Konsep Dasar Otonomi Daerah

Di era reformasi ini, banyak orang membicarakan tentang otonomi daerah. Tetapi apakah sebenarnya otonomi daerah itu? Pada bagian ini saya ingin mengupas sedikit tentang konsep dasar otonomi daerah.

Ada banyak definisi tentang otonomi daerah yang dikemukakan para ahli. Tetapi saya ingin mengawalinya dengan definisi yang diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia“.

Definisi tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, otonomi daerah bukan hanya soal hak dan wewenang, namun juga soal kewajiban. Yakni, kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kedua, hak, wewenang, dan tanggung jawab tersebut terkait dengan urusan pemerintah sekaligus kepentingan masyarakat. Artinya, otonomi daerah dilaksanakan demi kepentingan administrasi pemerintahan sekaligus kepentingan pelayanan publik. Ketiga, pelaksanaan otonomi daerah tersebut dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, betapapun suatu daerah memiliki otonomi untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan yang telah digariskan pemerintah pusat.

Dari definisi tersebut, kita dapat menggarisbawahi bahwa substansi otonomi daerah adalah peningkatan kualitas administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. Itulah mengapa, otonomi daerah pada hakikatnya adalah otonomi masyarakat daerah, bukan sekedar otonomi pemerintah daerah (Harris, 2007). Bahwa berkat otonomi daerah aparatur pemerintahan daerah memiliki hak dan wewenang yang baru, namun hak dan wewenang tersebut bukanlah untuk kepentingan pemerintah semata, namun untuk kepentingan masyarakat.

Hal ini tersebut digarisbawahi sebab kadang-kadang pelaksanaan otonomi daerah justru menciptakan “raja-raja kecil” di daerah, yang tiba-tiba memiliki privilege khusus untuk mengelola sendiri rumah tangga daerahnya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak daerah untuk “menikmati” kebebasannya mengelola rumah tangganya dan untuk mensejahterakan dirinya. Bukan hak kepala daerah yang dengan semena-mena mengelola rumah tangganya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Karena itu, saya setuju dengan pendapat Syamsuddin Harris (2007) bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat harus menjadi subyek , bukan obyek otonomi daerah. Sebagai subyek otonomi artinya masyarakat harus bertindak sebagai “pelaku” utama, bersama pemerintah dalam mewujudkan cita-cita otonomi daerah. Dengan kata lain, masyarakat harus didengar pendapatnya baik dalam proses dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, implemenyasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan otonomi daerah. Tanpa partisipasi masyarakat yang demikian, menurut saya, praktik otonomi daerah akan kehilangan maksud dan substansinya. Anda setuju?

Post navigation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: