1 suro bagi kalangan santri di Kudus

Malam satu suro atau satu muharrom bagi masyarakat jawa adalah malam yang sakral, dimana malam ini adalah malam pergantian tahun pada tahun jawa dan tahun hijriyah. Pada malam pergantian tahun ini masyarakat jawa tidaklah berenang-senang seperti orang barat yang menyambut pergantian tahun masehi. Pada malam satu suru ini masyarakat jawa lebih banyak melakukan ritual atau tirakat untuk suatu tujuan tertertu. Tirakat yang dilakukan pada masyarakat jawa disetiap daerah berbeda beda begitu pula yang ada di kudus.

Masyarakat Kudus adalah masyarakat yang religius dengan keislamanannya, bahkan Kudus juga dikenal sebgai kota santri. Sebagai santri jawa meraka juga memiliki pandangan sakral pada malam satu suro, sehingga para santri banyak melakukan ritual dan tirakat. Berbeda dengan ritual dan tirakat masyarakat jawa pada umumnya, kaum santri yang ada di Kudus in lebih menggunakan ritual kagamaan dibanding dengan ritual kejawennya. Namun untuk tirakatnya tidak jauh berbeda dengan tirakatnya orang jawa yaitu puasa. Puasa yang dilakukan pun berbagai macam tergantung pada apa yang hendak dicapai ada yang puasa mutih, Ngebleng, nyireh, puasa berbicara dan ada yang hanya berpuasa sunah seperti yang diajarkan dalam ajaran islam untuk berpuasa 10 hari pertama pada bulan muharrom.

Sebelum berpuasa terdapat beberapa ritual yang akan dilakukan, pada kaum santri di Kudus mereka melakukan ritual di makam sunan kudus atau sunan muria. Dimakan para wali ini lah mereka percaya bahwa tempat tersebut sakral dan do’a-do’anya akan tercapai sehingga tujuan dari ritual tersebut dapat terwujud. Untuk mengawali puasa ritual yang dilakukan adalah membaca berbagai bacaan al-qur’an dan bacaan-bacaan arab yang mengagungkan Tuhan dengan berulang-ulang. Dalam pengulangannya pun seperti dalam pengulangan jawa yang menyukai anggka ganjil yaitu 3, 7, 11, 21, 41,77, bahkan hingga 1.111 kali. dalam ritual pasti terdapat sesaji, sesaji yang dignakan dalam ritual ini cukup sederhana yaitu dengan ingkung ayam kampung dan nasi. Sesaji ini hanya dipersembahkan kepada tuhan secara simbolik selepas ritual selesai maka sesaji ini akan dimakan bersama. Selepas ritual tersebut selesai mereka tidak diperkenankan untuk tidur karena malam satu suro adalah malam yang memiliki makna khusus sehingga tidak akan didibiarkan terbuang dan harus dimanfaatkan. Mereka harus membaca bacaan-bacaan yang telah ditentukan sampai pagi. Dipagi harinya para santri harus berpuasa selama beberap hari seperti yang telah ditentukan oleh kiainya dengan ketentuan-ketentuan khusus.

Setiap kiai memiliki ritual yang berbeda-beda, namun bacaan dan tirakat yang dilakukan hampir sama yaitu membaca bacaan al-qur’an dan berpuasa. Hal ini tergantung pada apa yang hendak dicapai dan kemampuan dari individu yang melakukannnya. Dalam kelompok santri yang saya temui yaitu santri yang hendak menghafal al-qur’an, mereka melakukan ritual dimakam sunan kudus dengan berbagai bacaan al-qu’an yang dibaca berulang-ulang. Sedangkan puasa yang dilakukan adalah puasa nyireh, puasa nyireh adalah puasa yang tidak memakan yang bernyawa ataupun segala yang mengandung yang bernyawa atau dalam masyarakat modern disebut vegetarian. Puasa ini dipilih karena para santri percaya bahwa segala yang bernyawa akan selalu mendo’akan mereka dalam mencari ilmu sehingga yang bernyawa ini tidak boleh dimakan. Kalau para santri memakan yang mendo’akan mereka pasti jumlah yang mnedo’akan akan berkurang dan frekuensi doanya pun akan berkurang. Bagi kaum santri memakan sesuatu yang berbuat baik pada dirinya adalah su’ul adab (akhlak tercela) atau dalam bahasa jawa ora ilok, pamali.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa malam satu suro dipandang sebagai malam yang sakral bagi semua masyarakat jawa, bahkan bukan hanya jawa tetapi juga islam. Hal ini terlihat bahw semua masyarakat jawa dari berbagai golongan memiliki ritual khusus dalam menyambut tahun baru tersebut walaupun ritula yang dilakukan berbeda-beda namun esensinya tetap sama yaitu untuk mendekatkan diri pada Tuhan sang pencipta.

Tulisan ini dipublikasikan di antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: