Ketidakadilan Gender

Hallo Blogys, gimana nih kabarnya? dipostingan kali ini, saya mau sedikit share mengenai beberapa tugas-tugas saya dari semester 1 sampai lima nih. hayoo siapa yang udah siap baca-baca tentang tugas kuliah nih? Tugas ini ada di mata kuliah Sosiologi Gender, tepatnya di semester V, silahkan di baca-baca ya Blogys…

Ketidakadilan gender adalah sifat, perbuatan, perlakuan yang berat sebelah atau sesuatu yang memihak pada jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat menyebabkan kesenjangan sosial antar individu. Hal ini merupakan perwujudan dari proses ketidaksetaraan gender yang dapat mengakibatkan tidak adanya kebebasan, seperti yang dicontohkan pada bentuk marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Fakih (2007 : 12) mendefinisikan ketidakadilan gender sebagai sistem dan struktur di mana kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender dapat diukur dengan manifestasi atau bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang ada di masyarakat yaitu, marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan. Fakih (2007 : 72).

Sumber : nurna. 2015. Ketidakadilan gender dalam novelgeni jora karya abidah el khalieqy

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender :

  1. Marginalisasi

Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang.  Pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.

  1. Subordinasi

Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak lama terdapat pendangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang geraknya, terutama dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki.

  1. Pandangan Stereotype

Stereotype adalah citra tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotype yang berkembang berdasarkan pengertian gender terjadi terhadap perempuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan.Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga, tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

  1. Kekerasan

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahan dari violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja, tetapi juga yang bersifat non fisik.

  1. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 % dari pekerjaan rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan tumah tangga.

Senin, 11 Sep 2017 08:40 WIB

Hakim Binsar Gultom Usulkan Tes Keperawanan

MedanBisnis – Jakarta. Hakim Binsar Gultom menyebut perceraian sebagai pelanggaran hukum negara dan hukum Tuhan. Oleh sebab itu, syarat pasangan menikah harus dinaikkan dari 19 tahun menjadi 25 tahun bagi laki-laki dan 16 menjadi 19 tahun bagi perempuan. Bahkan, bila perlu diadakan tes keperawanan.

“Perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hukum negara dan hukum Tuhan. Jadi kalau belum memahami makna perkawinan, jangan coba-coba menikah dulu,” kata Binsar.

Hal itu tertuang dalam buku Binsar yang berjudul ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim’ yang dikutip, Minggu (10/9). Nama hakim Binsar dikenal publik saat menjadi majelis hakim Jessica Kumala Wongso. Menurut Binsar, perkawinan adalah Istana Agung. Karena dari keluarga itulah muncul produk, tunas-tunas masa depan bangsa.

“Untuk menemukan jodoh, dekatkanlah diri pada Tuhan,” ujar hakim kelahiran 7 Juni 1958 itu.

Namun, Binsar tidak menutup mata banyaknya masalah dalam rumah tangga. Cukup pelik, lebih parah mengurusi pekerjaan di kantor. Bahkan, tidak sedikit yang berujung kepada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bila hal itu terjadi, Binsar akhirnya mengakhiri relasi rumah tangga tersebut.

“Perkara perceraian dan KDRT yang saya tangani sejak 1996 hingga sekarang ada sekitar 250 perkara,” tulis Binsar dalam halaman 213.

Menurut Binsar, perceraian dewasa ini dilatarbelakangi berbagai macam motif, salah satunya KDRT. Bentuk KDRT yang ia temui seperti kekerasan fisik hingga kekerasan seksual. Dari orang tua memperkosa anak sendiri hingga menjual anak sendiri untuk jadi PSK. Dengan banyaknya masalah perkawinan, maka Binsar menilai perlu direvisi UU Nomor 1/1974 tentang Perkawianan.

“Sebaiknya perempuan menimal menikah usia 21 tahun, sedangkan pria minimal 25 tahun dengan salah satu syarat salah satu pihak memiliki penghasilan tetap,” cetus ayah lima anak itu. Hal yang paling penting dilakukan, kata Binsar, bila perlu sebelum pernikahan harus diatur persyaratan yang tegas, yakni mereka masih dalam kondisi kudus, suci, artinya masih perawan atau tidak.

“Untuk itu, harus ada tes keperawanan,” kata Binsar dalam halaman 194.

Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah. Barangkali, kata Binsar, pernikahan bisa ditunda dulu. “Mengapa harus demikian? Karena salah satu yang membuat terjadinya perpecahan dalam rumah tangga karena perkawinan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sudah hamil terlebih dahulu,” pungkas Binsar yang menggondol doktor dari Universitas Sumatera Utara (USU) pada 2010. Usulan hakim Binsar Gultom soal tes keperawanan ini membuat kaget dan syok para aktivis perempuan.

“Super sakit nih hakim. Pernyataan hakim Binsar ini salah satu bentuk diskriminatif terhadap perempuan,” kata mantan komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu.

Menurut Ninik, tidak dimilikinya perspektif ketidakadilan gender terhadap perempuan, membuat hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum akan memutus perkara kasus-kasus perempuan dan adil menjadi tidak adil secara substantif.

“Saya mengusulkan agar hakim Binsar dites kembali kapabilitasnya sebagai hakim. Terutama terkait perspektifnya terhadap nilai-nilai equality dan equity terhadap perempuan,” kata Ninik menegaskan. Apalagi baru saja keluar Peraturan MA (Perma) No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma di atas merupakan aturan bagi hakim untuk mengadili perempuan secara adil, tidak hanya secara hukum acara, tetapi juga secara substantif.

“Ini PR bagi Ketua MA, tidak hanya membuat regulasi tapi mengajarkan pada jajaran bawahannya untuk belajar melaksanakannya. Kalau tetap tidak paham, disekolahkan dulu ke Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia (PKWG UI),” cetus Ninik yang kini menjadi komisioner Ombudsman Republik Indonesia itu. (dcn)

Sumber :

https://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/09/11/318217/hakim_binsar_gultom_usulkan_tes_keperawanan/

Dari berita tersebut dapat dilihat jika adanya unsur ketidakadilan gender, dimana hanya pihak perempuan saja yang dilakukan tes sebelum dilangsungkannya pernikahan, sedangkan pihak laki-laki tidak dites keperjakaan. Adanya usulan dari beliau mengenai diberlakukannya tes keperawanan tentu mengundang komentar dari berbagai pihak, baik dari masyarakat awam, maupun dari Komnas Perempuan. Hal ini dikarenakan, usulan mengenai tes keperawanan ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi gender. Meskipun hingga saat ini belum ditemukan cara untuk mengetahui keperjakaan seorang laki-laki, namun dengan melihat ilmu medis yang ada saat ini para dokter seharusnya dapat mencari caranya.

Banyak tanggapan negatif mengenai tes keperawanan, hal ini dikarenakan tes keperawanan seorang perempuan adalah urusan antara kedua mempelai, yang artinya negara dinilai tidak perlu ikut campur. Namun Hakim Binsar sendiri memiliki alasannya, menurut beliau tes keperawanan seorang perempuan dinilai dapat mencegah adanya kasus perceraian dan KDRT. Ini artinya, tes ini akan berdampak positif baik bagi perempuan maupun laki-laki. Orang yang berkomentar positif juga memiliki alasannya, diantaranya dengan adanya tes keperawanan sebelum menikah maka akan mengurangi adanya kasus hamil di luar nikah, artinya dengan berkurangnya kasus tersebut maka diharapkan kasus aborsi juga akan berkurang, mengingat tindakan aborsi termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sikap ketidakadilan gender yang banyak menimpa kaum perempuan hingga saat ini tentu menjadi PR bagi semua elemen masyarakat, tindakan diskriminasi yang dialami perempuan sudah seharusnya tidak lagi terjadi. Mengingat jika dilihat secara saksama sudah banyak perempuan yang mulai tampil di depan publik, artinya perempuan tidak lagi hanya berada di dalam rumah. Perempuan sudah mulai membuktikan kesetaraannya dengan laki-laki, yang berarti perempuan sudah tidak berhak lagi untuk ditindas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: