Folklor dalam Pakaian Adat Kudus

PENDAHULUAN

Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan dalam kehidupannya, begitu pula dengan masyarakat Jawa yang memiliki banyak kebudayaan yang disebut sebgai budaya Jawa. Kebudayaan Jawa ini banyak dikaji dan dideskripsikan oleh ahli sosiologi-antropologi, bagian kebudayaan Jawa yang juga sering dikaji adalah folklor Jawa. Folklor Jawa merupakan bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak Isyarat atau alat bantu pengingat. Folklor sendiri dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu folklor lisan yang merupakan folklor murni berupa lisan; folklor sebagian lisan yang merupakan campuran antara unsur lisan dan bukan lisan, Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sociofact); dan folklor bukan lisan yaitu yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.

Dalam kajian ini akan dibahas folkor bukan lisan dimana kaitannya dengan pakaian adat kudus yang baru diresmikan beberapa tahun ini. Pakaian adat Kudus ini sangat menarik untuk dikaji karena Kudus merupakan daerah yang terkenal dengan religiusitasnya yang berdekatan dengan daerah demak yang dulunya sebagai pusat kerajaan dan perkembangan agama Islam. Sehingga memungkinkan pakaian adat Kudus berbeda dengan pakaian adat Jawa Yogyakarta dan Surakarta. Pakaian adat Kudus ini lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam hal ini lah yang membedakan pakaian adat Kudus dengan pakaian adat Jawa Yogyakarta dan Surakarta yang lebih mengedepankan nilai-nilai Jawa. Walaupun secara esensial ajaran Islam tidak bertentangan dan justru sejalan dengan nilai-nilai Jawa.

Pakaian adat Kudus dalam Folklor Jawa yang memiliki makna-makna simbolik sebagimana dalam kebudayaan Jawa yang banyak mengandung arti filosofis dalam segala bentuk kebudayaannya. Hal ini dikarenakan pada masyarakat Jawa umumnya dalam kehidupan sehari-hari suka dikaitkan dengan dengan ungkapan moral-moral dan budi pekerti. Simbol-simbol tersebut diadopsi dar

Tulisan ini dipublikasikan di antropologi. Tandai permalink.