Daerah Otonomi Khusus: Aceh dan Papua

Tahukah Anda, berapa jumlah provinsi di Indonesia yang memiliki status daerah otonomi khusus? Ya, benar! Ada lima daerah otonomi khusus di Indonesia saat ini. Kelima daerah tersebut adalah Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada bagian ini, saya akan membahas tentang Aceh dan Papua, termasuk di dalamnya Papua Barat.

Pertama, Provinsi Aceh. Provinsi ini mendapatkan status daerah otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Apa yang khusus dari otonomi daerah Provinsi Aceh? Keistimewaan Aceh dapat dilihat dari tiga dimensi: peristilahan, kelembagaan, dan keuangan (Djojosoekarto, Sumarwono, & Suryaman, 2008). Dimensi peristilahan bisa ditilik dari penamaan istilah-istilah kepemerintahan yang tidak didapati pada pemerintah daerah lainnya. Misalnya, badan legislatif Aceh disebut dengan nama DPR Aceh, bukan DPRD Aceh. Panitia pemilihan umum di Aceh disebut dengan nama Komisi Independen Pemilihan (KIP), bukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sedangkan produk hukum daerahnya disebut dengan Qanun, bukan Peraturan Daerah (Perda). Demikian pula halnya dengan rencana anggarannya yang disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), bukan APBD Aceh.

Pada dimensi kelembagaan kita bisa melihat aspek-aspek kelembagaan yang hanya ada dan diakui di Aceh. Misalnya, soal pemberlakuan Syariat Islam, diakuinya partai-partai lokal Aceh, adanya Mahkamah Syar’iyah Aceh, Majelis Permusyawaratan Aceh, serta Lembaga Wali Nanggroe, yang merupakan lembaga kepemimpinan adat, pemersatu masyarakat, serta pelestarian kehidupan adat dan budaya.

Pada dimensi keuangan, kita bisa melihat kekhususan yang dimiliki Aceh. Misalnya, ada aturan khusus tentang bagi hasil pertambangan minyak bumi, yang menyebutkan bahwa Aceh akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar 55% flat tanpa dibatasi waktu.

Kedua, Provinsi Papua dan Papua Barat. Status otonomi khusus bagi kedua provinsi ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Sebagaimana kekhususan pada Provinsi Aceh, kedua provinsi di Pulau Papuan ini pun memiliki tiga dimensi keistimewaan: peristilahan, kelembagaan, dan keuangan (Djojosoekarto, Sumarwono, & Suryaman, 2008).

Dimensi peristilahan bisa dilihat dari istilah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk badan legislatif, dan istilah Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) untuk Peraturan Daerah Provinsi Papua. Dimensi kelembagaan tampak pada kehadiran Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan representasi kultural orang asli Papua, serta Lambang Daerah, yang merupakan panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat Papua. Bentuknya adalah Bendera Daerah dan Lagu Daerah. Hanya saja dua lamnbang ini tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Dimensi keuangan dapat dilihat, misalnya, dari persentase dana perimbangan dari pertambangan minyak bumi sebesar 70% selama 25 tahun pertama, dan sebesar 50% pada tahun ke-26 dan setelahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: