Budaya Kekerasan Terhadap Pemain Ke-12 Sepak Bola ( SUPPORTER) Dalam Perspektif Sosiologi Politik

artikel terdiri dari tiga bagian, yaitu awalan, pertengahan dan akhiran ( pendahuluan, pembahasan, simpulan )

 

 Awalan

Kekerasan di dalam dunia supporter sepakbola  sudah menjadi sesuatu hal yang tidak tabu, bahkan bisa di bilang sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan dan budaya, bahwa kekerasan merupakan bagian dari kehidupan supporter, melihat dari masa dahulu kala sampai sekarang konflik-konflik antar supporter selalu terjadi bahkan selalu berujung pada kematian.

Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang bergengsi di Indonesia, dari kaum tua, muda bahkan anak-anak sudah menggemarinya, dalam dunia sepakbola tidak lepas dari adanya pendukung atau supporter yang sekarang ini faktanya bukan hanya ajang untuk mendukung kebanggaan namun sebagian dari life style. Ini merupakan bahasan penting khususnya dalam ranah sosiologi, karena di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks, khsususnya kekerasan yang ada dan kaitannya dengan kekuasaan maupun .. yang akan di kaji dalam ranah sosiologi politik

 Kekerasan merupakan perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain ( KBBI), penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda, itu menurut ahli Sosiologi Soerjono Soekanto. Budaya kekerasan adalah sistem gagasan yang mendasari perilaku masyarakat yang kemudian menjadi pedoman masyarakat dalam dalam melakukan tindak kekerasan (dalam Nugroho Trisnu Brata, Budaya kekerasan dalam Perspektif nilai nilai dan etika masyarakat Jawa )

Dalam pembahasan akan di paparkan mengenai kasus kekerasan supporter sepak bola yang terjadi di Indonesia, kemudian di kaji dalam bahasan Sosiologi Politik tentang kekuasaan, kekerasan dan budaya.

Pertengahahan

Konflik antar supporter sepak bola sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi legitimasi tentang organisasi yang kuat dan sebagai ajang pertunjukkan system kekuasaan pada organisasi supporter, seperti contoh kasus-kasus kekerasan yang berujung pada kematian sebagai berikut

Yang baru-baru ini terjadi adalah bentrok antar supporter PSMS (Medan) dan Persita ( Tangerang ) di Stadion Mini Cibinong, Bogor pada Rabu, 11 Oktober 2017, yang mengakibatkan tewasnya Banu Rusman, anggota Laskar Banteng Viola Tangerang . Di kabarkan korban meninggal karena mengalami pendarahan di otak akibat pukulan balok. Awal mula kejadian ini Bentrokan antarsuporter yang terjadi di akhir pertandingan tak bisa dihindarkan dalam laga Persita Tangerang vs PSMS Medan di kompetisi Liga 2 2017. Laga tersebut dimenangkan PSMS 1-0. Situasi makin memanas ketika ada lemparan batu dari arah bangku penonton. Tak terima, suporter PSMS yang didominasi anggota TNI melakukan serangan balik ke suporter Persita.
Kedua kubu suporter saling serang setelah wasit meniup pluit panjang. Kericuhan bermula ketika suporter Persita masuk ke area lapangan hijau lantaran protes kepada manajemen

Soal kabar tentang oknum anggota TNI yang terlibat dalam bentrokan antarsuporter, Manajer Liga Baru (LIB) menyebut pihaknya harus berhati-hati supaya tidak terjadi ketersinggungan antarpihak. Selain PSSI, ia juga memastikan bakal berkoordiasi dengan banyak pihak termasuk aparat keamanan.“Kami harus mencermati ini secara seksama. Ada [informasi] keterlibatan pihak di luar sepak bola, yaitu [oknum] aparat negara. Tapi jangan sampai ada ketersinggungan, jangan permasalahannya jadi melebar. Kita harus tahu di mana mendudukkan posisi dan masalah ini” . kasus tersebut di anggap sesuatu yang serius, bukan hal remeh lagi melihat kondisi sepak bola dewasa ini harusnya taat pada aturan dan sportif bukan sebaliknya.

Yang seperti tersebut di atas adalah kekerasan yang terjadi antar supporter yang letak geografisnya terhitung jauh, bahkan sebelumnya  juga pernah terjadi kekerasan supporter local daerah..

Peristiwa bermula ketika babak pertama Persib Bandung melawan Persija Jakarta usai. Ketika itu Riko ( korban ) hendak membeli makan, karena merasa gerah ia membuka baju Viking ( atribut supporter Bandung ) karena merasa gerah, saat sedang makan ada keributan yaitu supporter The Jack ( jakarta ) di pukuli oknum supporter Bandung, karena sudh lama di ketahui kedua organisasi supporter tersebut tidak baik atau sedang berkonflik. Ketika korban menghampiri sumber keributan ia justru ikut di anggap sebagai anggota The Jack dan menjadi korban emosi oknum yang tidak bertanggung jawab, sebeum di pukuli korban sempat menunjukkan KTP domisili Bandung kepada massa, namun pembelaan ternyata sia-sia saking banyaknya massa yang emosi. Korban di pukuli dan menjadi bulan-bulanan hingga akhirnya babak bekur dan tak sadarkan diri. Korban mengehembuskan nafas terakhir usai menjalani perawatan intensif selama lima hari di salah satu rumah sakit yang berada di Bandung. Hal seperti di atas merupakan korban salah sasaran.

Dari kedua kasus di atas dapat di pahami mengenai kekerasan, kebudayaan, yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Bahwa di sana kekuasaan memberi kesempatan dan ruang gerak yang luas bagi sejumlah orang maupun massa untuk melaksanakan kemauannya sendiri. Khususnya yang berhubungan dengan harga diri maupun legitimasi bahwa organisasi supporter mereka yang paling kuat. Terlebih kekuasaan mereka yang yang mempunyai kekuatan yang di anggap lebih seperti kekerasan yang di lakukan oleh supporter medan yang dominan saat itu adalah aparat Negara  dan supporter Bobotoh ( Tuan Rumah ) , posisi yang di dapatkan mereka saat itu hampir sama sebagai pemegang kekuasaan. Khususnya orang Medan yang di kenal keras dan memang sudah mempunyai legitimasi seperti tersebut yang menambahi kekuatan kekuasaan mreka sebagai aparat Negara.

Politik sering kali dihubungkan dengan usaha mendapatkan maupun mempertahankan kekuasaan seperti yang telah di bahas di atas. Padahal hakikatnya Politik adaah bersih, namun seringkali menjadi kotor karena sifat negative manusia yang egois dan serakah, sama halnya dengan budaya kekerasan antar supporter tersebut yang terus tumbuh karena menganut nilai-nilai massa dahulu dan bahkan sudah mendarah daging bahwa kekerasan adalah satu cara yang di gunakan untuk menumbangkan dan memperebutkan kekuasaan yang akhirnya nilai tersebut di anut hingga saat ini oleh para supporter. Walaupun mereka harus berhubungan dengan polisi namun tetap saja mereka tidak takut dan bahkn mundur, karena musuh mereka bukanlah polisi atau keamanan lainnya, melainkan organisasi supporter di luar mereka. Padahal sebenarnya musuh mereka bukanlah sesama supporter namun klub yang menjadi musush dari kesebelasan yang mereka dukung. Karena faktanya sesama supporter adalah saling mendukung bukan saling bermusuhan yang di harapkan dalam sepakbola dewasa ini. Namun bagaimana bisa dan bagaimana sulitnya mengubah budaya kekerasan yang terbalut dalam kekuasaan yang mereka miliki.

Sejalan dengan acuan “ budaya kekerasan dalam perspektif nilai-nilai jawa dan etika masyarakat Jawa” bahwa masyarakat Jawa yang di kenal dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis dan aritrokratis ( Nugroho Trisnu Brata, 2000 : 63) merupakan konsepsi abstrak yang hanya di cita-citakan yang ternyata bebeda dengan realitas masyarakat , kondisi tersebut menurut Geertz di sebut sebagai model for reality. Bahwa di ketahui pada dasarnya masyarakat Jawa bukanlah masyarakat yang homogeny seperti yang di cita-citakan di atas, di sana juga terdapat acuan yang melandasi terbentuknya budaya kekerasan pada saat ini oleh masyarakat Jawa seiring berjalannya waktu atau massa bahwa melihat nilai dan etika terdahulu masyarakat Jawa adalah etnis yang keras dan Penakluk, pun bahwa penguasa ( pemilik kekuasaan ) adalah sosok yang keras dan berhubungan dengan kekerasan.

Hal tersebut sama halnya dengan budaya kekerasan oleh supporter di atas karena nilai yang sudah berkembang dan di anut oleh segenap masyarakat supporter. Kekerasan di gunakan untuk memberdayakan mereka yang lemah, sebagai bukti organisasi mereka yang paling kuat, dengan kekuasaan yang mereka miliki.

Akhiran

 Realita kekerasan dalam kekuasan saat ini merupakan implikasi dari massa ke massa, sebagai akibat dari nilai dan budaya yang di ambil dari massa dahulu kala, yang di gunakan sebagai alat berjuang maupun mempertahankan legitimasi jika di lihat dari segi politis. Faktanya pun kekerasan bukan di anggap sebagai hal yang baru dan hal yang tabu saat ini walaupun di lakukan oleh seseorang maupun massa yang mempunyai dan khususnya yang tidak mempunyai hak secara legal dalam kekuasaan. Yang pasti kekerasan tumbuh karena adanya proses perkembangan masyarakat yang mengacu pada kultur atau budaya yang kemudian menjadi nilai praktis oleh masyarakat yang mengangutnya.

Kemudian di sini sistem politik atau hukum tidak bisa lagi menggunakan cara-cara kuno seperti penangkapan, pemberian hukuman dan pemberrantasan pada kekerasan yang di lakukan,tidak akan memberikan efek jera. Namun harusnya lebih kepada pencegahan bagaimana di zaman yang sedewasa ini informasi mengenai kesadaran, etika, dan pengetahuan masyarakat harus lebih di gembleng untuk mewujudkan kekuasaan yang tidak berakhir pada kekerasan yang illegal dan kematian sesorang dalam memperkuat maupun meraih posisi maupun jabatan.

Artikel ini di tulis guna memenuhi tugas pegganti UTS Sosiologi Politik Pada mata kuliah semester 5

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho Trisnu Brata, Budaya Kekerasan dalamPerspktif  Nilai-Nilai dan Etika Jawa, 2008, https :// scholar.google.co.id

Regionl.kompas.com | Jumat, 28 Juli 2017 07 : 53 WIB

 

Titi Fajriyah , CNN Indonesia | Kamis, 12/10/2017 18:23 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosant. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: