KETIDAKADILAN GENDER DI MASYARAKAT : SEBUAH KONSEP SOSIOLOGI GENDER


Salam Agent of Change!

        Saya kembali memposting tugas kuliah saya.. kali ini saya akan membahas salah satu konsep dari sosiologi gender yakni Ketidakadilan gender khususnya dalam masyarakat. Pada tulisan saya ini akan dibahas mengenai pengertian, bentuk, contoh kasus dan analisis kasus dari konsep ketidakadilan gender di masyarakat. Berikut ulasannya, selamat membaca ….

PENGERTIAN

            Ketidakadilan gender dapat disebut juga dengan ketidaksetaraan gender. Dimana ketidakadilan gender ialah segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki yang bersumber dari keyakinan gender. Ketidakadilan gender ini sebagian besar dialami oleh para perempuan, hal ini sesuai dengan pendapat Michelle Rosaldo dimana ia mendefinisikan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan secara universal mereka berada di bawah laki-laki, laki-laki lebih mendominasi karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik serta merendahkan perempuan ke lingkup domestik (Rosaldo dan Lamphere,1974). Ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, dapat kita lihat dari berbagai ruang lingkup seperti; Negara, masyarakat, budaya atau keyakinan, publik atau tempat kerja, rumah tangga, dan keyakinan pribadi.

            Suatu keyakinan gender yang sangat kuat pada berbagai ruang lingkup di atas akan berdampak luas bagi kehidupan dan hubungan gender antara laki-laki dan perempuan yang mana akan melahirkan sebuah stereotip terhadap laki-laki dan perempuan, antara lain sebagai berikut :

KEYAKINAN GENDER BENTUK KETIDAKADILAN GENDER
Perempuan lembut dan bersifat emosional. Tidak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah instansi.
Pekerjaan utama perempuan adalah di rumah dan jikalau bekerja hanya membantu suami (nafkah tambahan). Jika begitu maka boleh dibayar lebih rendah dan tidak perlu kedudukan yang penting.
Laki-laki memiliki watak tegas dan rasional Cocok menjadi pemimpin dan tak pantas kerja di rumah.

  1. Stereotip (Stereotypes)

Stereotip adalah perlabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dimana stereotip ini bisa merugikan pihak lain atau bahkan melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip ialah yang bersumber dari pandangan gender dimana akan mengakibatkan kerugian yang dialami oleh perempuan karena dengan perlabelah tersebut perempuan mengalami pembatasan, kesulitan dan pemiskinan. Misalnya , perempuan yang bersolek diasumsikan adalah untuk memikat perhatian lawan jenis, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dihubung-hubungkan dengan stereotip ini. Masyarakat cenderung menyalahkan korban (si perempuan) pada setiap kasus pemerkosaan atau lain sebagainya tersebut. Inge Broverman (1972) mengatakan bahwa penstereotipan mengenai peran jenis kelamin yang berhubungan dengan ciri pribadi cakupannya sangat luas. Segala sifat yang baik selalu dilekatkan pada laki-laki sehingga mereka dapat membentuk kelompok yang lebih tinggi, sedangkan perempuan hanya membentuk kelompok yang hangat dan ekspresif.

  1. Beban Ganda (Double Burden)

Beban ganda disini erat kaitannya dengan beban kerja, yakni pembagian kerja atau pembagian tugas dan tanggungjawab yang selalu memberatkan salah satu jenis kelamin yakni perempuan. Dimana perempuan memiliki beban kerja yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki serta adanya anggapan bahwa perempuan secara alamiah yang memiliki sifat memelihara, merawat, mengasuh dan rajin yang mengakibatkan semua pekerjaan domestik (rumah tangga) menjadi tanggung jawab kaum perempuan. pekerjaan di ranah domestik (rumah tangga) seperti memasak, merawat dan mengasuh anak , mengepel dan lain sebagainya juga menjadikan banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan, kerapihan dalam rumah tangganya. Terlebih hal ini banyak terjadi di kalangan keluarga miskin maka beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan, apalagi jika perempuan harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya , maka ia memikul suatu beban kerja ganda. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya beban kerja menjadi dua kali lipat yang khususnya dialami oleh perempuan yang bekerja di luar rumah sebagai tulang punggung keluarganya.

  1. Marginalisasi (pemiskinan) Perempuan

Marginalisasi memiliki arti suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Dimana pemiskinan yang dimaksud adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi kaum (biasanya) perempuan. Suatu proses marginalisasi itu juga disebut sebagai proses pemiskinan yang seringkali terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Banyak sekali cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Misalnya adalah banyak sekali perempuan yang bekerja sebagai guru, perawat, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja yang rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. Selain itu , selama ini terdapat sebuah anggapan bahwa perempuan tidak usah menempuh pendidikan tinggi karena nantinya juga akan berada di dapur (mengurus pekerjaan domestik).

  1. Subordinasi (penomorduaan)

Secara umum , subordinasi merupakan keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain. Misalnya terdapat keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dan karenanya tidak sederajad dengan laki-laki. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi. berbagai bentuk subordinasi terhadap perempuan , antara lain :

  • perempuan lebih banyak mengalami buta aksara dibandingkan laki-laki.
  • laki-laki lebih bebas memilih pekerjaan daripada perempuan.
  • mengurus pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan.
  1. Kekerasan (Violience) terhadap Perempuan

Kekerasan bisa disebut juga dengan tindak kekerasan,tindak kekerasan tersebut dapat terjadi baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Adanya perbedaan karakter perempuan dan laki-laki dalam menjalankan perannya masing-masing yang di konstruksikan oleh masyarakat (peran gender) bahwa perempuan dianggap feminism dan laki-laki adalah maskulin. Karakter inilah sebagai wujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani tegas dan lain sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lemah lembut,cengeng, penurut, dan sebagainya. Berbagai anggapan yang dilekatkan oleh perempuan inilah yang mungkin dapat memicu seseorang atau dari lawan jenisnya untuk berbuat semena-mena kepada perempuan berupa tindak kekerasan.

Fenomena Ketidakadilan Gender

Perempuan masih Hidup dalam Ketidakadilan Gender

Jumat, 1 Mei 2015 10:00 Reporter : Juven Martua Sitompul.

Merdeka.com – Kuota 30 persen untuk perempuan di kepengurusan partai politik dan calon anggota legislatif dinilai tidak cukup memberikan impact kepada keterpilihan perempuan di parlemen. Pasalnya, sistem suara terbanyak membuat perempuan bertarung di gelanggang yang sama dengan laki-laki. “Padahal perempuan sampai hari ini masih hidup dalam ketidakadilan gender yang membuat mereka tidak punya akses dan modal sosial politik yang sama dengan laki-laki,” ujar Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, Jumat (1/5).

Dia menambahkan, domestifikasi dari cara pandang yang bias gender masih terjadi di parpol, parlemen dan birokrasi. “Lihat saja di parpol, posisi yang berhubungan dengan internal selalu diberikan kepada perempuan (bendahara, administrasi dan lainnya). Sementara eksternal selalu di tangan laki-laki. Jangan heran jika dalam pemilihan atau voting, pemilik suara sah pasti didominasi laki-laki. Yang terpilih pasti laki-laki,” katanya. Begitu juga di parlemen, domestifikasi juga terjadi. Pimpinan DPR 100 persen laki-laki. Untuk pimpinan alat kelengkapan DPR, perempuan hanya 7 persen.

“Di pembagian Komisi, dulu selalu dikandangkan di Komisi IX. Sekarang Komisi VIII. Bayangkan saja perempuan yang selama ini diminta menjaga kehormatannya, tapi begitu jadi Badan Kehormatan DPR, isinya 100% laki-laki,” sambungnya. Karena itu, dia menambahkan, ada tiga hal yang dilakukan PSI untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, dalam konteks struktural, PSI sejak awal sudah menggariskan, bahwa 50 persen untuk perempuan di kepengurusan. Bukan hanya itu, juga soal posisi pemilik suara sah ketika ada pengambilan kebijakan 50 persen perempuan. “Dalam aturan mengenai identitas kader, disebutkan bahwa seluruh kader PSI wajib menghormati asas kesetaraan gender dan ikut memperjuangkan keadilan gender,” tegasnya. PSI mendukung jika ada revisi UU Pemilu dimana sistemnya adalah kursi 30 persen untuk perempuan. “Ketiga, solidaritas gender harus selalu diperjuangkan, tidak zaman lagi bicara organisasi. Solidaritas laki-laki pro kesetaraan dan perempuan pro keadilan gender, itu jaman baru,” tandasnya.

Analisis kasus

            Kasus yang terjadi dalam artikel berita yang saya kutip tersebut membahas mengenai bagaimana  peran serta kaum perempuan di dalam sebuah organisasi atau institusi khususnya Organisasi Partai Politik (Parpol). Dimana perempuan masih dalam kondisi ketidakadilan gender, peran perempuan didalam sebuah organisasi masih memegang peran untuk mengerjakan pekerjaan yang bersifat internal (dalam ruangan/ domestik) jika didalam lingkungan rumah tangga mereka bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya seperti memasak, menyapu, mengurus anak dan suami dan lain sebagainya. Namun pada organisasi khususnya organisasi politik mereka masih memegang tanggung jawab dan memiliki profesi yang memang bersifat internal seperti mengurus keuangan atau administrasi, menulis agenda atau schedule (sekretaris) dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki masih tetap sama yakni mereka memegang peran yang bersifat eksternal (luar) seperti melaksanakan dan menentukan hasil pemilihan suara (votting), menjadi pemimpin dalam organisasi khususnya dalam kasus ini adalah pemimpin atau manager di organisasi politik. Dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita lihat bahwa masalah ketidakadilan gender masih terjadi dikalangan atau di ranah apapun dalam masyarakat atau negara.

Sumber Referensi :

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial.  Semarang : UNNES Press.

https://www.merdeka.com/peristiwa/perempuan-masih-hidup-dalam ketidakadilan-gender.html. Diunduh tanggal 23 September 2017 Pukul 10.15 WIB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: