Review (Ekonomi Subsisten dan Asal-usul Persatuan Kompleks Andean)

Di postingan ini,.saya akan membagikan mengenai tugas yang telah saya buat pada mata kuliah Antropologi Ekonomi. Pak Fadly Husein sebagai pengampu mata kuliah ini memberikan intruksi untuk mereview tulisan Jurnal Internasion yang berjudul SUBSISTENCE ECONOMIES AND THE ORIGINS OF ANDEAN SOCIETIES (Ekonomi Subsisten dan Asal-usul Persatuan Kompleks Andean). Selamat menyimak.

SUBSISTENCE ECONOMIES AND THE ORIGINS OF ANDEAN SOCIETIES
(Ekonomi Subsisten dan Asal-usul Persatuan Kompleks Andean)
Jurnal yang telah ditulis oleh Jefrey Quilter dan Terry Stocker ini, yang berjudul asli ‘Subsistence Economies and The Origins Of Andean Societies’ atau dalam terjemahannya yaitu Ekonomi Subsisten dan Asal-usul Persatuan Kompleks Andean. Jurnal yang diterbitkan pada tahun 1983 oleh American Anthropology Association memiliki gaya penulisan yang mengalir dan isi dari jurna yang menarik, hanya saja mungkin penulisan kata-kata yang bagi saya sangat sulit sekali diartikan hingga butuh pemahaman yang panjang. Tetapi, isi dari jurnal ini sangatlah menarik untuk dibaca.
Pembahasan yang akan dibahas dari jurnal ini yaitu mengenai Argumen dari dua hipotesis, Subsisten pergeseran, teknologi penangkapan ikan, dan catatan arkeologi, pentingnya seafood, agrikultur, el nino, dan strategi bencana, dan pembangunan masyarakat kompleks di peru.
Periode Preceramic sumber daya ekonomi memiliki peran penting dalam dunia ekonomi di Peru sehingga sumber maritim biasa dosebut Mamacocha, “ibu laut” karena dilakukan bagian dari ibu menyusui mereka. Mereka juga biasanya menyembah beberapa sumber daya laut, seperti halnya Paus yang memiliki ukuran besar yang dianggap sebagai suatu keberkahan. (Lanning 1996: Patterson 1971a, b; fung 1972: Moseley 1975; Feldman 1980; Rostworowski 1981) lebih menegaskan bahwa sumber daya maritim sangat penting dalam peletakan dasar peradaban Peru selama Periode Precerami sebagai ekonomi subsisten. Sehingga dalam kritik mengenai sumber maritim di Peru bahwa sumber makanan bahkan sistem perekonomian dikuasai oleh bidang maritim yang disebut juga Peruvian.
Sekitar 6000 SM, terdapat tiga zona sumber daya utama yaitu lembah sungai, samudera pasifik, dan loma, atau oasis kabut yang dijadikan sebagai desa-desa yang diduduki selama beberapa priode guna mendapatkan sumber maritim. Lokasi yang paling umum atau paling tidak diketahui untuk desa-desa tersebut berada di zona lomas. Antara 3000 dan 2500 SM.
El Paraiso (atau Chuquintata) di lembah chillon, dan Aspero, di dekat mulut Rio Supe, merupakan pusat sistem sosial dan ekonomi regional dibangun (sekitar 2500-1800 SM). Semua situs besar menunjukkan bukti upaya manusia yang terkonsentrasi dan terkonsentrasi, dan arsitektur banyak dari mereka menunjukkan konstruksi terencana dan terawasi, mungkin melibatkan kelompok elit kecil dan banyak pekerja. Dengan demikian, fase baru dalam kompleksitas budaya terjadi di pesisir peru sebelum diperkenalkannya perkebunan.
Ada dua hipotesis mengenai hal sumber maritim, pada priode Precerami, yaitu Argumen dasar para pendukung hipotesis maritim adalah bahwa sumber daya kelautan menyediakan makanan berlimpah, terlokalisasi, dan terus-menerus yang membantu perkembangan masyarakat kompleks pada akhir periode pra -ium, memberikan fondasi untuk perkembangan budaya selanjutnya dan hipotesis berikutnya yaitu lawan dari hipotesis pertama dengan asumsinya bahwa Hipotesis terestrial berpendapat bahwa sumber daya maritim tidak dapat diandalkan, tidak cukup berlimpah, dan kurang bergizi untuk mendukung populasi pesisir, dan variasi argumen menyatakan bahwa masyarakat preceramic di peru tidak memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksploitasi banyak makanan laut yang tersedia untuk modern. penduduk. Dalam pandangan ini, sumber daya berbasis lahan harus memainkan peran kunci dalam pengembangan masyarakat yang kompleks di pesisir tengah Peru dan menyarankan berburu sebagai strategi subsisten utama.
Cohen dan osborn telah menyarankan bahwa awal untuk pekerjaan di dataran tinggi dan pendudukan pantai yang tampak kemudian menunjukkan bahwa laut dimanfaatkan untuk makanan hanya setelah kepadatan penduduk yang tinggi, dengan demikian, pemandangan bahwa pantai diduduki setelah dataran tinggi dan makanan laut tercakup dalam makanan pada tanggal yang relatif terlambat menjadi sebuah permasalahan dalam priode prasejarah karena sumber daya pada tanah dan laut lebih miskin pada saat ini daripada masa sebelumnya. Kemiskinan kekayaan sumber daya alam diakibatkan karena adanya eksploitasi secara berlebihan pada masa penjajahan dan praktik pertanian. Sementara perubahan lingkungan telah terjadi di pesisir Peru, makanan laut selalu ada dan tingkat ketergantungan yang tinggi mengakibatkan ketidak tercapaian antara sumber daya alam dan sumber daya manusia di Peru.
Benfer (et al 1981) telah menafsirkan telah ditemukan pada kerangka laki-laki di Paloma sebagai bukti menyelam dalam air dingin untuk sumber daya kelautan. Fenomena ini juga telah dicatat oleh Lester (1966) dalam pemeriksaan kerangka laki-laki yang ditemukan di Huaca Prieta di pantai utara dengan beberapa bukti yang paling meyakinkan tentang pentingnya makanan laut di Paloma adalah sisasisa moluska, ikan, dan mamalia laut di coprolites dan area usus kerangka Paloma (Weir, komunikasi pribadi dengan Quilter) hal tersebut membukikan bahwa sumber perekonomian terfokus pada pengeloalaan maritim yang telah diperkuat dengan argumen yaitu mengenai pemanfaatkan makanan laut kaya di pesisir tengah Peru (lihat Wilson 1981: 107; Raymond 1981: 806).
Mengenai perkembangan periode di Peru bahwa teknologi yang canggih tidak diperlukan untuk menangkap sebagian besar makanan laut yang tersedia atau sumber pada matitim. Banyak kerang dan sumber laut lainya dapat dikumpulkan dengan tangan sementara moluska lainnya hanya membutuhkan alat penggali, akan tetapi disisi lain terjadi ekploitasi paus di Paloma dan penggunaan rusuk ikan paus untuk konstruksi rumah di lokasi Chilca I (Donnan 1964) menunjukkan bahwa paus dieksploitasi karena memiliki banyak manfaat dan ketersediaan ikan paus itu sendiri dan masalah ketersediaan sumber maritim dengan salah satu contohnya yaitu Ikan teri bisa didapat oleh Palomans dan penghuni pesisir lainnya dengan memancing atau hanya dengan merampasnya dari pantai saat mereka sesekali berlari ke pantai tersebut, namun akibat dari ketersedian atau kemudahan yang didapat dari sumber maritim menyebabkan masalah kemampuan pelayaran preceramic kurang pentind di kota ini.
Di Peru terdapat perhitungan dalam sistem kemaritiman terkait fenomena penangkapan ikan teri yang sangat mudah didapatkan sesuai dengan kutipan oleh Raymond (1981: 813) dengan mudah mengakui, “Jika ikan kecil, seperti ikan asin, dikonsumsi secara kuantitas, ukurannya. . . Kesalahan bisa menjadi signifikan. “Demikian pula, perhitungan daya dukung Wilson (1981: 103- 107) tidak akan lagi menunjukkan sumber daya terestrial lebih unggul dari sumber daya bahari jika ikan teri dipertimbangkan.
Sementara penghuni Alto Salaverry lebih mengandalkan tanaman budidaya daripada spesies tanaman liar, satu-satunya sumber protein hewani adalah laut. Berbagai jenis ikan tetap ditemukan di lokasi, mewakili spesies yang termasuk hiu (Mustelus sp.), Croaker (Sciena deliciosa dan Paralonchurus peruanus), dan bonito (Sarda chilensis). Ikan, krustasea, dan kerang, terutama kerang (Choromytilus chorus), telah dihitung untuk memberikan kontribusi 84,7% dari daging yang dikonsumsi oleh penduduk, berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan di lokasi tersebut (ibid .: Tabel 1, 3).
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat preceramic di Peru memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya maritim dan mereka secara aktif menjalankan strategi subsisten dimana makanan laut memainkan peran penting.

PENTINGNYA SEAFOOD
Sebagian besar perdebatan mengenai sumber daya maritim versus terestrial berkaitan dengan varietas makanan laut yang dikonsumsi oleh masyarakat Preceramic Period dan manfaat nutrisi makanan laut dibandingkan dengan sumber daya terestrial pada umumnya.
Osborn (1977: 171-177). Wilson (1981: 104-108) dan Raymond (1981: 807-813) mendukung anggapan bahwa moluska adalah sumber makanan yang buruk, namun tidak ada konsensus pendapat mengenai nilai makanan yang tepat dari berbagai kerang Peru yang berkaitan dengan daging merah. Seperti yang dicatat oleh Raymond (1981: 808), nilai gizi moluska Peru hanya dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai kalori untuk kerang lainnya. Percobaan yang dilakukan dengan menggunakan potongan kukus kukus yang sama (Mytilus edulis) dan daging sapi kukus telah menunjukkan bahwa makanan laut lebih dimetabolisme dengan sistem pencernaan daripada daging sapi dalam periode 24 jam (Van Slyke 1909: 104). Jika makanan laut pada umumnya lebih dimetabolisasi dari pada daging merah, maka akan meningkatkan nilai gizi sumber daya bahari dibandingkan dengan makanan hewan lainnya.

(Osborn 1977: 172) bahwa rasio daging terhadap kulit moluska rendah Membuat mereka menjadi sumber makanan yang buruk mengingat usaha dibutuhkan untuk mendapatkannya
Tetapi studi Tomka (1980: Tabel 5) tentang kerang Peru modern telah menunjukkan rata-rata pada kerang yang lebih rendah, ini jauh lebih banyak daging moluska per 1,065 g daripada daging dari sampel sungai yang digunakan oleh Osborn (1977: 172) dalam perhitungannya.
Masalah rasio food-to-residu ada dalam mempelajari isi kotoran secara umum juga
Seperti untuk sumber makanan tertentu seperti kerang. Telah ditunjukkan bahwa ukuran relatif berbagai makanan tetap dapat menghadirkan kesan palsu tentang subsisten Ekonomi di shell middens. Cohen (1974), misalnya, telah menyarankan agar tanaman tetap ada Mungkin kurang terwakili di lokasi pantai Peru karena pelestarian yang relatif buruk sedangkan tingkat preservabilitas dan residu merupakan pertimbangan penting dalam mengevaluasi Subsisten, mereka tidak bisa dilihat sendiri tapi harus dilihat dalam kaitannya dengan pengadaan transportasi, pengolahan, dan penyimpanan dari populasi tertentu (Hassan 1978:73-74; Nietschmann 1973: 175). Selanjutnya, faktor-faktor ini harus dievaluasi dari segi
Hubungan mereka dengan diferensiasi pembagian kerja seksual dan sosial dan osilasi di Indonesia Baik lingkungan kasar dan sumber daya spesifik (Binford dan Chasko 1976: 134-136) sampai Benar mengevaluasi peran subsisten perubahan dalam aspek lain dari perubahan budaya.
Di dalam jurnal ini pun dijelaskan tentang seafood (makanan laut) di Pesisir Paloma, dimana setiap harinya ditemukan dua atau tiga lusin yang dipanggang setiap harinya. Bahkan seperti singa laut pun ikut menjadi santapan mereka, terlihat bebrapa tulang dari singa laut yang habis dibakar. Walaupun belum tahu apakah daging singa laut di konsumsi atau tidak, tetapi setidaknya itu menandakan bahwa seafood (makanan laut) menjadi menu utama untuk memenuhi kebutuhan makan mereka setiap harinya. Bahkan warga suku pesisir yang dapat dikatakan jauh dengan berjarak 9,6 Km pun dilalui haya demi mendapatkan kerang. Makanan laut menjadi makanan pokok hingga zaman penaklukan spanyol. Pada sistem subsistensi ini menunjukkan mengenai berharganya makanan laut yang kaya akan protein. Semua kehidupan tergantung kepada laut.
Tetapi fenomena alam seperti halnya El Nino yang seakan menghancurkan kehidupan laut dan mengganggu kestabilitasan yang selama ini terbangun. Penduduk pesisir hendaknya harus bersabar dengan keadaan yang seperti ini. Para penduduk mempunyai keterampilan untuk menandai akan datangnya El nino sehingga setidaknya mereka sudah dapat mengantisipasi dengan menyimpan banyak stok makanan laut dengan mengawetkannya. Bisa dengan mengumpulkan minyak ikan yang kemudian menjadi minuman penuh protein. Minyak ini jutru menjadi simpanan paling awet daripada komoditi lainnya dan bisa dismipan di tempat yang tersembunyi.
Penduduk pesisir membawa makanan laut seperti halnya kerang yang sudah diawetkan untuk dibawa ke dataran tinggi. Banyak sekali terlihat residu dari konsumsi kerang ini.
Dalam akhir periode Preceramic, mulai bermuncuan bangunan-bangunan besar di pantai Peru. Dalam keadaan ini Organisasi, perencanaan, dan tenaga kerja sudah banyak dibutuhkan. Mereka ingin menunjukkan adanya pusat ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Tapi sayangnya mereka tidak memperlihatkan adanya subsistensi yang selama ini telah dijalani oleh sebagian besar penduduk pesisir Peru. Dalam akhir periode kemudian, kompleks teresrtrial dan maritim saling melengkapi satu sama lainnya. Dalam proyek Paloma banyak melibatkan di bawah arahan Robert A. Benfer, telah melibatkan upaya lebih dari 40 penyidik sejak dimulainya pada tahun 1976. Karena sebagian besar analisis, terutama arkeobotani, zooarcheologi, dan stratigrafi.
Jika kita melihat dari jurnal tersebut, penulis banyak mengambil petikan dari tokoh-tokoh antropologi lainnya, misalnya Osborn, Raymond dan sebagainya. Hal ini tentu menarik, karena selain memberikan informasi mengenai riset sendiri, penulis juga menuliskan hasil riset dari peneliti lain, dan ini tentunya akan menambah pengetahuan kita sebagai pembaca.
Dalam jurnal ini semua dijelaskan secara detail bagaimanakah kehidupan di Pesisir Peru yang masih menggunakan sistem subsistensi dalam memenuhi kehidupan mereka sendiri. Mereka megandalkan laut sebagai sumber penghidupannya. Mereka mencari kerang-kerang dan aneka seafood (makanan laut) untuk kemudian dikonsumsi mereka sendiri. Tidak untuk dijual melainkan untuk diawetkan dan dibawa ke dataran yang lebih tinggi untuk kemudian dikonsumsi sendiri untuk melawan El Nino yang sudah menjadi rutinitasnya mengganggu kestabilitasan hidup para penduduk pesisir Peru. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah dikarenakan strategi yang digunakan oleh para penduduk Peru dalam menghadapi El nino. Salah satunya yaitu dengan mengawekan makanan laut seperti ikan, bahkan diambil minyak ikannya untuk dijadikan minuman penuh protein. Dengan minyak ini, persediaan konsusi menjadi lebih awet. Bagi penduduk pesisir Peru, laut merupakan sumber penghidupanna, dimana seluruh isinya menjadi sumber penghidupan bagi mereka.
Tulisan jurnal ini sangat bagus untuk dibaca oleh pembaca, tetapi dengan katakata yang masih menggunakan bahasa tinggi membuat orang yang tidak telalu paham Antropologi harus memahaminya dengan betul-betul. Penggunaan kata yang rumit pun lagi-lagi menjadi masalah bagi para pembaca. Pasalnya, bahasa Inggris yang digunakannya pun tergoong bahasa Inggris tingkat tinggi. Pembaca seperti kami pun terkadang masih kesulitan dalam mengartikan. Tetapi untuk secara keseluruhan, isi dari jurnal ini sangat lah bagus. Sangat direkomendasikan untuk para pembaca yang ingin lebih tahu apa itu subsistensi, dan bagaimanakah subsistensi di daerah pesisir seperti hal yang sudah kami jelaskan di atas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: