• Resiprositas pada Masyarakat Lasem

    1. LATAR BELAKANG

    Pada masyarakat desa dikenal suatu fenomena pertukaran dalam masyarakat yang biasa disebut dengan resiprositas. Fenomena resiprositas ini sudah terjadi sejak dahulu dan ditunkan oleh nenem moyang yang hidup di daerah pedesaan. Resiprositas ini memang sangat menarik untuk dipelajari, karena resiprositas menyangkut pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat. Salah satu masyarakat yang masih mengenal resiprositas adalah masyarakat lasem.

    Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol social sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk  berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interksi antar pelaku kerjasama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul.

     

    Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter yaitu suatu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik relatif terdistribusi merata dikalangan warganya. Struktur masyarakat yang egaliter ini memberikan kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalm kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas.

     

     

    1. RESIPROSITAS MASYARAKAT LASEM

    Lasem merupakan suatu kecamatan di daerah pesisir di kabupaten rembang jawa tengah. Di daerah desa di lasem terdapat suatu fenomena resiprositas yang terjadi antar warganya. Biasanya resiprositas ini terjadi saat ada suatu acara seperti pernikahan, khitanan, dan lain lain. Berbeda dengan proses pertukaran seperti jual beli,, proses pertukaran resiprositas lebih panjang dari pada jual beli. Proses jual beli biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, contohnya saja proses jual beli barang di pasar. Kalau pembeli telah menawar  barang dan mampu membayar barang tersebut, maka setelah barang tersebut dibayar  berarti proses jual beli tersebut berakhir.

     

    Proses pertukaran resiprositas ada dua macam yaitu resiprositas jangka pendek dan resiprositas jangka panjang. Dikatakan jangka pendek, kalau proses tukar menukar barang atau jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, misalnya tolong menolang antar  petani dalam mengerjakan tanah. Masyarakat lasem khususnya yang di kawasan persawahan jika akan menggarap sawahnya biasanya akan meminta tolong pada tetangganya. Proses tolong menolong ini dapat berlangsung hanya dalam satu musim tanam, dan kalau kedua belah pihak telah memberikan bantuan dan menerima kembali bantuan yang diberikan,maka proses resiprositas tersebut dapat dikatakan telah berakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu resiprositas jangka pendek pada masyarakat lasem mulai berkurang dan hamper sudah tidak ada lagi. Dalam penggarapan sawah kebanyakan masyarakat lasem sudah mulai menggunakan mesin pembajak sawah. Membajak sawah dengan mesin pembajak tersebutlah yang menyebabkan mulai menghilangnya resiprositas jangka pendek pada masyarakat

     

    Jenis resiprositas yang kedua adalah resiprositas jangka panjang. Resiprositas jangka panjang waktunya bias lebih dari satu tahun. Contoh dari resiprositas jangka panjang adalah sumbang-menyumbang dalam peristiwa seperti perkawinan dan khitanan. Dalam masyarakat lasem jika ada warga atau tetangga yang mempunya gawe atau hajat maka tetangga lainnya akan menyumbang tetangga yang sedang mempunyai gawe tersebut. Sumbangan yang dimaksutkan tidak hanya sumbangan materiil saja melainkan juga sumbangan jasa.

     

    Resiprositas yang berbentuk jasa dalam masyarakat lasem biasa disebut dengan rewang. rewang adalah kegiatan membantu tetangga ketika tetangga tersebut sedang melaksanakan hajatan atau acara keluarga seperti selamatan, khitanan (sunatan) atau pernikahan. Biasanya para tetangga mempunyai kesadaran sosial untuk membantu orang yang berhajat tadi. Biasanya beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan si empunya hajat akan berdatangan ke rumahnya untuk membantu memasak atau membuat kue beberapa hari sebelum hari H.

     

    Tetangga yang rewang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Untuk para laki-laki membantu menata perabotan (menata kursi, meja, menebangi pohon), untuk para wanitanya membantu memasak, membuat kue dan lain sebagainya. Jika ada salah satu tetangga yang tidak rewang maka tetangga yang tidak datang rewang tersebut akan merasa bersalah karena tidak bisa melaksanakan kewajiban sosianya. selain itu akan timbul rasa sungkan pada tetangganya yang memiliki hajat. Selain itu ketentuan membalas jasa hanya pada waktu tetangga memiliki hajat. Kedua, balas jasa rewang terjadi dalam periodisasi yang lama, tetangga yang pernah rewang akan menunggu balas jasa rewang tetangga yang dulu pernah dibantu, begitu pula sebaliknya. Ketiga, hubungan antar tetangga di desa terjalin secara lebih personal meskipun biasanya tidak mempunyai hubungan darah. Beberapa penyebab ini terjadi karena mereka sering berinteraksi langsung, bangunan rumah tidak terhalang pagar mati, sering bertukar makanan dan komunikasi.

     

    Selain adanya resiprositas jasa seperti rewang, masyarakat lasem juga ada resiprositas dalam hal buwoh/nyumbang yaitu tetangga yang sedang mempunyai hajat atau acara disumbang oleh tetangga lainnya baik bisa berupa uang ataupun berupa barang seperti sembako. Dalam buoh/penyumbangan biasanya tiap tiap tetangga yang menyumbang atau buwoh akan dicatat oleh tetangganya yang mempunyai hajat atau acara tersebut.

     

    Pencatatatan seberasa besar sumbangan atau buwoh tersebut biasanya digunakan patokan oleh tetangga yang sebelumnya mempunyai acara untuk dikembalikan lagi pada suatu waktu jika tetangga yang dahulu menyumbang pada acaranya. Dengan patokan seperti itu maka dalam pengembalian sumbangan atau buwoh nilainya akan sama bahkan lebih tinggi lagi. Patokan tersebut digunakan agar ketika tetangga tersebut sedang mempunyai hajat atau acara, tetangga yang sebelumnya mempunyai acara dalam pengembalian sumbangannya nilainya tidak kurang dari nilai sumbangan tetangga sebelumnya.

     

    Contoh dari penerapan tersebut misalnya saja ada tetangga A yang mempunyai hajat atau acara pernikahan anaknya. Pada waktu acara pernikahan datanglah tetangga B dan tetangga C untuk menghadiri acara pernikahannya tetangga A. dalam acara pernikahan tersebut tetangga B datang dengan membawa sumbangan atau buwoh yaitu uang seratus ribu rupiah. Sedangkan tetangga C datang dengan membawa sumbangan atau buwoh yaitu membawa gula 5 kilogram dan beras 3 kilogram. Selanjutnya maka tetangga A yang sedang mempunyai acara tersebut akan mencatat bahwa tetangga B membawa uang seratus ribu rupiah dan tetangga C membawa gula 5 kilogram dan beras 3 kilogram.

     

    Dalam hal ini prinsip resiprositas akan terjadi manakala tetangga B dan tetangga C tersebut mempunyai suatu hajat atau acara. Pada waktu tetangga B mempunyai acara khitanan misalnya. Maka tetangga A yang sebelumnya menerima buwohan atau sumbangan, maka dalam acaranya tetangga B tersebut maka tetangga A datang pada acara tersebut dengan membawasumbangan atau buwohan sebesar seratus ribu rupiah atau lebih. Sedangkan saat tetangga C mempunyai hajat atau acara maka tetangga A membawa sumbangan atau buwoh kepada tetangga C tersebut dengan membawa 5 kilogram gula dan 3 kilogram beras atau lebih.

     

    Pada hal tersebutlah yang mengakibatkan adanya resiprositas jangka panjang yang terjadi pada masyarakat lasem. Resiprositas jangka panjang tersebut sudah menjadi siklus yang terus berputar dalam kehidupan sehari hari. Hal tersebut terjadi karena adanya hubungan atau keterikatan antar tetangga desa yang sangat kuat.

     

    Pada pelaksanaan resiprositas tidak dikenal bahwa yang melakukan tindakan resiprositas hanya tetangga yang mampu saja sedangkan tetangga yang kurang mampu tidak bisa melakukan resiprositas. Bahwa dalam pelaksanaan resiprositas yang ada pada masyarakat lasem tidak mengenal mampu atau tidak. Tetapi lebih pada hubungan atau keterikatan antar tetangga yang sangat kuat.

     

    Pada masyarakat yang mempunyai kondisi ekonomi yang cukup, dalam pelaksanaan resiprositas tidak akan menemui halangan atau gangguan. Jika ada tetangganya yang mempunyai suatu hajatan atau acara maka pada masyarakat yang cukup tersebut tidak akan muncul suatu permasalahan yang berarti pada pemenuhan kebutuhannya. Karena pada dasarnya masyarakat yang sudah dianggap cukup atau mampu, kebutuhan kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi jadi tidak ada dampak dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari hari oleh resiprositas tersebut.

     

    Berbeda dengan masyarakat yang mampu, hal tersebut berbeda terbalik dengan masyarakat yang kurang mampu. Pada masyarakat yang kurang mampu dalam pelaksanaan resiprositas akan menemui suatu masalah atau halangan. Jika ada tetangganya yang mempunyai suatu hajatan atau acara maka pada masyarakat yang kurang mampu tersebut memaksa mereka untuk melakukan sesuatu agar bisa ikut nyumbang atau buwoh pada tetangganya yang sedang mempunyai hajatan tersebut. Terjadinya resiprositas inilah yang menyebabkan masyarakat kurang mampu tersebut untuk melakukan usaha seperti hutang. Mereka lebih memilih hutang daripada tidak ikut nyumbang atau buwoh. Hal tersebut diakibatkan oleh hubungan atau keterikatan antar masyarakat desa yang masih sangat kuat. Akibat kondisi tersebutlah yang menyebabkan kemiskinan semakin bertambah. Hal tersebut mengakibatkan adanya hubungan antara resiprositas (nyumbang atau buwoh) dengan kemiskinan.

     

    Hubungannya adalah bahwa tradisi nyumbang secara tidak langsung ikut menjadi salah satu faktor kemiskinan di pedesaan yang mayoritas bekerja dalam sektor pertanian. Pendapatan yang tidak banyak yang dimiliki masyarakat, dipaksa untuk dibagikan kepada sesama melalui sistem pertukaran resiprositas tersebut. Akibatnya, kemiskinan yang terjadi adalah jenis kemiskinan kultural yang tidak mudah untuk dirubah apalagi dihilangkan. Memang tidak cukup menjadi masalah jika nyumbang hanya satu dua kali dalam setahun, yang kemudian menjadikan masalah adalah intensitas itu cukup sering terjadi. Di desa saya, dalam satu tahun nyumbang bisa lebih dari sepuluh kali mulai dari hajatan khitanan, pernikahan, hingga pembangunan rumah. Padahal, sekali lagi, pendapatan masyarakat sebagai petani sudah cukup di bawah standard.

     

    Kondisi demikian sebenarnya memberatkan masyarakat dalam aspek ekonomi, meski sebenarnya bisa menjadi perekat kerukunan bersama dalam komunalitas di pedesaan. Yang terjadi selanjutnya adalah keterpaksaan untuk terus melestarikan tradisi sumbang menyumbang di pedesaan ini ketika dihadapkan pada kondisi perekonomian yang lemah.

     

     

    Tetapi seiring berjalannya waktu, pada masyarakat lasem tidak setiap rumah tangga yang membudayakan tradisi resiprositas (sumbang menyumbang atau buwoh). Pelaksanaan resiprositas pada masyarakat lasem masih ada pada masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat lasem yang perkotaan resiprositas tersebut sudah mulai ditinggalkan. Masyarakat lasem yang perkotaan sudah mulai berorientasi kehidupannya seperti masyarakat kota. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Seorang petani misalnya, sejak kecil dia mewakili orang tuanya ikut gotong-royong dengan tetangganya serta keturunan mereka. Situasi seperti ini dapat terjadi karena komunitas tempat hidup petani tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan.

     

     

    Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti,misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerjasama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada.

     

    1. KESIMPULAN

     

    Resiprositas berarti pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat baik antar individu maupun antar kelompok. bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetrisyang dimaksud ini merupakan hubungan sosial, masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama saat proses pertukaran berlangsung.

     

    Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitandengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan  prestise  social.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    Daftar Pustaka

     

    https://sandaransepiantropologi.blogspot.com/2012/02/teori-resiprositas.html

    https://ghufroniberbagi.blogspot.com/2010/04/prinsip-resiprositas-dan-kemiskinan.html

    Categories: Antropologi

    14 thoughts on “Resiprositas pada Masyarakat Lasem

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    * Kode Akses Komentar:

    * Tuliskan kode akses komentar diatas:

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.