Penyimpangan Sosial

Secara umum dapat dikatakan bahwa yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang ada tiga ketegori (Narwoko dan Suyanto, 2004: 81):

    1. Tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Misalnya, membolos sekolah, ke sekolah tidak memakai seragam, merokok di wilayah dilarang merokok.
    2. Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Misalnya, tidak mau berteman, minum-minuman keras, dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
    3. Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang. Misalnya, pencurian, perampokan, penganiayaan, dan pembunuhan.

Penyebab Penyimpangan Sosial Ada beberapa faktor yang menyebabkan individu atau kelompok melakukan penyimpangan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Individubiasanya menghayati nilai-nilai dari beberapa orang yang cocok dengan dirinya. Bilamana sebagian besar teman menyimpang, maka individu tersebut kemungkinan besar akan menjadi menyimpang.
  2. Adanya imitasi atau meniru perilaku orang lain. Peniruan perilaku ini banyak dilakukan oleh individu yang masih berusia anak-anak.
  3. Masyarakat yang memiliki banyak nilai dan norma, dimana diantara satu dengan lainnya saling bertentangan. Tidak terdapat seperangkat nilai dan norma yang dipatuhi secara teguh dan diterima secara luas. Kondisi ini terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
  4. Anggota masyarakat Indonesia yang mempunyai mental mengambil jalan pintas. Anggota masyarakat yang ingin cepat memperoleh kedudukan atau kekayaan dengan cara-cara yang melanggangar norma-norma sosial.
  5. Adanya pemberian cap atau label oleh masyarakat terhadap individu atau kelompok. Pemberian cap atau label ini yang menyebabkan individu atau kelompok melakukan penyimpangan.
  6. Penyimpangan sosial terjadi disebabkan karena keterikatan individu terhadap kelompoknya lemah.

Teori Penyimpangan Sosial

  1. Teori anomie

Salah satu teori yang menjelaskan perilaku menyimpang adalah teori anomie dari Robert K. Merton (Narwoko dan Suyanto, 2004: 91). Teori ini berasumsi bahwa penyimpangan sosial adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Merton menggambarkan munculnya keadaan anomie sebagai berikut:

  1. Masyarakat industri modern, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.
  2. Apabila hal tersebut dicapai, maka dianggap telah mencapai tujuan-tujuan status atau budaya yang dicita-citakan oleh masyarakat. Untuk mencapai itu ternyata harus melalui cara kelembagaan yang sah.
  3. Namun akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama lapisan bawah.
  4. Akibat dari keterbatasan akses tersebut, maka muncul situasi anomie yaitu suatu situasi dimana tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status budaya dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapainya.
  5. Anomie adalah suatu keadaan dimana kondisi sosial atau situasi kebudayaan masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapainya jumlahnya lebih sedikit.

2. Teori Labeling

Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder. Teori yang diungkapkan oleh Edwin M. Lemert ini lebih tertarik pada persoalan definisi-definisi sosial dan sanksi-sanksi sosial negatif yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk pada tindakan yang lebih menyimpang. Teori ini dalam menganalisis pemberian cap memusatkan pada reaksi orang. Artinya, ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang itu adalah negatif  (Narwoko dan Suyanto, 2004: 94-95).

Teori labeling mendefinisikan penyimpangan sebagai suatu konsekuensi dari penarapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Melalui definisi ini dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan yang dilabelkan kepada seseorang. Dengan demikian, dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dati tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya. Akibat dari pelabelan adalah pada tindakan penyimpangan lebih lanjut. Dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang dan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara (Narwoko dan Suyanto, 2004: 95).

        3. Teori Sosialisasi

Teori sosialisasi berpandangan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Edwin H. Sutherland (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004: 92-93) mengatakan bahwa penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur menyimpang. Di tingkat kelompok, perilaku menyimpang adalah suatu konsekuensi dari terjadinya konflik normatif. Artinya, perbedaan aturan sosial di berbagai kelompok sosial seperti sekolah, lingkungan tetangga, kelompok teman sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi ini dapat menyebabkan ketegangan yang berujung menjadi konflik noramtif pada diri individu.

Sumber : https://sertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL%202017/Sosiologiv/BAB-VI-Penyimpangan-Sosial-Dan-Pengendalian-Sosial.pdf

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: