Jurnal yang ditulis oleh Nugroho Trisnu Brata menjelaskan bahwa masyarakat Jawa dikenal dengan ciri khasnya yaitu memiliki kebudayaan yang halus dan penuh dengan tata krama, baik dalam perilaku maupun tutur kata. Hal ini dapat digambarkan dari lemah gemulainya tari-tarian yang ada dalam kebudayaan Jawa, seperti tari gambyong, tari srimpi dan tari-tarian lain yang bersumber dari Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa memiliki nilai dan etika yang menjadi penuntun, pengarah bahkan menjadi pemaksa bagi masyarakat Jawa. Nilai-nilai dan etika yang dimiliki oleh masyarakat Jawa diintegrasikan oleh Franz Magnis Suseno ke dalam tiga prinsip yaitu
hormat, rukun dan isin. Artinya adalah bahwa setiap msayarakat Jawa harus memiliki sikap hormat baik dalam tutur kata, bahasa maupun tingkah laku kepada orang lain sesuai dengan derajad dan kedudukannya. Kemudian, masyarakat Jawa juga diatur dan dipaksa agar hidup rukun dengan masyarakat lain agar dapat menciptakan kehidupan sosial yang damai, tentram, selaras dan dapat mencegah adanya perselisihan. Selain itu, masyarakat Jawa harus menanamkan rasa malu dalam dirinya sehingga dapat menjadi pedoman agar tidak sembarangan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai yang tertanam dalam budaya Jawa. Dapat dikatakan pula bahwa seluruh kehidupan masyarakat Jawa tidak terlepas dari nilai-nilai dan etika yang telah mengatur dan menjadi pedoman untuk menciptakan keselarasan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Namun pada masa lalu sebenarnya masyarakat Jawa adalah bangsa yang kasar dan penuh dengan kekerasan yang diwariskan secara tradisi dari generasi ke generasi. Bagi masyarakat Jawa kasar dan perilaku kekerasan merupakan perilaku yang harus dihindari dan dianggap tidak baik serta dianggap bertentangan nilai-nilai dan etika Jawa. Sehingga sikap kasar dan perilaku kekerasan perlu diredam yaitu dengan gunungan garebeg yaitu menggrebeg makanan untuk dimakan bersama-sama, karena makan bersama bisa menumbuhkan solidaritas dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan dan menumbuhkan kebersamaan. Karena apabila dalam kondisi lapar dan haus bisa menimbulkan angkara murka dan berpotensi berbuat kekerasan, sehingga untuk meredamnya diperlukan makanan sebagai pengisi perut. Dengan adanya pergeseran budaya maka kebudayaan masyarakat Jawa yang awalnya adalah etnis yang keras telah berubah menjadi bangsa yang adiluhung, halus, dan menjunjung tinggi tata krama dan unggah-ungguh. Watak halus ini dijadikan sebagai tolak ukur apakah seseorang telah menjadi bagian dari Jawa atau bukan. Watak halus dianggap derajadnya lebih tinggi dibanding dengan watak kasar, karena untuk mencapai watak halus diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan serius melalui laku dan tapa brata. Seseorang yang memiliki watak halus adalah yang mampu menahan diri yaitu mampu menahan amarah di dalam dirinya. Jika seseorang belum memiliki watak halus maka belum bisa disebut sebagai orang Jawa ” durung nJawani atau dudu wong Jawa” yaitu belum menjadi Jawa dan bukan bagian dari orang Jawa.

penulis: Nugroho Trisnu Brata