Home > suararia > Strategi Menaklukkan Hati Warga

Strategi Menaklukkan Hati Warga

Tulisan ini masih bagian dari episode yang melaju di Para Pencari Tuhan (PPT) 11. Ada satu urutan kisah yang membuatku tertarik untuk sedikit mengulasnya.

Kita tahu, kali ini warga kampung kincir menjalani hari-hari nya di pengungsian karena musibah banjir yang melanda. Tentu banyak cerita yang membuat kita tersenyum dan kadang tersindir. Bagaimana warga bisa menjalani kehidupan yang berbeda; di kampung pengungsian.

Masalah menjadi pelik saat warga mengetahui bahwa tanah yang dipakai untuk kamp pengungsian adalah milik investor (sebut saja pak Broto). Dan tanah tersebut harus segera dikosongkan karena akan dibangun apartemen. Warga akan melakukan perlawanan fisik dengan membentuk pasukan siap tempur (Biar lebih dramtis), baik bapak bapak maupun ibu-ibu. Mereka harus berani melawan pak Broto agar masih bisa menempati kamp pengungsian.

Awalnya pak Broto mendekati warga dengan “pemaksaan” atau kekerasan. Namun, melihat kegigihan warga pak Broto harus mencari strategi agar warga bisa “diusir” atau dengan sukarela pindah. Akhirnya jalur “pedekate” menjadi jalan. Mengambil hati warga adalah lebih tepat. Menghadapi warga “miskin” maka strateginya adalah memberikan “ikan” sesering mungkin.

Strategi dijalankan dengan memberikan bantuan pakaian, makanan dan bahkan yang tunai. Warga pun mulai menyukai pak Broto. Walaupun ada warga lain (hanya sedikit) yang masih mencurigai perbuatan baik pak Broto. Apakah strategi ini berhasil? Kita tunggu 2 episode terakhirnya ya.. Hehe..

Sepenggal alur cerita di atas, sangat mirip dengan apa yang sering dihadapi warga di sekitar kita. Bagaimana pendekatan “penguasa” dalam “mengusir” warga yang menempati “tanah bukan hak warga”. Terkadang jalur kekerasan dipilih. Dan kita miris melihatnya. Warga seakan akan tak punya pilihan untuk memperoleh solusi terbaik. Penguasa tidak terlalu memikirkan masa depan warga yang kebanyakan kurang mampu. Penguasa hanya memandang sisi “bisnis”. Persis yang dilakukan oleh pak Broto.

Di sisi lain, warga pun menyikapinya dengan emosional. Bagaimana tidak. Saat kondisi sedang dalam musibah, harus menghadapi musibah berikutnya; pengusiran atau penggusuran. Di sinilah diperlukan sosok pemimpin yang bisa memberikan keademan dalam bersikap. Sayang sekali, dalam kasus warga kincir pak RW tidak bisa berlaku bijak. Maka warga pun mendekatinya dengan pertarungan fisik. Walaupun kemudian mereka takluk dengan strategi “kebaikan” pak Broto.

Sebagai penguasa atau sejenisnya, seharusnya ada rasa sosial yang cukup. Memang harus tegas dalam menghadapi warga. Namun, kebaikan yang diberikan (bukan dengan strategi) akan menghadirkan kebaikan juga. Bisa jadi, warga akan memberikan pertolongan di masa mendatang. Entah apa bentuknya.

Hemat saya, kekerasan bukanlah jalan terbaik dalam menghadapi sesuatu. Kebijakan bersikap dan bertindak adalah wujud kepribadian yang dewasa. Bagi insan cendekia seharusnya demikian. Semoga kita bisa berlaku demikian. Bukan melakukan kebaikan tetapi untuk tujuan pribadi. Wallahu a’lam.

 

Di atas pohon jambu, 230617

Categories: suararia Tags:
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Skip to toolbar