Budaya Kekerasan dalam Perspektif Masyarakat Jawa

maxresdefault

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal masyarakat jawa sebagai masyarakat yang mempunyai potret atau gambaran budaya yang halus dan penuh tata krama. Citra masyarakat jawa yang halus sering digambarkan melalui simbol, bahasa dan perilaku masyarakat jawa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat jawa, nilai-nilai menjadi parameter dalam melihat sesuatu yang baik atau buruk, tinggi atau rendah, dan mulia atau hina. Sementara itu, etika merupakan hal yang berkaitan dengan pantas atau sopan, dan juga mengenai sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Franz Magnis Suseno (1993) mengatakan bahwa nilai-nilai dan etika masyarakat jawa terintegrasi kedalam tiga prinsip yaitu hormat, rukun dan isin. Terdapat model of reality, sebuah pola yang memang benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, pada saat yang lain nilai-nilai itu hanyalah konsepsi abstrak yang ternyata berbeda dengan realitas masyarakat.
Dalam realitas masyarakat Jawa sejatinya terdapat budaya kekerasan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Inspirasi kekerasan bersumber dari nilai-nilai dan etika budaya jawa seperti sanjungan dan “pemujaan” terhadap para panglima perang atau ksatria. Sementara itu, dalam sosialisasi kepada masyarakat berwujud dari pertunjukan wayang kulit atau wayang wong dengan cerita Barata Yuda yang mengisahkan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Jiwa kepahlawanan, pertumpahan darah, adu kesaktian, dan pengorbanan nyawa menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dalam budaya Jawa.
Kekerasan dalam budaya Jawa tidak luput dari berbagai peperangan yang terjadi dalam usaha melawan belanda. Ricklefs (2002) mengatakan bahwa dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 M, Nicholas Hartingh (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa di Semarang) bertindak ibarat seorang dalang yang memainkan wayang dalam pertunjukan wayang Jawa. Kekerasan juga terjadi pada masa reformasi 1998. Pada masa itu, Sultan Hamengkubuwono X sedang nglakoni atau sedang menjalani laku prihatin. Beliau bergabung dengan massa di jalanan dan mampu meredam amok massa di Yogyakarta. Gerakan massa tersebut oleh pihak kraton disebut pisowanan ageng.
Dalam konteks alus dan kasar, pertunjukan tari bambangan cakil ternyata merupakan simbol kekerasan yang berujung pada pertarungan antara dua kutub manusia yang tidak pernah akrab yaitu kutub alus dan kutub kasar. Arjuna adalah symbol watak dan perilaku alus, sedangkan Cakil adalah simbol watak dan perilaku kasar.

Tulisan ini disadur dari tugas mata Kuliah Struktur Masyarakat Jawa

Review Jurnal Komunitas karya Nugroho Trisnu Brata

6 comments

Skip to comment form

  1. kalau bisa tulisannya diratakan kanan kiri biar rapi…

  2. Sumber artikelnya apa ya mba?

  3. bagus kaka.. ditunggu postingan selanjutnyaaaa.. semangat

  4. tampilan sudah rapi

  5. Beri kesimpulan dan permudah bahasanya agar orang awam juga bisa mengerti dan ikut belajar

  6. :2thumbup

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: