Hubungan Patron-Klien Antara Pemilik Lahan Pertanian Dengan Penyewa Lahan

Hallo Blogys, gimana nih kabarnya? dipostingan kali ini, saya mau sedikit share mengenai beberapa tugas-tugas saya dari semester 1 sampai lima nih. hayoo siapa yang udah siap baca-baca tentang tugas kuliah nih? Tugas ini ada di mata kuliah Sosiologi Politik, tepatnya di semester V, silahkan di baca-baca ya Blogys…

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di dalam kelompok masyarakat terdapat suatu hubungan yang biasanya disebut dengan istilah patron-klien. Scott (dalam Putra, 1988:2), menjabarkan makna hubungan Patron-Klien adalah Suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron.

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai hubungan Patron-Klien antara pemilik lahan dengan penyewa lahan pertanian, yang mana latar di dalam pengambilan contoh Patron-Klien ini diambil di Desa Kajen Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. Yaitu antara Hj. Masruroh sebagai Patron dan Ibu Rodah sebagai Klien.

Rumusan Masalah

  1. Apa definisi umum dari Patron-Klien dan menurut ahli?
  2. Bagaimana hubungan Patron-Klien antara pemilik lahan dengan penyewa lahan?
  3. Apakah hubungan Patron-Klien masih terjadi hingga saat ini?

Tujuan

  1. Menjelaskan definisi umum dari Patron-Klien dan menurut ahli
  2. Menjelaskan hubungan Patron-Klien antara pemilik lahan dengan penyewa lahan
  3. Menjelaskan hubungan Patron-Klien yang terjadi saat ini

PEMBAHASAN

  • Definisi Umum dari Patron-Klien dan Menurut ahli

             Istilah patron berasal dari bahasa Latin “patronus” atau “pater”, yang berarti ayah (father). Karenanya, ia adalah seorang yang memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai dan mendukung terhadap kegiatan beberapa orang. Sedangkan klien juga berasal dari istilah Latin “cliens” yang berarti pengikut. Dalam literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan strata sosial dan penguasaan sumber ekonomi.            Konsep patron selalu diikuti klien, tanpa konsep klien maka konsep patron tidak ada. Karenanya, kedua istilah tersebut membentuk suatu hubungan khusus yang disebut istilah clientelism. Istilah ini merujuk pada sebuah bentuk organisasi sosial yang dicirikan oleh hubungan patron-klien, di mana patron yang berkuasa dan kaya memberikan pekerjaan, perlindungan, infrastruktur, dan berbagai manfaat lainnya klien yang tidak berdaya dan miskin. Imbalannya, klien memberikan berbagai bentuk kesetiaan, pelayanan, dan bahkan dukungan politik kepada patron (Hefni, 2009).

             Hubungan Patron-Klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang individu dengan status sosio-ekonomunya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya nya untuk menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pertukaran yang tersebar, seperti jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak (Scott, 1993 :7-8).

             Pendapat yang hampir serupa juga diketengahkan oleh Palras, dimana menurutnya hubungan patron-klien adalah suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya (Palras, 1971: 1). Lebih lanjut, Palras mengungkapkan bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.

             Sekain Scott dan Palras Gouldner juga berpendapat bahwa hubungan patron-klien adalah hubungan timbal balik yang bersifat universal dengan memiliki dua unsur dasar. Kedua unsur dasar tersebut adalah pihak yang dibantu seharusnya menolak pihak yang membantu dan jangan menyakiti pihak yang telah membantunya. Kedua unsur dasar inilah, masih menurut pakar ini, yang membedakan antara hubungan patron-klien dengan pemaksaan (coercion) yang terjadi karena adanya wewenang formal atau formal authority(Gouldner, 1977: 35)

             Hubungan Patron-Klien juga merupakan hubungan timbal balik antara dua orang yang dijalin secara khusus (pribadi) atas dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima bersifat dyadic bersifat lengkap.

             Ikatann ini antara Patron dengan Klien merupakan salah satu strategi nafkah yang diterapkan melalui pemanfaatan modal sosial untuk bertahan hidup atau memperbaiki standar hidupnya. keahlian untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. Unsur tipikal dalam arus hubungn ini, antara lain mencakup jasa pekerjaan dasar (biasanya pekerjaan dalam usaha tani), dan pemberian jasa tambahan berupa bantuan dalam pekerjaan domestik (rumah tangga patron). (Hakim, Abdul) Ikatan antara pelindung (patron) dan klien, satu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana – mana di kalangan petani, merupakan satu langkah jauh lainnya dalam jarak sosial dan seringkali moral, teristimewa apabila sang pelindung bukan warga desa. Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil atau pedagang, seorang menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun klien-klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan itu, oleh karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali. Patronase itu ada segi baiknya, bukan petama-tama karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya (Scott, 1976).

  • Hubungan Patron-Klien Antara Pemilik Lahan Dengan Penyewa Lahan

                   Pemilik tanah dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada penyewa lahan, dan penyewa lahan dianggap lebih tinggi daripada buruh lepas oleh karena, meskipun dari segi penghasilan mungkin tidak, masing-masing mewakili satu loncatan kuantum dalam kepercayaan terhadap subsistensi. Oleh karena itu, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dalam pandangan petani dibandingkan dengan penghasilan. Selain itu, pembedaan-pembedaan di dalam kategori-kategori penyewa dan buruh pada umumnya di dasarkan atas kepastian hak sewa atau lapangan kerja dan besarnya jaminan sosial yang biasanya diberikan oleh pemilik tanah atau majikan (Scott, 1976)

Patron muncul karena kerumitan menyiratkan kebutuhan kontak ekonomi dan politik yang meningkat diluar jaringan kekerabatan dan desa. Masyarakat yang makin kompleks juga menyediakan surplus yang mendasari perbedaan status dimana kekayaan yang lebih kuat menjadi landasan pertukaran patron-klien. Kebutuhan akan akses terhadap tanah yang semakin sempit di wilayah pedesaan, memaksa petani lokal untuk menempatkan diri dalam kekuasaan patron agar ekonomi mereka terjamin. Mereka mendekatkan diri guna mendapatkan lahan untuk bertani dan menjadi ketergantungan pada salah satu tuan tanah setempat yang dominan. Meningkatnya ketergantungan petani pada kelas pemilik lahan bukanlah semata-mata persoalan kelaparan lahan, tetapi juga merupakan akibat dari meningkatnya kebutuhan akan perlindungan terhadap ketidak-pastian dan ketidak-amanan pertanian tanaman ekonomis dibanding pertanian subsistensi.

Dalam pembahasan hubungan Patron-Klien antara pemilik lahan dengan penyewa lahan pertanian saya mengambil contoh pada kasus Hj. Masruroh sebagai Patron dengan Ibu Rodah sebagai Klien, cerita ini dimulai ketika Ibu Rodah menyewa lahan pertanian kepada Hj. Masruroh, pada saat itu Hj. Masruroh tidak menggarap lahan pertaniannya tersebut karena letaknya yang jauh dari tempat tinggalnya, tempat tinggalnya ada di Desa Kajen Kecamatan Talang, sedangkan lahan pertaniannya ada di Desa Sigentong Kecamatan Waru Rejo. Sehingga akan lebih efektif jika lahan tersebut disewakan. Secara kebetulan Ibu Rodah sedang membutuhkan lahan pertanian karena beliau dan suaminya adalah seorang petani. Akhirnya, lahan tersebut disewakan ke Ibu Rodah. Lahan tersebut luasnya sekitar 7000 m2 dengan biaya sewa sekitar Rp 6.500.000 per tahun, setelah lahan tersebut sah disewakan maka terjadilah hubungan Patron-Klien antara pemilik lahan dengan penyewa lahan.

              Si Klien biasanya akan berkunjung ke rumah Patron ketika masa panen, hal ini untuk menjalin silaturahmi antara keduanya, Klien biasanya membawa beberapa hasil panen serta buah tangan lainnya untuk Patron, hal ini bukanlah termasuk dalam perjanjian, namun lebih kepada rasa terima kasih dan rasa hormat kepada Patron. Patron pun biasanya akan membalas kebaikan dari Kliennya, biasanya ketika Ibu Rodah berkunjung ke Rumah Hj. Masruroh, Hj. Masruroh akan menyiapkan beberapa hidangan untuk disajikan ketika Ibu Rodah datang, dan ketika Ibu Rodah hendak pulang , Hj. Masruroh akan membawakan buah tangan sebagai rasa terima kasih kepada Ibu Rodah karena telah berkunjung dan juga membawa hasil panennya.

                   Hubungan antara keduanya terus terjalin, hingga pada saat Hj. Masruroh meninggal, Ibu Rodah dan suaminya datang sebagai wujud belasungkawa. Meskipun Hj. Masruroh sudah meninggal, namun ketika masa panen Ibu Rodah dan suaminya tetap bersilaturahim ke kediaman Hj. Masruroh, bahkan anaknya pun diikutsertakan. Pada saat itu suami Hj. Masruroh masih hidup, beliau bernama H. Muchtamil, sehingga hubungan Patron-Klien masih kental terlihat. Hingga pada suatu hari H. Muchtamil meninggal dan pada akhirnya lahan sawah yang disewakan hendak dijual, namun lagi-lagi karena hubungan Patron-Klien yang sudah terjalin cukup lama maka anak-anak dari H. Muchtamil dan Hj. Masruroh menjualnya ke pihak Ibu Rodah dengan harga sekitar Rp350.000.000. Dan meskipun lahan pertanian tersebut sudah terjual serta H. Muchtamil dan Hj. Masruroh sudah meninggal namun hubungan kekeluargaan tersebut masih terus terjali, itulah makna dari Patron-Klien itu sendiri dan itu adalah salah satu kisah dari sekian banyak kisah hubungan Patron dengan Klien.

  • Hubungan Patron-Klien yang Terjadi Saat Ini

                   Hubungan antara Patron dengan Kliennya sepertinya tidak akan habis untuk terus dibahas, seakan-akan istilah tersebut akan terus ada seiring dengan keberadaannya manusia. Seperti pada kisah yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu antara Hj. Masruroh dengan Ibu Rodah dimana kejadian tersebut masih belum begitu lama berlalu, yang artinya hubungan Patron-Klien masih ditemukan dan relevan dengan keadaan saat ini. Seperti pada hubungan Patron-Klien antara petani kebun teh dengan juragan atau pemilik perkebunan teh, buruh tani dengan pemilik lahan, atau lebih jauh lagi antara Presiden Indonesia dengan mantan-mantan Presiden Indonesia, semua memiliki cara tersendiri dalam menjalin hubungan antara satu dengan lainnya.

                   Seringkali hubungan antara Patron dengan Klien akan terus bertahan meskipun pemilik hubungan tersebut sudah tidak ada, namun juga tidak menutup kemungkinan adanya pemutusan hubungan tersebut, yang mana biasanya Klien yang memutuskan hubungan akan dinilai sebagai orang yang tidak tahu terima kasih dan tidak tahu balas budi. Balas budi inilah yang biasanya digunakan oleh para penguasa kepada bawahannya sebagai senjata untuk kekuasaannya, mengapa? Hal ini karena hutang budi bukanlah sesuatu hal yang dapat ditukarkan dengan materi, namun lebih kepada sikap hormat kepada orang yang berjasa.

                   Contoh lainnya adalah hubungan Patron-Klien antara santri dengan kyai nya. Santri yang masuk dan menimba ilmu di Pesantren secara otomatis akan begitu menghormati sosok kyai nya. Sosok kyai akan dijadikan sebagai panutan dan tuntunan dalam bertingkah laku ketika di  dalam Pesanteren, bahkan sikap hormat kepada kyai akan terus berlanjut walaupun si santri sudah lulus dari Pesantren. Hal ini dikarenakan, santri merasa jika kyai nya adalah sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya, rasa ingin membalas budi inilah yang menyebabkan santri tersebut terus bersilaturahim kepada kyai nya sebagai wujud bakti nya dan ucapan terima kasih.

                   Jadi, hubungan Patron-Klien hingga saat ini masih relevan dan banyak ditemukan dikehidupan sekitar, tidak memandang usia dan juga jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan kedudukan manusia yaitu manusia sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena manusia dalam usahanya untuk melangsungkan hidupnya selalu tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimana ia berada. Ketergantungan manusia terhadap lingkungan ini terwujud dalam bentuk interaksi sosial yang berlangsung di lingkungan tersebut. Interaksi yang terjadi pada setiap lingkungan sosial itu merupakan serangkaian tingkah laku yang sistematis antara dua orang  atau lebih, yang dapat berlangsung secara horizontal dan vertikal seperti yang ada pada hubungan Patron-Klien

PENUTUP

 Kesimpulan

             Hubungan Patron-Klien sudah ada sejak dahulu, hubungan ini bersifat informal dan pemilik hubungan ini biasanya akan terus terjalin dan berkelanjutan hingga anak dan cucu, dan setelah itu biasanya sudah hilang. Namun, ada juga beberapa kejadian di mana hubungan Patron dengan Kliennya terus berjalan bahkan tetap terjalin dengan baik meskipun pemilik hubungan tersebut sudah lama meninggal. Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan kedua di mana Ibu Rodah sebagai Klien perlu untuk menghormati Hj. Masruroh sebagai Patronnya, dan karena sang Klien nya merasa berhutang budi kepada Patron karena berkat diizinkannya menyewa lahan pertanian tersebut usaha dalam menjual hasil panen pun jadi lancar. Rasa berhutang budi inilah yang menyebabkan hubungan tersebut terus terjalin dengan baik.

             Di era modern seperti sekarang ternyata tidak begitu mempengaruhi keeksisan dari Patron-Klien itu sendiri, hubungan Patron-Klien sepertinya sudah melekat dengan masyarakat Indonesia dari zaman dahulu hingga saat ini dan sepertinya akan terus berlanjut. Jika dilihat antara Patron dan Klien maka keduanya merasa diuntungkan, meskipun si Klien adalah bawahan dan Patron adalah atasan namun keduanya tetap merasa saling membutuhkan sehingga hubungan tersebut berjalan dengan baik seiring dengan berjalannya waktu.

                     Hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan dipertahankan sejauh memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha untuk merusmuskan kembali hubungan tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam struktur interaksi itu sehingga sebenarnya kaum elitlah/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar posisi dikeduanya

DAFTAR PUSTAKA

 https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/53866/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y

Prasetijo Adi. 2008. Hubunugan Patron Klien. Artikel Etnobudaya Tentang Kebudayaan

Hidayat Yayan. 2017. Pemiskinan dan Patron-Klien di Pedesaan. Universitas Brawijaya : Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: