Auguste Comte Dengan Pemikirannya


Auguste Comte dan Positivisme
Positivisme merupakan evolusi lanjut dari empirisme inggris. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Kaum empiris meyakini bahwa semesta adalah segala sesuatu yang hadir melalui data inderawi, dengan kata lain pengetahuan harus berawal dari pengamatan empiris. Positivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif. Kemunculan positivisme tidak bisa lepas dari iklim kultural yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Menurut positivisme, filsafat tidak punya kerja lain selain cara kerja ilmu pengetahuan, ia bertugas menemukan prinsip-prinsip umum yang sama untuk semua ilmu dan menggunakan prinsip tersebut sebagai pemandu untuk prilaku manusia serta dasar untuk pengetahuan sosial masyarakat. Positivisme yakin bahwa masyarakat akan mengalami kemajuan apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan kata lain, aliran ini menjunjung tinggi kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran sosialnya yang dapat dimainkan bagi kesejahteraan manusia. Slogan positivisme yang sangat terkenal berbunyi, “savoir pour, prevoi pour pouvoir”yang artinya “dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi”. Pada pemikiran positif Comte ini menjelaskan bahwa gejala sosial pada akhirnya dapat diungkapkan melalui observasi empiris atas suatu gejala tersebut, disamping itu Comte juga menjelaskan bahwa dengan berkembangnya kerangka berfikir yang positif-ilmiah yang akan menimbulkan adanya keteraturan sosial, dengan kata lain keteraturan sosial akan terjadi ketika masyarakatnya menyadari akan pentingnya berfikir ilmiah. Hal ini dikarenakan bahwa ciri utama dalam positivisme adalah keyakinan bahwa fenomena sosial itu memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum deterministis seperti layaknya hukum-hukum yang mengatur ilmu alam.
Positivisme dibadani oleh dua pemikir prancis, Henry Saint Simon (1760-1825) dan muridnya August Comte (1798-1857). Walau Henrylah yang menggunakan pertama kali istilah positivisme, namun Comte yang mempopulerkan positivisme yang pada akhirnya berkembang menjadi aliran filsafat ilmu yang begitu prevasif mendominasi wacana filsafat ilmu abad ke 20. August Comte juga yang pertama kali mempopulerkan istilah sosiologi. Sosiologi dipahami Comte sebagai studi ilmiah terahadap masyarakat. Hal itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme.Sosiologi, oleh karenanya sering disebut-sebut sebagi “fisika sosial”. Pemikiran comte tidak bisa dilepaskan dari reaksinya terhadap semangat pencerahaan yang pada giliranya melahirkan revolusi prancis. Ia amat terganggu oleh anarkisme yang mewarnai masyarakat pada waktu itu. Oleh karenanya bersikap kritis terhadap para filosof pencerahan prancis. Positivisme dikembangkan Comte guna melawan apa yang ia yakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filosof pencerahan. Para filosof dikatakan masih bergelut dengan khayalan-khayalan metafisika. Comte dengan beberapa filosof prancis lainya membuat barisan kontra-revolusioner yang bersikap kritis pada proyek pencerahan. Berikut ini pemikiran Auguste Comte dalam kajian aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi :
1) Kajian aspek epistemologi pemikiran Comte.
Comte melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi, layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan argumentasinya tentang ilmu pengetahuan positif pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus melakukan uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar yaitu Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positif itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisme simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

2) Kajian aspek ontologi pemikiran Comte.
Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan yang dibangun, yaitu :
1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan.
2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan
3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Dalam pengembangannya keyakinan Comte ini dinamakannya positivisme. Positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Comte berusaha mengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
3) Kajian aspek aksiologi pemikiran Comte
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tigastadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte. Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian.
Comte percaya bahwa humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga.Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan sosial, pentingnya keakraban menyatukan dan mempererat anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat.Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang.Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan sosial, dimana nilai-nilai kultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.Menurut Comte mencintai kemanusian inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat.

Prespektif Positivisme Auguste Comte Tentang Masyarakat
Meskipun comte yang memberikan istilah “positivisme” , gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebar luas dilingkungan dimana Comte hidup. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam akan membukakan batas-batasyang pasti yang melekat dalam kenyataan sosial dan melampaui batas-batas itu usaha pembaharuan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus dipergunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui mana semua ilmu-ilmu lainnya sudah melewatinya. Perkembangan ini mencakup mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik dan akhirnya sampai keterbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Pokok pandangan Comte dianggap wajar dalam disiplin sosiologi pada masa kini yang sulit untuk menilai secara tepat bagaimana pentingnya suatu perubahan yang terjadi di masa Comte.

Teori Kemajuan Menurut Comte Versus Teori Siklus Perubahan Budaya Menurut Sorokin
Orang dapat berargumentasi bahwa berbagai gagasan reorganisasi sosial yang dibuat Comte yaitu mencerminkan hilangnya kepercayaan akan tidak terhindarkannya kemajuan evolusi yang dijamin oleh hukum-hukum ilmiah dari dinamika sosial. Walaupun begitu, kepercayaan comte bahwa perkembangan positivisme akan mengakibatkan kemajuan yang terus menerus adalah pasti. Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir. Tahap terakhir merupakan satu masyarakat dimana bimbingan intelektual dan moral yang diberikan oleh imam-imam sosiologi akan memungkinkan pemimpin-pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin bahwa orang akan hidup bersama secara harmonis dan dimana industriawan yang berperikemanusiaan akan menyediakan alat-alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materilnya secara mencukupi. Disini Comte mengambil model kemajuan linear ini yang menuju ke satu tujuan akhir.
Ahli ilmu sosial tidak menganut kepercayaan Comte bahwa masa yang akan datang menjamin kemajuan yang terus menerus, mereka juga tidak melihat sejarah manusia memperlihatkan suatu pola gerak linear yang yang luas menuju tahap akhir. Untuk mempertentangkan model Comte mengenai kemajuan linear, kita akan melihat model perubahan sosio budaya yang diberikan oleh Sorokin. Pandangan Sorokin mengenai hakikat kenyataan sosial sangat erat hubungannya dengan Comte. Keduanya memustkan perhatiannya pada tingkat analisa budaya dan keduanya menekankan sangat pentingnya gaya intelektual, cara memandang dunia atau bentuk-bentuk pengenalan pola-pola organisasi sosial serta perilaku manusia.
Disini Comte mengusulkan suatu model linear yang berakumulasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial yang artinya dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan tanpa membayangkan suatu tahap akhir. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat-gandaan saja, sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.

Kritik atas Positivisme Auguste Comte
Dalam sejarahnya Positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan mengatakan bahwa semua “proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis,fisika atau kimia” dan bahwa “proses-proses sosial dapat direduksi kedalam hubungan antara tindakan-tindakan individu” dan bahwa “organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika“.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal yakni ketidak tepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.

Sumber:
Paul, Jhonson Doyle, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia
https://solehhamdani.wordpress.com/sosiologi/teori-sosiologi-kelasik/

  1. #1 oleh Syarafina Nandanisita pada November 19, 2015 - 12:47 pm

    nama tokoh pada judul kurang huruf ya mba rimatem 😀

  2. #2 oleh Rima A Riani pada November 20, 2015 - 2:17 am

    haha sudah mb pina 😀 :p

  3. #3 oleh Abdurrahman Jtk pada November 21, 2015 - 4:35 am

    gambar mana gambaar.. 😀 😎

  4. #4 oleh inggit silvia pada November 21, 2015 - 7:10 am

    ditunggu tulisan selanjutnya mbkkk hehe

  5. #5 oleh Sekar Arum Ngarasati pada November 21, 2015 - 1:51 pm

    Semangat ngepost tugas-tugas ya rim 😀

  6. #6 oleh Lina Idamatus Silmi pada November 23, 2015 - 3:33 am

    kagak mudeng hehe, tapi sangat bermanfaat sekali. lanjutkan!!

  7. #7 oleh Anisa Mar`atusholehah pada November 23, 2015 - 10:58 am

    bacaannya memang sulit, harus ditelaah lagi biar pembacanya mudeng, tapi bermanfaat bnaget 🙂

  8. #8 oleh Hesti Rofika Sari pada November 23, 2015 - 1:49 pm

    sudah bagus rim, kalo di tempatku namanya laden bukan sinoman

  9. #9 oleh Uke Pramudita pada November 26, 2015 - 2:01 am

    di tunggu postingan untuk tokoh-tokoh yang lainya kaka..

  10. #10 oleh Rossy Juliana (Rojul) pada November 28, 2015 - 12:29 am

    bermanfaat artikelnya rim, lanjutkan ngblog 🙂

  11. #11 oleh Syarafina Nandanisita pada November 29, 2015 - 4:09 am

    auguste comtenya dikasih foto dong

  12. #12 oleh Lenni Novia Lestari pada November 30, 2015 - 4:31 am

    Ditunggu pemikiran tokoh-tokoh yang lain
    semangat

  13. #13 oleh Diah Rohmatul Laeli pada November 30, 2015 - 5:10 am

    kalau bisa disertai foto nya yaa 🙂

  14. #14 oleh siti zakiyatur rofi'ah's blog pada November 30, 2015 - 6:34 am

    Di tunggu tokoh tokoh sosiologi selanjutnya di blog anda bu

  15. #15 oleh renny ayuningsih pada November 30, 2015 - 12:21 pm

    tulisannya sudah bagus, isinya menarik, dikembangkan lagi dan tetap semangat ……

  16. #16 oleh nuufid rahayu ambarwati pada Desember 1, 2015 - 12:07 am

    kalau bisa judulnya dibuat lebih menarik ya kakak

  17. #17 oleh Anis Istiqomah pada Desember 2, 2015 - 5:15 am

    di tunggu postingan selanjutnya rima,,,

  18. #18 oleh PUTRI AYU pada Desember 2, 2015 - 7:41 am

    makasih kak infonya,, mau dums kak ditambah tokoh yang lain 😀

  19. #19 oleh ignasia intan pada Desember 2, 2015 - 8:21 pm

    setuju deh sama komentar sdri putri ayu, hehe 😀

  20. #20 oleh wijayanti octavia pada Desember 3, 2015 - 2:27 pm

    terimakasih,sangat bermanfaat

(tidak akan di tunjuk-tunjukan)


Lewat ke baris perkakas