku. Kebudayaan beroperasi pada level komunitas, berbeda halnya dengan kepribadian (personality) yang bersifat individu.

            Budaya memiliki peran atau fungsi sebagai penuntun, pengarahm atau pemaksa bagi masyarakat. Budaya kekerasan dalam hal ini adalah sistem gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yang kemudian menjadi pedoman dan penuntun masyarakat dalam melakukan tindak kekerasan. Inspirasi gagasan kekerasan bisa saja bersumber pada nilai-nilai dan etika budaya Jawa, misalnya sanjungan dan “pemujaan” terhadap para panglima perang atau para ksatria. Sosialisasi atau penyebaran kebudayaannya bisa berwujud pertunjukan wayang kulit atau wayang wong dengan cerita Batara Yudha yang mengisahkan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa.

Kekerasan Dan Peperangan Pada Masa Kerajaan Jawa

            Kapitalisme asing VOC ke dalam lingkaran kekuasaan Mataram yaitu pada masa peralihan Sunan Amangkarat I kepada Sunan Amangkarat II dengan membantu Mataram mengusir pemberontakan pasukan Trunojoyo. Masuknya kekuasaan kolonial Hindia Belanda ini merusak sistem kekuasaan Mataram. Setelah adanya Perjanjian Giyanti 1755 M yang berisi, Nicholas Hartingh (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa di Semarang) bertindak ibaratnya seorang dalang yang memainkan wayang dalam pertunjukan wayang Jawa. Tanah Jawa kembali diwarnai oleh kekerasan dan peperangan yaitu Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825 M.

Kekerasan Pada Masa Reformasi 1998

            Pengaruh Sultan Hamengkubuwono selaku raja dalam kebudayaan Jawa membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat Yogyakarta. HB X memang tidak pernah terdengar menyuarakan reformasi. Pada saat itu Sultan juga sedang nglakoni, atau sedang menjalani laku prihatin. Dengan adanya Sultan HB X pada peristiwa reformasi itu memang bisa mencegah kekerasan dan pembunuhan seperti di Jakarta dan Surakarta dan juga kota-kota lain. Namun amok massa dan pemberontakan itu tidak pernah terjadi di Yogyakarta.

Budaya Alus dan Budaya Kasar

            Hadirnya simbol-simbil yang bermakna dalam gerakan massa pisowanan ageng bisa kita perhatikan apabila dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Dalam pandangan James T. Siegel kategori alus dan kasar adalah salah satu kategori hierarki dalam masyarakat Jawa yang bisa mewujud dalam bahasa dan perilaku. Kasar dicirikan oleh kekuatan fisik, penampilan sangar, banyak bicara, banyak melakukan gerakan yang tidak diperlukan, dan agresif serta menyukai kekerasan.

            Watak alus itu adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, tapa brata, perlu usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Sedangkan watak kasar itu adalah watak dasar manusia sehingga untuk memilikinya tidak perlu usaha apa pun. Secara hierarki watak alus itu derajatnya lebih tinggi dari watak kasar. Watak alus itu identik dengan para satria, bangsawan dan priyayi. Sedangkan watak kasar identic dengan wong cilik, anak muda dan wong sabrang (orang asing).

Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati

            Untuk memerintah orang lain atau berkomunikasi maka seorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan atau kekerasan fisik dengan ungkapan dupak bujang, yaitu harus menggunakan tendangan kaki (dupak) maka komunikasi baru bisa berjalan. Yang lebih tinggi sedikit adalah perintah atau komunikasi yang dilakukan oleh mantra atau priyayi menengah, yaitu semu mantra. Di mana dia harus nyemoni atau menyindir kepada orang lain maka komunikasi bisa berjalan. Yang paling tinggi adalah komunikasi seorang bupati, yaitu esem bupati, priyayi tinggi yang posisinya di bawah raja, untuk berkomunikasi dia cukum mesem, tersenyum saja maka orang lain yang dia ajak berkomunikasi sudah tanggap maksudnya.

Menjinakkan Kekerasan

            Potensi bangkitnya nafsu amarah dan perilaku kekerasan yang terjadi akibat banyak faktor yang salah satunya adalah dari rasa lapar dan haus yang menjadi kebutuhan primer manusia ini kemudian bisa diantisipasi atau diredam dan dijinakkan dengan mode gunungan garebeg, di mana massa yang datang kepada Sultan diberi kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah dari Sultan untuk dimakan bersama. Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: