TRUE BLOG

MASYARAKAT KONSUMEN

by on Nov.21, 2015, under Sosiologi

Konsumsi dan Gaya Hidup

Dalam sosiologi, konsumsi tidak hanya dipandang bukan sekedar pemenuh kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia, tetapi berkaitan dengan aspek-aspek social budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas, atau gaya hidup. Menurut ekonom, selera sebagai suatau yang stabil, difokuskan pada nilai guna., dibentuk secara individu, dan dipandang sebagai suatau yang eksogen. Sedangkan menurut sosiolog, selera sebagai suatau yang dapat berubah, difokuskan pada suatu kualitas simbolik suatau barang, dan tergantung persepsi selera orang lain.

Weber ([1922 1978)] berpendapat bahwa selera merupakan pengikat kelompok dalam (ingroup). Actor-aktor kolektif berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga akan meningkatkan prestis dan solidaritas kelompok dalam.

Sedangkan Veblen ([1899] 1973) memandang selera sebagai senjata untuk berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi. Antara seorang dengan orang lain. Hal ini tercermin dalam masyarakat modern yang menganggap selera orang dalam mengkonsumsi suatu barang akan dapat melihat selera dasar dan penghargaan yang didapat .

Konsumsi dapat dipandang sebagai bentuk identitas. Barang-barang simbolik juga dapat menunjukkan kelompok pergaulannya. Simmel ([1907]1978:323) mengatakan bahwa ego akan runtuh dalam kehilangan dimensinya jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menajdi ekspresi dari kecenderungannya, kekuatannya dan cara individualnya karena mereka mematuhinya, atau dengan kata lain miliknya. Sebagai contoh, seorang pejabat yang meletakkan ensiklopedi dalam rak ruang tamu atau kantornya yang menandakan bahwa ia mampu membeli barang yang harganya relative mahal tersebut. Walau sebenarnya tidak pernah ia baca, sehingga dapat dikatakan hanya sebagai pajangan semata.

  1. Hubungan Konsumsi dan Gaya Hidup

Webber ([1922]1978) mengatakan bahwa konsumsi terhadap suatu barang merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Sehingga situasi kelas ditentukan oleh ekonomi sedang situasi status ditentukan oleh penghargaan social. Misalnya, pada masyarakat pedesaan, status guru dan pedagang lebih tinggi guru walaupun pendapatannya lebih besar pedagang. Hal ini dikarenakan guru mempunyai peluang yang besar untuk mencari peluang tambahan. Sebagai contoh bekerja sampingan sebagai pedagang. Guru akan lebih berhasil dari pada pedagan tulen karena masyarakat menganggap guru adalah orang yang berpendidikan dan tidak mungkin berbuat curang. Sehingga orang akan cenderung berbelanja pada guru. Atau pada masyarakat perkotaan, para pengusaha berhak mendapat gelar bangsawan karena dia mampu memberi suatu sumbangan pada keraton. Walau ada pihak yang lebih berhak mendapat gelar tersebut.

Sedang menurut vablen ([1899] 1973), penghargaan social terhadap masyarakat luas terletak pada keperkasaan, misalnya perang. Sedang pada masyarakat industry terletak pada kepemilikan kesejahteraan seseorang. Juga pada konsumsi yang dilakukan sebagai indikator dari gaya hidup kelompok status.

Han peter Mueller (1989), mengatakan ada 4 pendekatan dalam memahami gaya hidup :

  1. Pendekatan psikolog perkembangan : tindakan seseorang tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi dan politik, tetapi juga dikarenakan perubahan nilai.
  2. Pendekatan kuantitatif social struktur : mengukur gaya hidup berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang. Pendekatan ini menggunakan sederet daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai.
  1. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan : memandang gaya hidup sebagai lingkungan pergaulan.
  2. Pendekatan kelas : mempunyai pandangan bahwa gaya hidup merupakan rasa budaya yang direprodiksi bagi kepentingan struktur kelas.
  3. Asumsi Jean Baudrillard
  4. Biografi

Jean Baudrillard adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal Perancis. Karya Baudrillard seringkali dikaitkan dengan pascamodernisme dan pascastrukturialisme.Ia merupakan seorang teoritisi sosial pasca-struktural terpenting. Dalam lingkup tertentu dekade 1980-an, Baudrillard dikenal sebagai McLuhan baru atau teoritisi terkemuka tentang media dan masyarakat dalam era yang disebut juga posmodern. Teorinya mengenai masyarakat posmodern berdasarkan asumsi utama bahwa media, simulasi, dan apa yang ia sebut ‘cyberblitz’ telah mengkonstitusi bidang pengalaman baru, tahapan sejarah dan tipe masyarakat yang baru.

Baudrillard lahir dalam keluarga miskin di Reims pada 20 Juni 1929.Ia mempelajari bahasa Jerman di Universitas Sorbonne di Paris dan mengajar bahasa Jerman di sebuah lycée (1958-1966). Ia juga pernah menjadi penerjemah dan terus melanjutkan studinya dalam bidang filsafat dan sosiologi. Pada tahun 1966 ia menyelesaikan tesis Ph.D-nya Le Système des objets (“Sistem Objek-objek”) di bawah arahan Henri Lefebvre. Dari tahun 1966 hingga 1972 ia bekerja sebagai Asisten Profesor dan Profesor. Pada tahun 1972 ia menyelesaikan habilitasinya L’Autre par lui-même dan mulai mengajar sosiologi di Université de Paris-X Nanterre sebagai profesor.

Pada awal kariernya Baudrillard dipengaruhi oleh “kritik kehidupan sehari-hari” dari Henri Levebre. Beberapa penulis mengatakan ia juga banyak dipengaruhi oleh Nietzsche, Sigmund Freud, Jacques Lacan, Saussure, Levi Strauss dan tentu saja ‘revolusi mahasiswa’ pada Mei 1968 yang menggulingkan tahta Presiden De Gaulle. Tapi itu bukan berarti ia mengkaji secara mendalam sejarah apalagi sejarah ide-ide. Atau lebih tepatnya ia tidak memiliki persepsi historis tentang suatu peristiwa, dan sejarah pun cenderung ia ‘mitologisasikan’.

Dalam penilaian Andreas Ehrencrona, tulisan-tulisan Jean Baudrillard mengingatkan orang lebih kepada puisi daripada teks-teks filosofis umumnya. Menurutnya Baudrillard terus-menerus bermain dengan kata-kata dan membuat metafor-metafor liar dari astronomi dan menggoda pembaca untuk lebih berkonsentrasi pada bahasanya daripada pendapat-pendapatnya.” Gayanya menulis nampak mengilustrasikan tesisnya bahwa kita tengah meninggalkan ‘realitas’ dan sedang dalam perjalanan memasuki apa yang disebutnya ‘hyperreality’; suatu tempat dimana kita bisa bersembunyi dari ilusi yang kita takutkan. Fondasi filsafat Baudrillard adalah kritisisme terhadap pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti realitas dengan ilusi tentang kebenaran.

Jean Baudrillard, sosiolog Perancis yang terkenal karena nama buruknya, kritikus budaya, dan ahli teori postmodernitas, dilahirkan pada tahun 1929 di sebelah utara kota Reims. Seorang anak pegawai sipil dan cucu lelaki dari seorang petani, Baudrillard adalah mantan guru sosiologi di sebuah universitas, dan figur intelektual terkemuka pada saat itu. Disertasi untuk meraih gelar doktor di bidang sosiologi dikerjakan bersama-sama dengan Henri Lefebvre. Ia kemudian menjadi asisten pada bulan September 1966 di Universitas Nanterre Paris. Ia bekerjasama dengan Roland Barthes, dalam analisa semiotik dalam kebudayaan , dalam pertamanya Obyek Sistem (1968). Ia adalah juga dipengaruhi oleh Marshall McLuhan yang memperlihatkan pentingnya media massa dalam pandangan kaum sosiologis. Karena dipengaruhi oleh semangat pemberontakan mahasiswa di Universitas Nanterre (1968), ia bekerja sama dengan suatu jurnal yaitu Utopie, yang dipengaruhi oleh anarcho-situationism, teori media dan Marxisme struktural, di mana ia menerbitkan sejumlah artikel teoritis pada suasana kemakmuran kapitalis, dan kritik teknologi.

Pemikiran Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran filsuf lain yang memiliki pemikiran tentang objectivity and linguistic-sociological interface (Mauss), Surrealism and Eroticism (Bataille), Psychoanalysis dan Freud, dan terutama Marxisme. Lalu ia menjadi seorang yang dikagumi sebagai seorang yang mengerti akan keadaan yang datang pada kondisi posmodernisme. Filosofi Baudrillard terpusat pada dua konsep “hyperreality” dan “simulation“. Terminologi ini mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan kontemporer pada zaman komunikasi massa dan konsumsi massa.

Jean Baudrillard adalah salah seorang tokoh intelektual dari masa kini yang telah menghasilkan banyak karya di bidang filosofi, teori sosial, dan budaya. Spesifikasi dan ketertarikannya terutama adalah pada post-modernisme dan post-strukturalisme. Jean Baudrillard juga dikenal sebagai seorang fotografer dan juga merupakan seorang kritikus politik yang cukup vokal dalam mengomentari berbagai dinamika terkini di ranah politik dunia. Filsuf asal Perancis ini lahir di sebuah wilayah yang terletak di timur laut Perancis bernama Reims pada 27 Juli 1929. Jean Baudrillard terlahir di sebuah keluarga menengah di mana orang tuanya berprofesi sebagai pegawai negeri. Kakeknya adalah seorang petani.

Jean Baudrillard adalah satu-satunya anak yang bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi di keluarganya. Dia mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Jerman di Sorbonne University. Selulusnya dari Sorbonne University, Jean mencoba karirnya sebagai seorang pengajar bagi berbagai sekolah menengah di Perancis. Sembari mengajar, Jean juga aktif menerbitkan ulasan sastra dan juga terjemahan karya ilmiah milik beberapa penulis seperti Peter Weiss, Friedrich Engels, Karl Marx, dan sebagainya.

Jean Baudrillard pun lalu melanjutkan studinya ke jenjang doktoral dan menulis tesis berjudul Le Système des objets. Selesai dengan pendidikan doktoralnya, Jean pun lalu melanjutkan karir mengajarnya. Pemikirannya terutama tentang konsep ‘simulakra’, ‘hyperreality’, dan ilmu simbolisme sangatlah revolusioner dan dianggap membawa sebuah angin baru bagi dunia filsafat. Dia banyak mengembangkan dan mengkritisi apa yang telah dikemukakan oleh ahli-ahli terdahulu dan mengemasnya dalam suatu sudut pandang yang berbeda sehingga memberikan khasanah dan wawasan baru bagi masyarakat. Pencetus teori terdahulu yang sering menjadi acuannya antara lain adalah Karl Marx, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Foucault, Ferdinand de Saussure, dan masih banyak lagi. Jean Baudrillard dianggap memiliki pemikiran yang sangat penuh dengan visi baru.

  1. Teori
  2. Simulasi

Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.

Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra), hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam sebagainya.

Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan posmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.

  1. Semiotika

Semiotika adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika.

Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard.

  1. Hyper-Reality

Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.

“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya  kode bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)

Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang mereka junjung tinggi.

Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai tertier. Ditemani oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan pihak pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat yang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan tetapi mereka inginkan. Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.

  1. Contoh Kasus

Pada saat sekarang ini jaman sudah semakin modern dan canggih, hal ini merupakan salah satu pengaruh yang diberikan oleh adanya modernisasi dan globalisasi. Perkembangan modernisasi dan globalisasi telah menyebabkan adanya perilaku konsumtif yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga setiap adanya benda-benda maupun barang-barang yang baru keluar, masyarakat memiliki rasa ingin memiliki dan dengan adanya rasa ingin memiliki tersebut maka masyarakat akan mengusahakan berbagai cara untuk dapat membeli benda maupun barang tersebut baik dengan cara yang halal maupun tidak halal.

Kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini sebenarnya masyarakat membeli barang bukan hanya karena nilai kegunaaannya bagi kehidupan mereka, tetapi lebih kepada gaya hidup dan trend yang muncul akibat adanya rasa gengsi dan pamer dalam diri individu ataupun masyarakat. Dalam hal ini munculnya gaya hidup yang konsumerisme masyarakat diakibatkan oleh adanya media-media yang memperngaruhi, mengajak dan mengubah pola pikir maupun perilaku masyarakat. Adapun media yang dimaksudkan adanya media elektronik maupun media massa.

Dengan adanya media elektronik dan media massa yang dibawa oleh pengaruh modernisasi maupun globalisasi telah menciptakan kesadaran palsu dalam kehidupan masyarakat. Dimana kesadaran palsu tersebut sifatnya berlebihan, khayalan ataupun tidak kenyataan. Misalnya individu merasa kebutuhan hidupnya telah sepenuhnya terpuaskan padahal sesungguhnya masih kekurangan, individu juga merasa hidupnya sudah makmur padahal masih miskin, dan lain sebagainya.

Saat ini  kita tidak sedang hidup dalam masyarakat yang berkecukupan, akan tetapi kita hidup dalam masyarakat pertumbuhan. Adapun yang dikatakan ideologi pertumbuhan pada hakekatnya menghasilkan dua hal yakni kemakmuran dan kemiskinan. Kemakmuran ialah bagi kaum borjuis yang memiliki modal dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup, sedangkan kemiskinan ialah bagi kaum proletar yang tidak memiliki modal dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga pada kenyataannya, pertumbuhan menjadi salah satu alat untuk membatasi ruang gerak orang-orang miskin dan hal tersebutlah yang membuat ideologi per-tumbuhan sengaja dilanggengkan untuk menjaga sistem.

Menurut Jean Baudrillard pertumbuhan adalah fungsi kemiskinan. Menurutnya  kebutuhan manusia akan selalu melampaui produksi barang. Masalah ini terletak pada hubungan sosial atau dalam logika sosial yang mana manusia tidak hanya mengkonsumsi barang saja, tetapi juga mengkonsumsi jasa manusia dan hubungan antar manusia. Menurut Jean Baudrillard hal ini tidak dapat diatasi oleh adanya peningkatan produksi yang disertai inovasi kekuatan produksi maupun adanya peningkatan daya beli, akan tetapi solusi dalam mengatasi masalah ini adanya adanya perubahan yang dilakukan dalam hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerlukan logika sosial untuk dapat menciptakan terjadinya pertukaran simbolik dan bukan nilai tukar.

Selain itu kita ketahui bahwa saat ini konsumsi telah beroperasi pada masyarakat yang berbudaya konsumtif. Dalam hal ini manusia dalam kehidupannya akan menghabiskan waktu mereka untuk berkonsumsi serta memikirkan apa yang akan mereka konsumsi dan me-nyiapkan apa yang akan dikonsumsi. Dalam hal ini tentunya manusia dalam kehidupannya memerlukan pekerjaan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya menyangkut konsumsi, serta melanjutkan pendidikan ke jenjang yang setinggi-tingginya untuk dapat berkonsumsi yang lebih baik lagi dibandingkan dengan yang sebelumnya.

Menurut Jean Baudrillard  konsumsi  tidak ada kaitannya atas apa yang secara umum kita pahami sebagai suatu realitas, tetapi konsumsi berkaitan dengan kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas sebagai tanda objek konsumsi. Dan dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan dengan objek terutama konsumsi objek. Objek-objek itu tidak memiliki makna karena kegunaan dan keperluan tetapi memiliki makna sendiri sebagai tanda daripada nilai guna atau nilai tukar dan konsumsi tanda-tanda objek ini menggunakan bahasa yang kita pahami. Komoditas dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan sebagainya.

Dalam kehidupannya manusia hidup dalam suatu bentuk relasi subjek-subjek yang baru yakni relasi konsumerisme. Dalam relasi tersebut masyarakat mempelajari dan menginternalisasi kode-kode sosial dari objek-objek konsumsi, baik melalui media massa maupun dari  lingkungan sosial. Perkembangan budaya konsumsi yang berjalan seiring perkembangan media massa menghasilkan dampak yang signifikan dalam kehidupan manusia, terutama berkaitan dengan relasi sosial berdasarkan rasionalitas konsumsi. Jean  Baudrillard mengatakan bahwa hal tersebur bertujuan untuk mengungkapkan pemahaman tentang makna kebahagiaan dan kesejahteraan dalam realitas masyarakat dan bagaimana objek konsumsi menjadi penanda sosial dalam masyarakat.

Iklan, menurut Baudrillard, adalah penghancur intensitas makna dan tanpa wilayah yang jelas. Kehadiran iklan di setiap perempatan jalan, televisi, surat kabar, membentuk kesadaran akan sebuah informasi menjadi di permukaan saja. Namun, masyarakat tetap terpesona dengan kehadiran tersebut. Keterpesonaan yang dihadirkan dengan hanya mengkonsumsi tanda tersebut tanpa harus merefleksikannya.

Pengertian akan konsumsi tidak bisa lagi didasarkan kepada kegiatan yang bersifat kebendaan. Konsumsi bisa terjadi pada hal yang bersifat metafisis. Konsumsi, dalam pemikiran Baudrillard, bisa terjadi pada setiap tanda-tanda, yang membawa kepada pemikiran Saussure terhadap ikatan antara penanda dan tanda. Keberlimpahan tanda-tanda yang ada berpotensi untuk saling dipertukarkan agar dapat dikaitkan dengan keberlimpahan komoditas yang ada di dalam masyarakat.

Keterlepasan makna iklan bila dilihat dari tanda dan penanda pun juga terjadi. Iklan yang ada seringkali tidak lagi menjadi medium untuk menyampaikan pesan untuk dikonsumsi. Iklan menjadi berdiri sendiri dan terlepas dari tanda-penanda tersebut sehingga iklan tersebut dapat dikonsumsi. Iklan sebagai medium menjadi diragukan. Titik di mana tanda dan penanda lepas inilah, kemudian yang menyebabkan pergerakan makna menjadi tidak terbatas dan liar. Setiap hal yang ada di dunia berpotensi untuk berdiri sendiri dan dapat bertukar makna satu sama lain. Orisinalitas kebendaan menjadi suatu hal yang tidak perlu dikejar lagi.

Makna sebuah iklan yang telah berdiri bebas ini, menyebabkan sebuah konsekuensi akan pengertian iklan sendiri. Iklan menjadi suatu aktivitas mendasar dan tidak lagi diartikan dalam industri ekonomi. Makna beriklan merambah kepada sains, agama maupun ideologi. Tidak ada lagi definisi untuk iklan yang siap dibenturkan secara anti-tesis karena pada masa ini.

Dengan demikian, value of exchange dalam iklan tidak lagi berlaku melainkan symbolic exchange. Tanda-tanda yang dihadirkan dalam iklan dipertukarkan dengan hal lain yang lebih dekat dengan lingkungan mereka yang akan mengkonsumsi iklan tersebut. Hal ini dapat terlihat ketika iklan produk yang satu dengan iklan produk yang lain saling berkompetisi untuk saling menjatuhkan. Saling menjatuhkan tersebut bukan berdasarkan atas nama apa yang ditampilkan atau realitas dari produk itu sendiri, melainkan saling menjatuhkan apa yang ditampilkan dalam iklan. Sering ditemukan bahwa iklan-iklan yang saling menjatuhkan tersebut menyinggung jargon-jargon yang dihadirkan semata. Pepsi Cola dengan Coca Cola adalah contoh yang sangat nyata untuk menggambarkan

Jean Baudrillard mengatakan bahwa saat ini tatanan masyarakat telah didasari oleh rasionalitas hedonisme yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Artinya bahwa saat ini kehidupan masyarakat yang sudah terkena pengaruh modernisasi dan globalisassi telah menciptakan masyarakat yang hedonisme yang mana masyarakat akan melakukan berbagai cara maupun kegiatan yang bertujuan untuk mengutamakan kesenangan dalam kehidupan mereka. Masyarakat akan bekerja untuk mencari uang yang nantinya uang tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang yang menurut mereka dapat memuasakan kebutuhan.

Selain itu bagi mereka yang memiliki uang, mereka akan menghambur-hamburkan uang yang mereka miliki untuk hal-hal yang tidak berguna, seperti misalnya membeli minum-minuman keras, melakukan operasi plastik agar wajah terlihat lebih cantik dan lain sebagainya. Sehingga kehidupan tradisional yang penuh dengan ajaran-ajaran mengenai kesalehan, kesederhanaan, sifat-sifat altruistic dan pengekangan hasrat atau nafsu telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang bertumpu pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang disebarkan oleh media massa.

Pola konsumtif yang diakibatkan kapitalisme memberi dampak terhadap produksi massal yang kemudian menciptakan suatu budaya. Budaya yang begitu lekat di masyarakat atas kepemilikan suatu barang yang over production memunculkan budaya popular. Kemudian, budaya popular tersebut sudah dilihat sebagai tanda yang beredar . Dalam buku The Consumer Society: Myth and Structures, Baudrillard mencoba menjelaskan bahwa struktur sosial yang telah berjalan merujuk kepada struktur sosial yang kolektif tanpa mengabaikan diferensiasi individual. Hal tersebut terlihat ketika kepemilikan terhadap satu objek menentukan identitas individu tertentu.

Objek menjadi penentu identitas tersebut dihadirkan melalui tanda yang telah diciptakan. Maka dari itu, setiap manusia yang ingin memiliki indentitas, mau tidak mau, melakukan konsumsi atas barang tersebut untuk mendapatkan tanda yang diciptakan. Tujuan konsumsi bukan lagi menghabiskan atau memanfaatkan kegunaan barang konsumsi melainkan memanfaatkan tanda-tanda yang sengaja dimasukkan ke dalam barang konsumsi oleh produsen melalui sebuah usaha manipulasi kesadaran yang dibantu oleh kecanggihan media massa.

Logika konsumsi yang dilakukan masyarakat, menurutnya, tidak lagi disandarkan kepada kebutuhan akan barang dan jasa lagi, melainkan keinginan akan sesuatu yang melebihi hal tersebut. Kondisi ini menuntun Baudrillard menemukan sebuah aspek yang baru yang menggerakkan masyarakat dalam melakukan pola konsumsi. Pada tingkat tertentu, logika konsumsi mengarahkan individu untuk menghabiskan produksi barang yang ada. Tentu hal ini agak berbeda dengan pemahaman Marx yang bersandar bahwa produksi menjadi penentu. Konsumsi yang dilakukan di era saat ini justru menentukan produksi selanjutnya. Dengan kata lain, masyarakat menjadi faktor bagi fungsi konsumsi tersebut.

Contoh yang sangat sederhana untuk menjelaskan keadaan mengenai situasi ini adalah saat sebuah produsen alas kaki akan mencari akal supaya barang-barang yang diproduksinya tetap terbeli. Jika pola pikir masyarakat masih seperti apa yang dipikirkan oleh Marx, dimana mereka hanya membeli berdasarkan nilai guna, maka produsen alas kaki tersebut menjadi tidak akan cepat laku dan memproduksi barang secara lambat. Maka dari itu, perlu dibangun imaji-imaji yang benar-benar baru mengenai keberadaan sepatu tersebut agar hasrat untuk membeli konsumen dapat terbentuk kembali. Dengan kata lain, kegiatan konsumsi ini bukan lagi menjadi keputusan yang tentatif, melainkan pada tahap selanjutnya, konsumsi adalah sebuah sistem.

Tanda-tanda yang dihadirkan untuk membentuk imaji-imaji tersebut sudah menjadi komoditas bagi konsumen. Tanda, imaji, dan pesan dapat diciptakan sehingga mengarahkan konsumen memperoleh hasrat tidak terbatas, dikondisikan untuk membutuhkan sesuatu. Dengan kata lain, rasa tidak puas selalu dimunculkan. Berlimpahnya tanda, pesan dan imaji yang beredar di masyarakat membentuk suatu struktur tersendiri yang berujung kepada kode kolektif masyarakat tetapi masih dalam pengertian Growth Society. Berlimpahnya tanda-tanda tersebut tidak berdiri sendiri. Peranan media massa tentu berpengaruh.

Secara umum, perkembangan pemikiran Baudrillard telah sampai pada usahanya untuk menentukan bagaimana budaya dan iklan mengkonstitusi sebuah “kode” yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada individu-individu. Kode ini adalah esensi dari konsumsi.  Individu-individu, Baudrillard berargumen, mengkonstruksi diri mereka, sebaik-baiknya, identitas mereka dalam dan melalui respon mereka terhadap iklan dan media. Sangat tidak berguna untuk meratapi kualitas pertunjukan TV atau konsumerisme dalam pengertian liberalis dan marxis karena kevulgaran dan eksploitasi tidak relevan untuk dunia konsumer yang baru. Di dalam mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan, di radio dan iklan-iklan TV, sebuah budaya dikonstruksi yang akan menangkap atensi dan imajinasi tidak hanya media massa di masyarakat yang terindustrialisasi tetapi juga di masyarakat komunis dari eropa timur dan tentunya di dunia ketiga.

Kondisi di mana pola konsumtif yang tercipta di dalam masyarakat Kapitalis memungkinkan ketertarikan terhadap kebendaan itu sendiri berkurang. Kondisi global juga dikaitkan dengan keberadaan barang atau jasa yang beredar dalam ranah global. Maka dari itu, iklan di setiap tempat dan budaya mutlak diperlukan. Iklan, pada akhirnya menyerap semua budaya. Jika mengaitkan iklan dengan informasi dan komunikasi seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka tingkat penyerapan informasi dalam iklan menjadi tidak mendalam. Semua informasi hanya menjadi dikonsumsi secara permukaan saja.

Jean Baudrillard mengemukakan analisanya bahwa wacana tentang semua kebutuhan hidup sebenarnya berakar pada antropologi naif tentang makna alamiah kebahagiaan. Pemahaman tentang makna kebahagiaan bagi masing-masing individu dalam masyarakat sekarang tidak serta merta berasal dari pemikiran alamiah manusia. Arti kebahagiaan bagi masyarakat didapat secara sosio historis, disebarkan melalui konstruksi sosial secara turun temurun. Sehingga bisa dikatakan bahwa pemaknaan tentang konsep bahagia adalah bagian dari mitos sosial.

Dalam kehidupan masyarakat modern, mitos tentang kebahagiaan menyatu dengan mitos tentang kesetaraan. Dalam hal ini kebahagiaan harus bisa diukur dalam bentuk objek-objek dan tanda-tanda. Kebahagiaan haruslah selalu merujuk pada kriteria-kriteria yang berwujud dan bisa dikalkulasi. Sehingga makna kebahagiaan yang secara mendasar bersumber dari kebersamaan diantara sesama manusia dan kesenangan-kesenangan psikologis lainnya dihapuskan dan diisi dengan kebahagiaan yang dimaknai dari terpenuhinya kebutuhan akan kesetaraan dan kesejahteraan.

Kebutuhan menjadi salah satu elemen dalam sistem industri, yang berbeda dengan kesenangan dan kepuasan. Konsumsi yang dilakukan masyarakat konsumen tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan atau bertujuan untuk mendapatkan kesenangan. Dalam hal ini konsumsi menjadi fungsi dari produksi. Oleh karena itu, semua barang-barang produksi tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan personal, tetapi kebutuhan yang langsung dan sepenuhnya kolektif yang artinya konsumsi tersebut lebih banyak karena faktor dorongan sosial daripada faktor kebutuhan. Sehingga kebutuhan saat ini menjadi motor atau penggerak dari sistem produksi. Namun bukan berarti kebutuhan yang mendorong produksi,  akan tetapi kebutuhan dilahirkan, diciptakan dan dimaksimalkan sebagai hasil dari sistem produksi yang melimpah. Sistem kebutuhan dihasilkan dari sistem produksi.

Jean Baudrillard (1998:75) mengemukakan genealogi konsumsi dalam menjelaskan bagaimana kebutuhan merupakan produk dari produksi pada era industrialisasi ini, yaitu:

  1. Tatanan produksi menghasilkan kekuatan produktif, suatu sistem teknis yang secara radikal berbeda dengan peralatan tradisional
  2. Tatanan produksi meghasilkan kekuatan produksi yang rasional/modal, suatu sistem investasi dan kalkulasi yang rasional, yang secara radikal berbeda dengan kekayaan dan dengan model pertukaran yang sebelumnya.
  3. Tatanan produksi memberi upah kepada tenaga buruh, suatu kekuatan produktif yang abstrak, yang tersistematisasi, yang secara radikal berbeda dengan buruh kongkret dan karyawan tradisional.
  4. Tatanan produksi juga menghasilkan kebutuhan-kebutuhan, sistem kebutuhan, kekuatan permintaan sebagai suatu keseluruhan yang rasional, terintegrasi, terkontrol yang melengkapi tiga yang lain dalam suatu proses kontrol total atas kekuatan produktif dan proses-proses produksi. Kebutuhan sebagai suatu sistem juga berbeda secara radikal dengan kegembiraan dan kepuasan. Mereka diproduksi sebagai elemen-elemen sistem, bukan sebagai suatu hubungan dari individu kepada objek.

Selain itu Jean Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumsi berkaitan dengan apa yang mereka miliki sebagai tanda objek konsumsi dan masyarakat konsumsi di control oleh tanda karena objek yang di pergunakan yakni sebagai tanda bukan sebagai bagian yang di konsumsi. Contohnya ialah ketika kita membeli makanan yang ada di pinggir jalan dengan yang ada di  restoran. Dalam hal ini yang membedakannya bukan kepada makanannya tetapi lebih kepada tanda objeknya. Orang yang membeli makanan di pinggir jalan menunjukkan tanda bahwa orang tersebut memiliki ekonomi yang rendah yang tergabung ke dalam kaum proletar, sedangkan orang yang membeli makanan di restoran akan menunjukkan tanda bahwa orang tersebut termasuk orang yang memiliki ekonomi tinggi yang tergabung ke dalam kaum borjuis. Dari gambaran tersebut tanda pada akhirnya menunjukkan adanya status sosial dalam masyarakat.

Dalam masyarakat konsumsi Jean Baudrillard menyelidiki tentang masalah dunia fashion sebagai sebuah paradigma kode. Dalam dunia fashion semua yang kita lihat adalah permainan sederhana penanda-penanda dan akibatnya hilanglah setiap sistem rujukan. Fashion tidak menciptakan apa-apa,  juga tidak merujuk pada sesuatu yang nyata bahkan tidak menggiring kemanapun tetapi hanya menciptakan suatu kode. Fashion juga tidak memiliki nilai moralitas dan cenderung menyebar laksana virus dan kanker. Meskipun fashion menggambarkan dominasi kode dan juga komoditas dan simulasi ia juga dalam satu pengertian merupakan ancaman bagi sistem. Fashion adalah salah satu bidang yang bercirikan permainan ketimbang kerja dan dia adalah dunia ilusi. Ia bermain dengan sesuatu misalnya kebaikan dan kejahatan, rasionalitas dan irrasionalitas. Fashion ini mengendalikan orang muda zaman sekarang sebagai perlawanan bagi setiap bentuk perintah, perlawanan tanpa ideologi, dan tanpa tujuan.

Jean Baudrillard mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumsi banyak masyarakat yang melakukan konsumsi tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang mendesak dan tidak terbatas, akan tetapi lebih kepada untuk membuktikan dan untuk menunjukkan kemampuan dan kepemilikan mereka yang lebih dalam mengkonsumsi sesuatu. Dalam masyarakat konsumsi jika kita memiliki uang maka kita bebas mengkonsumsi apa yang kita inginkan. Namun dalam hal ini kita bebas untuk mengkonsumsi hanya semata-mata pada objek dan tanda yang berbeda-beda. Selain itu dalam masyarakat kapitalis modern saat ini orang mengkonsumsi sesuatu tidak hanya menyangkut masalah kesenangan hidup saja tetapi juga lebih kepada persoalan perbedaan dimana individu dalam kehidupan masyarakat ingin tampil beda dari yang lain dan ingin dianggap lebih mampu dari pada yang lain.

Selain itu Jean Baudrillard  mengatakan bahwa masyarakat konsumer merupakan tempat dimana segala sesuatu diperjual-belikan. Dalam hal ini tidak hanya semua tanda komoditas akan tetapi semua tanda adalah komoditas. Dalam masyarakat konsumer yang dimaksud diperjual-belikan yakni semua objek termasuk pelayanan seks, kebudayaan, pengetahuan dan lain sebagainya.

Bagi Jean Baudrillard konsumsi adalah salah satu struktur yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa individu dalam kehidupan masyarakat. Artinya media-media informasi maupun media elektronik seperti iklan-iklan di radio maupun televisi secara tidak langsung telah mempengaruhi pikiran masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda yang ditawarkan. Sehingga dalam hal ini masyarakat mau tidak mau memiliki keinginan untuk memiliki barang-barang yang ditawarkan oleh iklan tersebut. Dalam hal ini terlihat bahwa ada kalanya konsumsi tersebut memaksa individu untuk segera memiliki barang-barang yang dimaksud-kan. Akan tetapi dengan catatan apabila individu tersebut melakukan berbagai cara untuk dapat memiliki barang yang di tawarkan oleh iklan tersebut seperti misalnya dengan cara mencuri untuk mendapatkan uang. Dimana nantinya uang yang dia peroleh dari hasil  curian tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang yang ingin dia konsumsi.

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas dan gaya hidup. Konsumsi dapat membentuk identitas seseorang dari barang-barang simbolis yang ia konsumsi. Hubungan antara konsumsi dan gaya hidup terbentuk ketika kita melihat seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang maka akan terlihat bagaimana gaya hidup mereka. Selain itu konsumsi dapat juga dijadikan acuan dalam penjenjangan suatu kelas social.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa penggerak kedinamisan dalam masyarakat adalah kelas menengah. Ketika kita menbedakan masyarakat kelas menengah dalam dua bagaian, yakni abangan dan santri, maka akan terlihat jelas bagaimana konsumsi dan gaya hidup yang terjadi pada dua kelompok tersebut. Mereka lebih suka berpegangan pada keyakinan masing-masing. Sehingga baik konsumsi dan gaya hidup kaum santri maupun abangan, masing-masing dari mereka telah berperan dalam perkembangan perekonomian nasional, walaupun dengan keyakinan dan pilihan sendiri-sendiri.

 

 

:

10 Comments for this entry

Leave a Reply

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

Blogroll

A few highly recommended websites...

    Archives

    All entries, chronologically...