Materi Antropologi SMA Kelas XI: Bahasa dan Dialek yang Ada di Indonesia

  1. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa tergolong subkeluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Melayu – Polinesia. Dengan demikian kecuali bahasa Jawa sehari-hari, masih ada bahasa Jawa kesusastraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase sebagai berikut.

  1. Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam prasasti-prasasti

keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10 dipahat pada batu atau diukir pada perunggu, dan bahasa seperti yang dipergunakan dalam karya-karya kesusastraan kuno abad ke-10 hingga ke-14. Sebagian kecil dari naskah-naskah Jawa Kuno yang kita miliki sekarang dibuat di Jawa Tengah dan sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Kita tidak mengetahui sampai di mana idiom bahasa kesusastraan Jawa Kuno yang seluruhnya ditulis dalam bentuk puisi (kakawin) itu juga digunakan dalam bahasa sehari-hari pada saat itu.

  1. Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa Bali

Kesusastraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke-14. Setelah kedatangan Islam di Jawa Timur, kebudayaan- kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dan menetap di sana. Bahasa kesusastraan ini hidup terus sampai abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang dipakai sehari-hari di Bali sekarang.

  1. Bahasa yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur

Kesusastraan ini ditulis pada zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu – Jawa di daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir

Sungai Bengawan Solo pada abad ke-16 dan ke-17.

  1. Bahasa kesusastraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir

Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa pada abad ke-17 dan ke-18, oleh masyarakat Jawa sendiri disebut kebudayaan

Pesisir. Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota Pelabuhan Cirebon dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih tua yang berpusat di Kota Demak, Kudus, dan Gresik.

  1. Bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram

Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusastraan para pujangga keraton Kerajaan Mataram pada abad ke-18 dan ke-19. Lingkungan Kerajaan

Mataram terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah kompleks Pegunungan Merapi, Merbabu, Lawu di Jawa Tengah, di mana bertemu juga lembah Sungai Opak

dan Praga.

  1. Bahasa Jawa masa kini

Bahasa Jawa masa kini adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari masyarakat Jawa dan dalam bukubuku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa pada abad

ke-20 ini. Adat sopan santun Jawa menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat. Kondisi tersebut tergantung dari tipe interaksi tertentu yang memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara.

  1. Bahasa Gayo

Dalam berbagai karangan sering dinyatakan bahwaorang Gayo dan Alas merupakan suatu kesatuan kebudayaan,misalnya saja Van Vollenhoven menggolongkan keduanyadalam satu lingkaran hukum adat. Apabila di lihat dari segibahasa, pada dasarnya bahasa Gayo dan bahasa Alas berbeda.Kata-kata dan bentuk bahasa Alas banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa, seperti bahasa Karo, Pakpak, Singkil, Aceh,dan Gayo. Jadi, bahasa Gayo hanyalah salah satu bahasa yang turut memengaruhi. Menurut pendapat para ahli dikatakan bahwa bahasa Alas dapat dianggap sebagai dialek ketiga dari bahasa Batak Utara di samping dialek Karo dan Dairi.

Dalam kenyataan, kelompok orang pemakai bahasa Gayo dan kelompok pemakai bahasa Alas, dalam keadaan biasa (sebelum mempelajari lebih dahulu) mereka saling tidak memahami satu dengan yang lain. Namun demikian, tentu saja antara kedua bahasa ini ada unsur-unsur persamaan tertentu. Keadaan yang sama tampak juga antara bahasa Gayo dan bahasa Aceh, meskipun kedua bahasa ini hidup bertetangga. Pengaruh bahasa Aceh mungkin akan lebih banyak dirasakan pada kedua kelompok orang Gayo, yaitu kelompok orang Gayo Seberjadi dan Gayo Kalu. Hal itu dikarenakan letaknya yang dikelilingi oleh lingkungan bahasa Aceh di samping jumlah pendukungnya yang sangat kecil.

Seperti diketahui bahwa orang Gayo terbagi atas beberapa kelompok, yaitu kelompok orang Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Seberjadi, dan Kalul. Masing-masing kelompok ini dipisahkan oleh batas alam dengan prasarana komunikasi yang buruk, sehingga sulit terjadi kontak antara satu kelompok dengan yang lainnya. Kontak yang terjadi terbatas antara kelompok-kelompok ini dalam jangka waktu yang relatif lama, dan berbedanya pengaruh luar yang diterima, telah menyebabkan terlihatnya variasi dalam bahasa mereka. Dilihat dari segi bahasa, kelompok orang Gayo telah digolongkan oleh sebagian orang ke dalam dua dialek. Pertama dialek Gayo Lut, yang terbagi pula ke dalam tiga sub dialek, yaitu subdialek Bukit, Cik, dan Deret. Dialek Gayo Lues juga terbagi ke dalam subdialek. Seberjadi sendiri meliputi sub-sub dialek Seberjadi dan Lukup.

  1. Bahasa Tolaki

Penelitian terhadap bahasa Tolaki belum banyak dilakukan oleh para sarjana, kecuali H. Van der Kliftn yang pernah menulis karangan dengan judul Mededelingen Overde Faal van Mekongga.

Ditinjau dari segi lapisan sosial pemakainya, penggunaan bahasa Tolaki, seperti juga kebanyakan bahasa yang lain, tampak bervariasi dalam beberapa gaya. Masyarakat Tolaki sendiri membedakan jenis bahasa Tolaki menjadi tiga, yaitu tulura anakia (bahasa golongan bangsawan), tulura lolo (bahasa golongan menengah), dan tulura ata (bahasa golongan budak).

Bahasa golongan bangsawan adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara sesama golongan bangsawan. Jika seseorang dari golongan menengah atau golongan budak berbicara kepada seorang golongan bangsawan maka ia juga menggunakan kata-kata dalam bahasa golongan bangsawan. Contoh: bahasa golongan bangsawan, misalnya perkataan: ipetaliando inggomiu mombe’ihi. Perkataan tersebut dalam bahasa golongan menengah untuk sesamanya akan diucapkan leundo ponga.

Bahasa golongan menengah adalah bahasa yang dipakai di kalangan umum masyarakat. Berbeda dengan bahasa golongan bangsawan yang penuh dengan perasaan melebihkan, meninggikan, dan membesarkan. Pada bahasa ini antara pembicara dengan pendengar tak ada perbedaan derajat meskipun berbeda umur dan status sosial dalam masyarakat. Contoh:bahasa golongan menengah Leundo atopongga artinya mari kita makan, akuto mo’iso artinya saya sudah akan tidur, imbenggo lako’amu artinya ke mana hendak kau pergi.

Bahasa golongan budak adalah bahasa yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini disebut juga bahasa dalolanggai (bahasa orang-orang bodoh), maksudnya bahasa yang kurang mengikuti aturan-aturan bahasa umum agar mudah dipahami oleh pendengarnya. Bahasa ini tampak dalam wujud tulura bendelaki (bahasa gagah tetapi sesungguhnya kosong isinya), tulura magamba (bahasa yang menunjukkan kesombongan), dan dalam wujud tulura te’oha-oha (bahasa yang paling kasar kedengarannya sebagai lawan dari bahasa sopan santun, yang berlaku pada bahasa golongan bangsawan). Contoh: bahasa golongan budak: akuto mongga me’aroakuto artinya saya sudah akan makan karena saya sudah lapar, akutolako merumbahako mokombo’i songguto artinya saya sudah akan pergi berbaring karena saya sudah mengantuk.

Sumber:

Indriyawati, Emmy. 2009. Antropologi untuk Kelas XI SMA/MA. Jakarta: Pusat   Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

https://blog.unnes.ac.id/norafifah/2015/12/05/bahasa-dan-dialek-yang-ada-di-indonesia/#more-144

Tulisan ini dipublikasikan di antropologi SMA. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: