RITUAL PROTES GAYA JAWA-YOGYA, SEBUAH ANALISIS ANTROPOLOGI-STRUKTURAL

 

REVIEW MENGENAI RITUAL PROTES GAYA JAWA-YOGYA, SEBUAH ANALISIS ANTROPOLOGI-STRUKTURAL

 

Ritual protes yang ada di Yogyakarta dilakukan dengan alasan mengkritisi kebijakan atau kinerja yang telah dilakukan penguasa, raja, atau presiden, dalam hal ini, masyarakat Jawa ataupun Yogyakarta melakukan ritual protes untuk memprotes kekuasaan presiden Soeharto pada 20 Mei 1998. Terdapat beberapa landasan untuk melihat ritual protes gaya Jawa-Yogya tersebut, salah satunya adalah dengan perspektif strukturalisme varian Levi-Strauss, perspektif ini tidak hanya menganalisa secara teks semata, melainkan fenomena budaya Jawa juga masuk dalam analisisnya. Erat kaitannya dengan persoalan penguasa yang memang memiliki kuasa secara mutlak, menimbulkan berbagai asumsi yang secara tidak langsung mengarah kepada kritik atau protes kepenguasa itu sendiri.

Dalam persepektif strukturalisme menurut Calude Levi-Strauss, tidak hanya mencari sebab akibat yang ditimbulkan, melainkan perilaku manusia itu sendiri yang memiliki keteraturan. Hal ini menunjukan bahwa, manusia Jawa-Yogya tentu sudah tidak perlu lagi mendapat bimbingan tentang bagaimana mereka seharusnya bertindak dan beriteraksi. Erat kaitannya dengan penguasa yang menindas kaum yang dibawahnya, dalam persepektif ini yang dibahas yaitu mengenai relasi antara Presiden, Rektor, dan Mahasiswa. Pada tahun 1998, saat dimana Indonesia mengalami sejarah kelam, yakni demo besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, yang menuntut presiden saat itu turun dari jabatannya.

Proses ritualnya sendiri berjalan dengan damai meski dibawah pengawassan ketat oleh aparat negara. Tentu dengan ritual protes ini harapannya Presiden Soeharto cepat lengser dari jabatannya, yang melalui perspektif menurut Levi-Struss ialah merupakan relasi antara penguasa, dan beberapa instansi yang berada dibawahnya yang harus patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh presiden. Itulah mengapa ritual protes di Jawa-Yogya dikaitkan dengan perspektif Levi-Strauss, karena masyarakat Jawa-Yogya lebih memiliki sifat yang sederhana, adiluhung dan tidak kasar. Dengan kerangka struktural yang ada yang menghubungkan Presiden, rektor dan mahasiswa, sudah jelas nampak bahwa sifat struktur tidak disadari.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: