Kategori

Pasar Krempyeng Jalan Kehidupan “Ku”

            Pada kesempatan ini, peulis ingin berbagi dengan pembaca sebuah cerita menarik perjuangan seorang ibu penjual bubur di Pasar Krempyeng. Pasar “Krempyeng” merupakan salah satu pasar tradisional yang ada di Kota Semarang, tepatnya berlokasi di Jalan Taman Siswa, Rt 03, Rw 05, Desa Banaran, Kecamatan Gunungpati. Dikatakan pasar tradisional, karena pasar “Krempyeng” ini, pelaksanaanya masih bersifat tradisional, ditandai dengan pembeli serta penjual yang bertemu secara langsung, berada di tempat terbuka, tanpa AC, dan yang paling penting lagi harga yang ditawarkan lebih murah sesuai dengan ”kantong” mahasiswa. Karena menurut hasil pengamatan yang saya lakukan, dan wawancara dengan beberapa penjual di pasar ini, mayoritas pembeli adalah kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa Universitas Negeri Semarang, walaupun ada dari warga sekitar, namun lebih didominasi dari kalangan mahasiswa.

            Jumlah barang yang dijual di pasar ini bermacam-macam, ada nasi gudangan, gorengan, mie, kering, tahu-tempe bacem, telur dan ayam semur, sembako, sayur mayur, jajanan tradisional, buah-buahan musiman, jamu tradisional, ayam potong, ikan dan masih banyak lagi. Bahkan dulu pernah juga ada penjual pakaian namun sekarang telah tidak ada. Jika pun ada hanyalah pedagang pakaian obral yang berjualan di emperan-emperan toko saja

            Rata-rata yang dijual di sini adalah bahan makanan atau lauk-lauk. Bahasa yang digunakan dalam proses bertransaksi adalah bahasa Jawa khas semarang, dan tak jarang para penjual juga menggunakan bahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan pembeli dari kalangan mahasisiwa, karena memang tidak semua mahasisiwa berasal dari Jawa, dan mengerti bahasa Jawa.

            Jika dilihat dari kata penyusunya, krempyeng berasal dari bahasa Jawa “krempyengan” yang berarti sesaat, atau pasar yang ada untuk waktu singkat. Artinya aktifitas dalam pasar ini hanya berjalan dalam beberapa jam saja dalam sehari. Pasar ini berlangsung dari pukul 06.00-11.00 saja setiyap harinya. Setiap hari para pedagang akan dikenakan beban sebesar Rp.1.000,-. Mayoritas penjual disini adalah warga Banaran sendiri, dan antara penjual yang satu derngan penjual lain memiliki hubungan saudara (kekerabatan), karena memang kebanyakan adalah profesi warisan dari anggota keluarga yang sudah “pensiun”.

        Menurut ibu Partiyah, salah satu narasumber yang saya interview, dahulu pasar krempyeng hanyalah berbentuk deretan penjual lesehan yang berada disekitar lokasi, belum ada bangunan penampung permanen seperti saat ini. Jumlah penjualnya pun masih terbatas, hanya beberapa orang saja. Menurut cerita beliau, yang pertama kali berjualan hanyalah ibunya dengan beberapa warga sekitar. Jenis jualanya pun hanya sebatas nasi gudangan. Namun seiring berjalanya waktu, karena jenis kuliner yang satu ini semakin banyak peminatnya, terutama dari kalangan mahasiswa yang pada waktu itu merupakan mahasiswa IKIP, belum bernama UNNES, jumlah penjual pun semakin bertambah banyak.

            Kemudian karena jumlah penjual yang semakin meningkat, akhirnya pemerintah setempat pun membuatkan sebuah bangunan permanen. Bahkan, sempat dibuat kios-kios yang diberi sekat-sekat, namun karena proses pemanfaatan yang tidak maksimal, kemudian dibarengi dengan adanya beberapa konflik, sehingga sekat-sekat tersebut dibongkar.

        Ibu Partiyah, adalah seorang pedagang bubur di pasar krempyeng. Bubur yang di jual beliau adalah bubur kacang hijau, cetil, sagu, tela, dan bubur beras. Setiap hari beliau bangun pagi sekitar pukul 02:00, sholat malam, lalu dilanjutkan dengan mengolah bahan untuk membuat bubur. Semua proses pembuatan makanan yang dijual di pasar krempyeng ini rata-rata masih sangat sederhana, begitu juga dalam pembuatan bubur yang dilakukan bu Partiyah, semua dikerjakan menggunakan tangan, misalnya saja memarut kelapa. Biasanya proses pemasakan membutuhkan waktu hingga pukul 04:30, sholat subuh, menyiapakan semua, dan akan berangkat ke pasar sekitar pukul 06:00. Jika hari minggu bu Partiyah ini akan bangun lebih awal, karena jumlah bahan yang akan diolah lebih banyak, sebab di hari minggu jumlah pasar lebih ramai dan jumlah pembeli lebih banyak.

          Bagi bu Partiyah, adanya pasar krempyeng ini sangatlah penting dan begitu bersejarah dalam hidupnya serta mengandung banyak cerita didalamnya. Beliau yang saat ini merupakan penjual bubur di pasar krempyeng, mulanya merupakan penjual nasi gudangan. Awalnya beliau berjualan untuk menggantikan ibunya  berjualan yang telah meninggal yang dulunya juga berjualan nasi gudangan yaitu nasi bungkus terdiri dari nasi putih, sayur gudangan, dan sambal beserta gereh. Nasi gudangan buatan bu Partiyah ini sangat digemari oleh pembeli, karena disamping harganya yang terjangkau, rasanya juga enak.

         Berbulan-bulan, hingga beberapa tahun bu Partiyah ini menjalani profesinya sebagai penjual nasi gudangan, setiyap hari dagangannya terjual habis. Hingga pada suatu saat terjadi kejadiyan aneh, yaitu setiap kali beliau berjualan, yang biasanya dagangan habis ludes, kali ini hanya terjual beberapa bungkus saja. Setiap hari dagangan ini selalu tersisa dengan jumlah begitu banyak, dan hal ini tidak berlangsung sehari dua hari, namun selama satu minngu. Awalnya bu Partiyah menganggap hal ini merupakan hal yang wajar terjadi pada pedagang.

        Namun kejadian yang berlarut-larut selama satu minggu dengan perincian peristiwa yang persis seperti itu dirasa ada sesuatu unsur campur tangan dari luar. Selain itu juga disebabkan adanya persaingan tidak sehat dengan pedagang yang menjual dagangan yang sama. Diceritakan bahwa penjual tersebut menjual daganganya dengan porsi yang lebih banyak, dan lauk yang bermacam-macam. Padahal pada awalnya yang namanya nasi gudangan ini merupakan nasi putih dengan gudangan, gereh, dan sedikit sambal.

            Namun oleh penjual ini tidak seperti itu, melainkan ditambah dengan mie, kering, dan juga sambal kacang. Otomatis para pembeli lebih memilih pada pedagang ini. Akhirnya jualan bu partiyah pun tidak laku, beliau selalu sedih dan menangis, bertanya-tanya kenapa bisa seperti ini.

         Setelah  mengalami kerugian selama satu minggu, akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti berjualan gudangan. Beliau berganti berjualan buah musiman kelililng kampung-kampung. Akan tetapi hasil dari penjualan ini dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, yang notabenya bu Partiyah bersuami seorang supir angkot yang telah jatuh sakit diabetes dan hipertensi, tidak dapat bekerja lagi, dan masih harus menyekolahkan ke-4 anaknya.

         Pada waktu itu, anak beliau yang pertama telah duduk di bangku SMA. Anak bu Partiyah ini sekolah dan “Nyantri” di salah satu PonPes di kota Wonosobo. Suatu saat ia pulang ke rumah hendak mengok orang tuanya. Bu  Partiyah lalu menceritakan semua yang terjadi pada anakanya, kemudian anakanya ini memberikan sebuah ide kepada beliau untuk berjualan bubur seperti yang ada di Wonosobo tempat ia belajar. Akhirnya Bu Partiyah melaksanakan ide tersebut, dan kembali berjualan di pasar krempyeng.

          Syukur Alhamdulillah ternyata bubur ini banyak diminati oleh pembeli. Setiap hari dagangan bu Partiyah selalu habis terjual. Sehingga secara perlahan-lahan, dengan ditambah bisnis kos-kosan putra sederhana yang dirintisnya, keluarga bu Partiyah pun dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi yang pada saat itu dihadapi. Bahkan sempat beliau terbelit hutang dengan rentenir yang jumlahnya tidak sedikit karena untuk biaya berobat suaminya karena sakit Diabetes dibarengi Hipertensi dan biaya pendidikan anak-anaknya, dapat terbayar.

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: