Fenomena Mencontek dalam Lembaga Pendidikan

PENDAHULUAN

Sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam masyarakat sekarang ini. Perkembangan yang demikian pesat dalam sekolah menjadikan semakin kompleksnya berbagai persoalan didalamnya. Sebagai sarana sosialisasi yang paling efektif, sekolah menjadi basis pendidikan awal bagi anak-anak untuk memperoleh pengetahuan akademis. Dalam kajian disiplin ilmu sosiologi pendidikan, sekolah tidak hanya sekadar sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran, namun lebih dari itu, terdapat struktur, sistem, berbagai simbol dalam interaksi, hingga bentuk-bentuk kapitalisasi berlatar kebijakan sekolah yang mulai muncul akhir-akhir ini.

Dari persoalan yang sedemikian kompleks tersebut, terdapat satu masalah yang dapat dibilang telah menginternalisasi, bahkan dianggap hal yang lumrah dalam lembaga pendidikan, khususnya sekolah. Permasalahan yang dimaksud tidak lain adalah perilaku mencontek, baik dalam pengerjaan tugas-tugas harian, semester, hingga ujian akhir tahunan yang diselenggarakan secara nasional. Mencontek dapat diartikan sebagai perbuatan meniru, menengok, menyalin hasil pekerjaan orang lain dalam konteks proses belajar di sekolah. Sehingga, sejak dulu mencontek telah mendapat labeling yang negatif terkait dengan ketidakmampuannya mengerjakan tugas-tugasnya secara mandiri.

Jika diamati dengan seksama, mencontek bukan semata-mata karena faktor ‘kebodohan’, melainkan pengaruh dari sosialisasi yang diberikan masyarakat kepadanya. Menarik ketika kita dapat memahami bagaimana pendidikan yang seharusnya dilakukan. Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik berarti menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Munib, 2012: 29). Berdasar pada pengertian tersebut, dapat diasumsikan bahwa anak harus memperoleh sosialisasi yang tepat dimana mencakup segala sisi kehidupan. Zanden (1986: 60) mengartikan sosialisasi sebagai suatu proses interaksi sosial dimana individu memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku esensial untuk keikutsertaan yang efektif dalam masyarakat. Sosialisasi yang tepat dalam hal ini terletak pada sikap, nilai yang sangat erat dengan masyarakat dimana ia berada. Dekonstruksi terhadap makna mencontek oleh masyarakat –baik masyarakat sekolah maupun masyarakat tempat tinggalnya– pun seyogyanya dilakukan mulai dari sekarang.

Persepsi mengenai mencontek memang sebagian besar adalah negatif mengingat dampak yang ditimbulkannya. Namun demikian, suatu perbuatan tidak dapat dinilai hanya dari suatu sudut pandang hingga menghasilkan kesimpulan yang sepenuhnya positif atau negatif. Menurut hemat saya, hal demikian sebenarnya bersifat relatif, dapat berubah, dan tidak stagnan. Sehingga dapat dikaji kembali mengenai bagaimana mencontek sebagai sebuah persoalan abadi yang ada di sekolah secara struktural muncul? Apakah mencontek sepenuhnya buruk bagi anak di era yang sedemikian modern? Atau sebenarnya terdapat aspek lain yang menjadikannya fungsional terhadap perkembangan anak dalam proses belajar di sekolah? Pertanyaan-pertanyaan yang demikian menjadi perhatian utama dalam rangka mengubah dampak sosial yang ditimbulkannya – yang sementara ini sangat bersifat negatif, merugikan, dan lain sebagainya.

PEMBAHASAN

Kegiatan mencontek umumnya dilakukan peserta didik ketika mengerjakan tugas, tes, atau ujian. Cara mencontek pun dapat terbilang beragam. Ada yang secara halus dengan pendekatan personal, ada yang dengan paksaan, ada juga yang dilakukan dengan imbalan tertentu. Masing-masing cara, strategi pun terkait dengan kondisi sosial sekolah tersebut. Jika cara mencontek dengan paksaan, umumnya terjadi di sekolah dengan kondisi sosial yang cukup jauh dari modernitas. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya kelompok-kelompok dominan yang berdasar pada kriteria fisik, yaitu yang menang maka mereka yang berkuasa. Berbeda halnya dengan cara mencontek dengan imbalan. Materialistik sangat berperan disana. Kelompok dengan ekonomi menengah keatas menjadi mudah untuk melakukan apapun termasuk pada aktifitas mencontek guna menaikkan nilai mata pelajarannya. Kemudian untuk cara mencontek yang sama-sama setuju (baca: sukarela) terjadi karena adanya timbal balik antara keduanya dimana satu waktu dia yang memberi contekan, di waktu yang lain berganti menjadi penerima contekan. Secara struktural, jaringan setiap elemen telah berjalan meskipun dalam lingkup yang mikro.

Hal demikian tentunya tidak terlepas dari persoalan bagaimana mendapatkan nilai yang tinggi. Ketika nilai yang didapat tinggi, maka pandailah dia, prestis yang didapat pun meningkat, mulai dari sikap guru yang bersangkutan hingga sanjungan dari masyarakat terutama keluarga. Maka tidak mengherankan jika persoalan mencontek selalu ada di sekolah dengan tingkat akreditasi apapun karena saat ini, masyarakat masih lebih menghargai hasil kelulusan daripada kejujuran. Seperti yang diasumsikan Ralp Dahrendorf (1986: 196) bahwa setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur tersebut sebagai suatu sistem. Dalam hal ini, struktur secara makro telah memberikan kontribusinya terhadap keberlangsungan mencontek. Persepsi masyarakat yang lebih mempercayai tingkat intelektual berdasarkan nilai kelulusan sangat memacu peserta didik untuk melakukan upaya apapun untuk memenuhi kriteria tersebut. Tidak hanya masyarakat, elemen lain seperti perusahaan penampung tenaga kerja, lembaga pendidikan dengan jenjang yang lebih tinggi pun tidak lepas dari hal tersebut.

Secara sosiologis, mengubah suatu struktur yang telah demikian konsisten tidaklah mudah, namun masih dapat dilakukan dengan mendekonstruksi hal-hal sederhana di setiap elemen, jaringan yang terdapat dalam struktur tersebut. Salah satunya adalah persepsi mengenai mencontek atau lebih tepatnya labeling mencontek. Perilaku mencontek seiring dengan perkembangan teknologi, terbukanya berbagai informasi tentu mempengaruhi pola-pola mencontek yang dilakukan pada era-era sebelumnya. Menurut pengamatan penulis, terdapat beberapa poin penting dalam pola mencontek di era modernisasi dan globalisasi ini. Pertama, individu yang mencontek sekarang ini tentu dapat mengoperasikan gadget dengan baik. Hal ini tentu bukan tanpa dasar, karena individu yang pandai mengoperasikan gadget mereka tentu tetap mengikuti perkembangan pengetahuan melalui dunia maya (internet). Dengan demikan, mereka sebenarnya tidak sepenuhnya ‘bodoh’ terhadap apa yang akan mereka kerjakan. Meskipun mereka memang tidak dapat mengerjakan soal-soal tugas, tes, ujian, dan lain-lain, mereka tidak sepenuhnya buta mengenai gambaran jawaban terhadap soal tersebut. Kedua, perilaku mencontek kini juga dipengaruhi motif, kurangnya rasa percaya diri misalnya, membuat mereka harus menengok jawaban temannya untuk memastikan apakah jawaban yang dia pikirkan memang sudah semestinya demikian. Ketiga, dengan terbukanya segala informasi dari dunia maya, perilaku mencontek terjadi karena sebenarnya mereka hanya ingin melihat jawaban temannya dalam konteks keragaman. Maksudnya, dengan mencontek temannya, maka jawaban yang telah ia konsepkan akan menjadi lebih berkembang karena mengetahui bentuk analisa jawaban lain yang mengasumsikan ini, itu, dan seterusnya.

Terkait dengan struktur yang ada, persepsi yang demikian akan mengubah persepsi di suatu elemen yang kemudian akan fungsional terhadap elemen-elemen lainnya karena pada prinsipnya, setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus diantara para anggotanya (Dahrendorf, 1986: 96). Konsensus yang dimaksud bukan berarti sepakat untuk memperbolehkan mencontek, akan tetapi lebih kepada bagaimana menyikapi fenomena mencontek yang dilakukan peserta didik dalam lembaga pendidikan sehingga akan memunculkan strategi-strategi baru dalam upaya meminimalisir perilaku mencontek melalui sudut pandang (elemen) peserta didik oleh elemen-elemen terkait, seperti; guru mata pelajaran, guru BK, wali kelas, hingga kepala sekolah sekalipun.

PENUTUP

Persoalan mencontek di sekolah memang tidak terlepas dari persoalan nilai. Persoalan yang demikian tidak dapat hanya diselesaikan dengan satu disiplin ilmu, melainkan membutuhkan kajian mendalam dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pola-pola mencontek seperti bentuk jawaban yang masih belum tergambarkan, kurangnya rasa percaya diri terhadap jawaban, dan rasa ingin tahu keragaman jawaban yang telah dipaparkan sebelumnya dirasa masih sangat minim untuk dapat menyelesaikan kompleksitas persoalan yang terdapat didalamnya. Aspek budaya pun sangat berpengaruh terhadap perilaku-perilaku yang dianggap dapat diwariskan kepada angkatan belajar selanjutnya maupun diperbaiki sedikit demiki sedikit secara konsisten.

Sebagai penutup, alternatif saran yang ditekankan adalah bagaimana membangun kesadaran dari peserta didik untuk lebih memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi yang ada untuk peningkatan kualitas belajar sehingga lebih efektif daripada mencontek dengan berbagai motifnya, serta melakukan dekonstruksi terhadap persepsi masyarakat mengenai keberhasilan belajar peserta didik yang selama ini masih terfokus pada transkrip nilai kelulusan yang diterimanya.

Karena pendidikan tidak selamanya berkutat pada nilai secara fisik, melainkan kepada nilai-nilai kehidupan yang akan memanusiakan manusia, serta berbudaya. []

***

Sumber Bacaan:

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Munib, Achmad. 2012. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES Press.

Abdurrahman Jtk
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Semarang

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: