Review jurnal “Sistem Pengetahuan Kebudayaan Masyarakat Dieng dalam Memaknai Sakit pada Bocah Gembel (Studi Kasus di Dusun Sigedang, Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo”

Kali ini saya akan membagikan tugas kuliah saya pada mata kuliah Antropologi Kesehatan pada semester 5 mengenai “Sistem Pengetahuan Kebudayaan Masyarakat Dieng dalam Memaknai Sakit pada Bocah Gembel (Studi Kasus di Dusun Sigedang, Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo”. Merupakan artikel yang ditulis oleh Unik Dian Cahwati, Kuncoro Bayu Prasetyo dan Rini Iswari.

Desa Sigedang merupakan salah satu desa di dataran tinggi Dieng di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Di dalam desa ini banyak terdapat anak-anak kecil yang memiliki rambut gembel. Kemunculan pertama bocah dengan rambut gembel ditandai dari awal masuknya Islam di Dieng yang dibawa oleh Ki Kolodete, leluhur masyarakat Dieng dan masyarakat Wonosobo yang kemudian menjadi sebuah warisan. Rambut gembel dimiliki oleh anak-anak usia dibawah sepuluh tahun. Jumlah bocah gembel di desa Sigedong lebih banyak daripada di daerah lain karena desa Sigedang merupakan daerah kawasan temapat tinggal Ki Kolodete yang secara metafisika disebut sebagai segitiga mistis sehingga diyakini menjadi tempat yang paling mendapat pengaruh dari Ki Kolodete.
Bocah gembel adalah anak yang memiliki rambut yang menggumpal, tidak bisa disisir dan tidak bisa terurai. Munculnya rambut gembel pada anak-anak ditandai dengan adanya demam yang sangat tinggi atau yang disebut Sumeng yang dialami oleh anak tersebut. Terdapat ciri-ciri yang menandai pertama munculnya rambut gembel pada anak yaitu :
1. Sumeng bermula pada malam Jumat Kliwonatau malam Selasa Kliwon.
2. Sebelum sumeng, pada siang hari biasanya bocah gembelakan berperilaku agresif dan lebih aktif seperti mengamuk atau menangis sambil berguling-guling.
Pemahaman masyarakat terhadap sumeng yang dialami oleh anak-anaknya merupakan tanda akan munculnya rambut gembel dan berbeda dengan demam biasa yang dapat dikaitkan dengan konsep Etiologi Penyakit pada sistem medis lokal yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson. Dalam konsep etiologi penyakit sistem medis lokal terdapat 2 pandangan penyebab penyakit yang bersifat personalistik dan naturalistik. Dalam penyakit yang bersifat personalitik, sakit disebabkan oleh agen supranatural dan sumeng termasuk penyakit yang bersifat personalitik karena sumeng menjadi tanda akan tumbuhnya rambut gimbal.
Bocah gembelakan akan berhenti mengalami sumeng jika rambut gembel sudah tidak bertambah lagi. Tidak bertambahnya rambut gembel apabli bocah gembel sudah meminta untuk diruwat. Selama ruwatan belum dilaksanakan maka bocah gembel akan terus mengalami sumeng. Orang tua tidak boleh memaksakan dilakukan ruat terhadap anaknya. Karena ruatan dilakukan apabila si bocah sudah meminta untuk di ruwat. Jika bocah gembel belum meminta diruwat tetapi orang tua memaksa untuk melakukan ruwatan maka rambut gembel akan tetap tumbuh. Ruwatan bocah gembel yaitu dengan memotong yang menemel pada kepala bocah bocah gembel yang diyakini sebagai permintaa dari “penunggu” yang bersarang dirambut gembel itu. Dengan dilakukannya ruwatan maka sumeng akan sembuh dan rambut gembel tidak tumbuh lagi.
Di desa Sigedang ada tenaga medis yaitu Bidan. Namun bidan tidak mau campur tangan terhadap penyakit sumeng yang dialami oleh bocah gembel. Biasanya ketika bocah gemmbel mengalami sumeng masyarakat lebih mempercayai dan membawa anaknya ke tabib daripada ke bidan.
jika dianalisis dari aspek Antropologi Kesehatan yaitu Kemunculan pertama bocah dengan rambut gembel ditandai dari awal masuknya Islam di Dieng yang dibawa oleh Ki Kolodete, leluhur masyarakat Dieng dan masyarakat Wonosobo yang kemudian menjadi sebuah warisan. Rambut gembel dimiliki oleh anak-anak usia dibawah sepuluh tahun. Desa Sigedang tempat tinggal Ki Kolodete disebut sebagai segitiga mistis sehingga menjadi tempat paling mendapat pengaruh Ki Kolodete.
Munculnya rambut gembel pada anak-anak ditandai dengan adanya. Terdapat ciri-ciri yang menandai pertama munculnya rambut gembel yaitu Sumeng bermula pada malam Jumat Kliwonatau malam Selasa Kliwon dan Sebelum Sumeng, pada siang hari bocah gembelakan berperilaku agresif dan lebih aktif seperti mengamuk atau menangis sambil berguling-guling.
Pemahaman masyarakat terhadap sumeng yang dialami oleh anak-anaknya merupakan tanda akan munculnya rambut gembel dan berbeda dengan demam biasa. Sumeng disebabkan oleh agen supranatural dan menjadi tanda akan tumbuhnya rambut gimbal.
Sumeng akan sembuh dan tidak bertambahnya rambut gembel apabila bocah gembel sudah meminta untuk diruwat. Ruwatan dilakukan apabila si bocah sudah meminta untuk di ruwat dan tidak boleh dipaksa sebelum anak meminta. Jika orang tua memaksa untuk ruwatan maka rambut gembel akan tetap tumbuh. Ruwatan yaitu dengan memotong rambut bocah gembel yang diyakini sebagai permintaa dari “penunggu” yang bersarang dirambut gembel itu. Dengan dilakukannya ruwatan maka Sumeng akan sembuh dan rambut gembel tidak tumbuh lagi.
Di desa Sigedang ada tenaga medis yaitu Bidan. Namun bidan tidak mau campur tangan terhadap penyakit sumeng yang dialami oleh bocah gembel. Biasanya ketika bocah gembel mengalami sumeng masyarakat lebih mempercayai dan membawa anaknya ke tabib daripada ke bidan.

Diambil dari sumber https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/viewFile/9340/6109

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: