Agama dan Mitigasi Wabah COVID-19

Salah satu tantangan yang tidak ringan di tengah upaya menangani penyebaran COVID-19 adalah sikap kontraproduktif yang ditunjukkan oleh sebagian komunitas keagamaan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan himbauan untuk tetap tinggal di rumah dan menghindari kerumunan (social distancing), beberapa kelompok keagamaan masih saja berniat menyelenggarakan berbagai pertemuan yang melibatkan orang banyak. Penyelenggaraan Ijtima Jamaah Tabligh se-Asia di Goa, Sulawesi Selatan, merupakan contoh yang nyata bagaimana pemerintah kedodoran dalam menghadapi komunitas ini.

Dalam kasus Jamaah Tabligh ini, pemerintah nyaris gagal membatalkan kegiatan ijtima, yang konon targetnya 25 ribu peserta. Panitia enggan membatalkan rencana kegiatan. Alasannya klise. Mereka lebih takut pada Tuhan dan sama sekali tidak takut pada COVID-19. Meskipun kegiatan tersebut akhirnya batal, tetapi sebanyak 8695 peserta sudah tiba di lokasi kegiatan.[1] Ironisnya, pihak kepolisian sempat merasa tidak sanggup membubarkan kegiatan yang tidak berizin itu, dan hanya berencana melokalisasi kegiatan sampai agenda selesai karena khawatir dampaknya lebih besar jika acara itu dibubarkan.[2]

Kegamangan pemerintah dalam menyikapi komunitas keagamaan di tengah ancaman penularan COVID-19 juga terlihat dalam kasus penahbisan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat. Bupati Manggarai, Deno Kamelus, menyebut pemerintah sulit membatalkan acara tersebut karena sudah diagendakan beberapa bulan sebelumnya. Walhasil, Misa Penahbisan tetap berlangsung dengan dihadiri ribuan umat dan sejumlah kepala daerah dan pejabat pemerintahan di Nusa Tenggara Timur.[3]

Selain dua kasus tersebut, di media sosial juga beredar content dan pesan kontraproduktif yang mengabaikan anjuran untuk menjauhi kerumunan. Dengan menggunakan argumen-argumen agama, content dan pesan tersebut mengingatkan orang beriman agar takut hanya kepada Allah dan tidak menjauhi tempat-tempat ibadah. Di Bandung, sekelompok orang mencopot maklumat yang dibuat takmir Masjid Raya soal penghentian sementara Shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu. Orang-orang ini marah dan menganggap takmir lebih takut kepada Gubernur Ridwan Kamil daripada kepada Allah.[4] Video lain yang juga viral menampakkan seorang laki-laki setengah baya marah-marah kepada takmir karena telah mengunci masjid. Ia bahkan menyebut kata PKI karena menganggap pemerintah telah melarang orang melakukan ibadah di masjid.

Fatalisme dan Determinisme

Mengapa sebagian umat beragama sulit diajak bekerjasama dalam memerangi ancaman COVID-19? Salah satu penyebabnya adalah pemahaman keagamaan yang cenderung fatalistis dan deterministis. Mereka menganggap segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan dan sudah diatur dengan baik oleh-Nya. Hidup dan mati adalah takdir yang tidak perlu ditakuti. Ketakutan terhadap sesuatu di luar Tuhan, termasuk terhadap COVID-19, dianggap sebagai penyimpangan dari keimanan kepada-Nya.

Sebenarnya, resistensi komunitas agama terhadap himbauan social distancing ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan bumi lain, kecenderungan serupa juga mengganggu upaya pemerintah setempat dalam menangani penyebaran COVID-19. Komunitas Yahudi Ortodoks di New York, misalnya, tetap menyelenggarakan upacara perkawinan yang menghadirkan ratusan undangan. Padahal, pemerintah setempat telah melarang kerumunan orang untuk mencegah penyebaran virus tersebut.[5] Seorang pastur di Baton Rouge juga menolak menutup gerejanya di tengah merebaknya COVID-19. Pastur tersebut merasa dipersekusi atas perintah menutup gereja, sambil mempertanyakan mengapa toko Target dan klinik Planned Parenthood tetap dibiarkan beroperasi.[6]

Untuk konteks Indonesia, fatalisme dan determinisme pemahaman keagamaan ini bisa lebih rumit jika disertai sentimen politik yang belum sirna akibat luka Pemilu 2019. Kelompok masyarakat yang kecewa atas hasil Pilpres, dan belum mampu move on dari kekecewaan tersebut, memiliki alasan ekstra untuk menolak himbauan pemerintah. Ungkapan sinis tentang Gubernur Ridwan Kamil, atau tuduhan PKI kepada pemerintah yang dilontarkan oleh jamaah masjid yang menolak ditutupnya masjid karena wabah COVID-19, mencerminkan adanya sentimen politik terhadap pemerintah tersebut.

Femonena ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa mengabaikan faktor agama dalam menangani penebaran COVID-19. Faktanya, faktor ini sangat mempengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap bencana. Sayangnya, dalam konteks mitigasi COVID-19 ini, komunitas keagamaan justru merupakan kelompok yang paling berisiko menjadi korban, sekaligus menjadi transmitter penularan virus yang sangat potensial. Kegiatan ibadah harian yang mengumpulkan jamaah di satu titik, maupun ritual ziarah di tempat-tempat suci, merupakan faktor pendukung yang sangat efektif bagi penularan COVID-19. Karena itu, melibatkan ormas keagamaan dalam mitigasi wabah ini merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa diabaikan.

Ormas Keagamaan sebagai Mitra

Ada dua alasan utama mengapa pemerintah harus bekerjasama dengan ormas-ormas keagamaan. Pertama, ormas-ormas keagamaan, terutama yang besar seperti NU dan Muhammadiyah memiliki otoritas yang kuat untuk meluruskan pemahaman keagamaan yang keliru soal penanggulangan bencana. Para tokoh agama dari ormas tersebut, baik yang struktural maupun kultural, bisa memperbaiki paham keagamaan yang fatalistik dalam menyikapi wabah COVID-19.

Kyai-kyai kampung dapat menggunakan otoritas keagamaanya untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam menghadapi COVID-19. Tentu saja dalam perspektif agama. Pemerintah harus ingat bahwa kemampuan para kyai kampung tersebut dalam memberikan informasi kepada masyarakat seringkali lebih efektif dibandingkan para penyuluh kelurahan berbaju ASN. Dengan menggunakan idiom-idiom agama yang sudah dikenal masyarakat, mereka dapat berkomunikasi dengan jamaahnya, tentang mengapa sebuah ritual keagamaan bisa dilakukan secara mandiri di rumah masing-masing demi kemaslahatan yang lebih besar. Dengan pendekatan kultural keagamaan semacam ini, himbauan pemerintah tentang social distancing akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.

Kedua, tidak hanya otoritas keagamaan, ormas-ormas tersebut juga memiliki struktur bertingkat, dari tingkat ranting hingga pusat, yang tersebar di seluruh Nusantara. Struktur bertingkat dengan jaringan nasional ini sangat potensial untuk disinergikan dalam upaya mitigasi bencana. Selain itu, ormas-ormas ini juga memiliki badan-badan otonom, yang bekerja secara mandiri untuk mendukung tugas dan fungsi organisasi payungnya.

Di NU ada sayap perempuan yang kuat, yaitu Muslimat dan Fatayat, yang selama ini bekerja sangat efektif dalam memobilisasi massa sampai level terbawah. Demikian pula sayap pemuda (Anshor), mahasiswa (PMII), dan pelajar (IPNU-IPPNU). Di Muhammadiyah, ada badan-badan otonom serupa yang tidak kalah kuatnya. Ada Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah yang beroperasi di sayap perempuan. Pemuda Muhammadiyah untuk pemudanya, IMM untuk mahasiswanya, dan IPM untuk kelompok pelajarnya.

Dua organisasi ini juga memiliki lembaga-lembaga sosial pendukung, perguruan tinggi, sekolah, dan terutama rumah sakit dengan jaringan yang sangat luas. Dua ormas Islam ini bahkan memiliki lembaga yang khusus menangani bencana. Muhammadiyah memiliki Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang reputasinya sudah menginternasional. Sedangkan NU memiliki Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) yang tidak kalah potensialnya. Dengan kekuatan massa dan organisasi yang cukup besar ini, penulis melihat sebuah kekeliruan jika pemerintah tidak menjadikan keduanya sebagai mitra kerja dalam menangani pandemi global, seperti wabah COVID-19 ini.

Tentu saja penyebutan dua contoh ormas ini tidak bermaksud menafikan eksistensi ormas-ormas keagamaan lain yang juga memiliki kekuatan dan pengaruh cukup signifikan di masyarakat. Ormas-ormas Islam lainnya seperti Majelis Ulama Indonesia, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Persatuan Islam, dan lain-lain juga sangat penting eksistensinya di tengah masyarakat. Demikian pula dengan ormas keagamaan non-Islam seperti seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), dan lain-lain. Dengan mereka inilah, pemerintah seharusnya juga bermitra dan bersinergi dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Mengingat potensi besar yang dimiliki oleh ormas-ormas keagamaan tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mengajak para tokohnya untuk duduk bersama dan mendiskusikan strategi pemerintah sekaligus menghimpun masukan ormas terkait penanganan bencana. Beberapa ormas keagamaan sudah melakukan inisiatif untuk mengedukasi umatnya. Misalnya dengan membuat maklumat tentang penutupan masjid dan pelaksanaan ibadah di rumah masing-masing.

Tetapi ada banyak hal di luar maklumat yang dapat dilakukan ormas-ormas keagamaan tersebut untuk membantu upaya mitigasi wabah COVID-19. Para pemimpin ormas perlu mendapatkan briefing yang komprehensif tentang wabah ini. Pemerintah perlu menjelaskan apa yang sudah, sedang, dan belum dilaksanakan dalam menangani wabah tersebut. Dari sini para pemimpin agama ini dapat memberikan insights tentang kontribusi apa yang bisa mereka lakukan, dengan segenap resources yang telah mereka miliki. Ingat, pandemi ini bisa berkembang di luar kontrol pemerintah. Sehingga, pemerintah memerlukan semua kekuatan dan elemen yang ada di masyarakat untuk menghadapinya secara bersama-sama.

Hasil briefing yang komprehensif tersebut menjadi modal bagi pimpinan ormas keagamaan di tingkat pusat untuk mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan langkah-langkah yang bisa dilakukan dengan struktur organisasi di bawahnya, atau dengan badan otonom yang relevan di bawah mereka. Pada saat yang sama, pemerintah daerah perlu melakukan komunikasi serupa dengan elemen-elemen ormas keagamaan di level yang setara. Misalnya, pemerintah provinsi berkoordinasi dengan pengurus wilayah, pemerintah kabupaten/kota berkoordinasi dengan pengurus cabang atau daerah, dan seterusnya.

Di sinilah koordinasi dan sinergitas antara lembaga pemerintah dengan ormas keagamaan di setiap level menjadi kunci kesuksesan dalam menanggulangi bencana. Koordinasi dan sinergi yang kuat seperti ini akan membantu pemerintah menghilangkan kegamangan dalam melangkah, terutama ketika berhadapan dengan komunitas keagamaan. Pemerintah bisa mendapatkan dukungan yang kuat dari pemimpin agama, sekaligus legitimasi di tengah masyarakat, untuk bersikap tegas dalam mengatasi sikap dan tindakan penganut agama yang kontraproduktif terhadap upaya mitigasi COVID-19.

Koodinasi dan sinergitas yang kuat antara pemerintah dan ormas keagamaan tersebut tidak hanya penting untuk menghadapi wabah COVID-19, seperti saat ini. Tetapi juga untuk menghadapi bencana-bencana lain yang mungkin menimpa tanah air kita di masa depan.

 

Dani Muhtada, Ketua Pusat Studi Regulasi dan Kebijakan Publik, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Catatan Kaki:

[1] Wirawan, Miranti Kencana. “Media asing sorot Jemaah Tabligh Indonesia: Kami lebih takut pada Tuhan.” Kompas.com. Maret 19, 2020.  https://www.kompas.com/global/read/2020/03/19/073816170/media-asing-sorot-jemaah-tabligh-indonesia-kami-lebih-takut-pada-tuhan?page=a (Diakses 22 Maret 2020).

[2] Nashrullah, Nashih. “Polda Sulsel putuskan tak bubarkan Ijtima Jamaah Tabligh.” Republika, Maret 18, 2020. https://republika.co.id/berita/q7ed72320/polda-sulsel-putuskan-tak-bubarkan-ijtima-jamaah-tabligh (Diakses 22 Maret 2020).

[3] Wilibardus, Dionisius. “Wabah Corona merebak, jemaat tetap padati misa penahbisan Uskup Ruteng.” Liputan 6. Maret 19, 2020. https://www.liputan6.com/regional/read/4206106/wabah-corona-merebak-jemaat-tetap-padati-misa-penahbisan-uskup-ruteng (Diakses 22 Maret 2020).

[4] “Sekelompok Orang Turunkan Paksa Spanduk Imbauan Cegah Covid 19 di Masjid Raya Bandung,” YouTube Video, 0:58, “Sulsel Satu,” Maret 21, 2018. https://www.youtube.com/watch?v=4ntMhf0LATE

[5] Fonrouge, Gabrielle. “Hasidic community ignores social distancing orders amid coronavirus.” New York Post. Maret 18, 2020. https://nypost.com/2020/03/18/hasidic-community-ignores-social-distancing-orders-amid-coronavirus/ (Diakses 22 Maret 2020).

[6] Boorstein, Michelle. “The church that won’t close its doors over the coronavirus.” The Washington Post. Maret 20, 2020. https://www.washingtonpost.com/religion/2020/03/20/church-tony-spell-coronavirus-life-tabernacle/ (Diakses 22 Maret 2020).

 

Sumber: CSIS Commentaries, 24 Maret 2020, dapat diakses di https://csis.or.id/publications/agama-dan-mitigasi-wabah-covid-19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: