KASUS KETIDAKADILAN GENDER

 DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN

PENDAHULUAN

Gender adalah perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh lingkungan tempat kita tinggal. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau tidak sesuai dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan demikian dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Masih banyak terjadi ketidakjelasan batasan antara gender dan kodrat, sebagai contoh apabila perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi kodrat. Sebenarnya hal seperti itu kurang tepat karena yang dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari lingkungan seperti halnya pekerjaan. Kodrat sifatnya tetap dan tidak bisa berubah-ubah, wanita kodratnya melahirkan, mempunyai rahim, menstruasi, dan perbedaan fisik biologis lainnya yang sudah menjadi ciri dari seorang wanita, sedangkan laki-laki kodratnya mempunyai jakun, dan sebagainya, adapun kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan, hak memlilih pekerjaan, tempat dan jenis pekerjaan berkaitan dengan gender.

Ketidakjelasan batasan istilah gender telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja dating dari kaum laki-laki yang merasa terancam hegemoni kekuasaannya, tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender.

Fenomena perginya seorang perempuan keluar rumah untuk bekerja seolah-olah menandakan adanya gugatan ideology yang selama ini menjadi anggapan di masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang “Nrimo”, selalu menurut dan merawat anak dan suami. Beban atau tugas-tugas tersebut merupakan tugas rutin perempuan yang ditempatkan sosoknya sebagai seorang ibid an istri.

Pilihan perempuan untuk keluar rumah bekerja akan membawa berbagai implikasi baik sosial, ekonomi, politik dan psikologis. Dunia kerja yang selama ini dianggap milik laki-laki sebagai dunia public mulai mendapat penghuni baru yang namanya perempuan yang selama ini selalu diasumsikan menghuni dunia domestic atau dunia rumahan. Tentu saja pergeseran ini akan membawa dampak pada perempuan, laki-laki dan masyarakat secara umum.

Mungkin banyak orang yang belum memahami akan konsep gender itu sendiri dan mengapa gender bisa menimbulkan ketidakadilan gender dan bias gender.

PEMBAHASAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya patriarki. Hamper seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya di dominasi oleh kaum laki-laki. Perempuan yang memiliki peran dalam kehidupan telah menjadi kelas kedua pada kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Beberapa orang menganggap bahwa tugas-tugas rumah tangga dan mengasuh anak adalah tugas perempuan, walaupun perempuan tersebut telah bekerja di luar rumah. Adanya batasan tentang hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan dalam menjalankan tugas-tugas rumah tangga. Peran ganda laki-laki kurang dapat diharapkan karena adanya ideology tentang pembagian tugas secara seksual.

Peran perempuan sebagai istri dari seorang suami di dominasi oleh pekerjaan rumah tangga. Kesempatan bekerja di luar negeri memberikan peluang lebih besar kepada perempuan dibanding laki-laki. Permintaan pembantu rumah tangga lebih banyak, tugas itu biasanya dikerjakan oleh perempuan. Bekerja sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri tidak terlepas dari pekerjaan rumah tangga. Selain sebagai istri, perempuan memiliki peran sebagai ibu. Tugas seorang ibu yang mengharuskan ia berada di rumah sebagai pengatur semua urusan rumah tangga menyebabkan perempuan kesulitan membagi waktu untuk bekerja di luar rumah. Kebanyakan perempuan yang bekerja di luar negeri tidak mempunyai anak atau anak-anaknya dititipkan kepada keluarga atau suaminya. Kewajiban mencari nafkah diserahkan sepenuhnya kepada perempuan. Banyak perempuan yang bekerja di luar rumah sebagai pengganti tulang punggung keluarga, sedangkan perempuan yang bekerja bukan karena tuntutan ekonomi memiliki kemampuan dan pendidikan. Sedangkan perempuan yang terpaksa bekerja di luar rumah jarang memiliki kemampuan dan pendidikan yang tinggi, seperti Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Tuntutan ekonomi dan keterbatan pendidikan serta keahlian diri mengakibatkan perempuan menjadi kelas dua dalam masyarakat. Kesempatan untuk mengembangkan diri dibatasi oleh peran perempuan itu sendiri sebagai istri dan ibu, selain dari batasan social masyarakat yang menganut budaya patriarki. Keterbatasan itu membuat pemerintah harus memiliki andil dalam pengembangan dan hak perempuan. Peningkatan peran perempuan dalam pembangunan bangsa diantaranya dengan meningkatkan kedudukan, peranan, kemampuan, kemadirian, dan ketahanan mental serta spritual perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). 

Contoh kasus :

Ketidakadilan Gender yang Dialami oleh TKW Indonesia

Kemiskinan  telah menjadi masalah pelik yang tidak kunjung selesai di negara-negara berkembang terutama Indonesia, dengan jumlah kemiskinan di Indonesia berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia pada tahun 2011 sebesar 12,36 %. Dalam hal ini ternyata kemiskinan tidak membuat para wanita untuk tinggal diam meratapi nasib keluarganya yang tidak berkecukupan. Hal ini terlihat dari masih banyaknya Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berasal dari Indonesia.

Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada tahun 2011 sekitar 3,27 juta orang. Sementara menurut Lembaga Migrant Care, jumlah TKI mencapai 4,5 juta orang. Sekitar 70% adalah TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Berdasarkan data BNP2TKI sebagian besar TKI berpendidikan Sekolah Dasar bekerja di sektor informal, sementara 30% sisanya adalah TKI terdidik dan terampil yang mayoritas bekerja di sektor formal. TKI yang bekerja di Malaysia merupakan jumlah TKI terbesar, yaitu sekitar 2 juta orang.

Tindakan memilih untuk bekerja sebagai TKW membuat wanita-wanita ini terutama yang tinggal di pedesaan tanpa bekal hardskill dan softskill yang mapan harus menelan pahitnya keadaan-keadaan seperti penyiksaan oleh majikan, pelecehan seksual, korban human trafficking, perbudakan dengan keji dan dibayar dengan gaji yang rendah atau tidak digaji dengan tuntutan jam kerja yang berlebih, bahkan ada yang harus mengalami hukuman gantung dari pemerintahan negara perempuan itu bekerja akibat difitnah oleh majikannya. Berdasarkan BNP2TKI, tahun 2008 terdapat 45.626 kasus yang menimpa 4,3 juta TKI di Luar Negeri. Jumlah kasus terbesar di Arab Saudi, 22.035 kasus, dan beberapa Negara Timur Tengah lainnya.

Semua ini terjadi pada mereka akibat kurangnya kompetensi diri yang mereka miliki misalnya dalam bidang pendidikan dan ditambah lagi kurangnya jaminan perlindungan dari pemerintahan Indonesia serta lemahnya undang-undang yang mengatur urusan ketenagakerjaan wanita Indonesia. Ditambah lagi masih adanya diskriminasi oleh pemerintah terhadap para TKW. Peristiwa tersebut telah menggambarkan betapa benyaknya ketidakadilan gender yang dirasakan oleh wanita.

Dengan adanya kasus ini perlu adanya solusi untuk mengurangi permasalahan ketidakadilan gender dalam bidang pekerjaan. Salah satuya adalah upaya pemberdayaan terhadap wanita baik itu hardskill maupun softkill. Misalnya dalam kegiatan budidaya perikanan maupun kegiatan pengolahan hasil-hasil perikanan. Dimana para wanita diikutsertakan dalam kegiatan entrepreneurship dibidang perikanan seperti membuka lahan untuk pembenihan maupun pembesaran ikan yang akan dikelola oleh mereka, serta home industry untuk pengolahan produk-produk hasil perikanan.

Solusi ini tentunya membutuhkan kerja sama antara akademisi di bidang perikanan serta pemerintah untuk memberikan berbagai penyuluhan tentang perikanan terhadap para wanita terutama yang tinggal di pedesaan, sehingga hardskill maupun softskill mereka dapat ditingkatkan dan mereka mampu menjadi entrepreneurship yang mandiri serta siap bersaing di dunia bisnis yang lebih besar. Selain itu perlu adanya bantuan dana pinjaman dari pemerintah agar mereka mampu memulai usaha mereka. Dengan kebijakan ini diharapkan pilihan hidup menjadi TKW dapar dikurangi sehingga ketidakadilan gender pun dapat dikurangi dan dengan harapan solusi ini dapat memperkuat peran wanita pada sektor publik sebagai sumber pemasukan bagi peningkatan perekonomian bangsa.

Jenis-jenis ketidakadilan gender pada perempuan dalam bidang pekerjaan yaitu :

  1. Gender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi kaum perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat sudah sering dijumpai. Hali ini bisa dilihat dari berbagai bidang kehidupan terutama dalam hal lapangan pekerjaan. Ada pelabelan (stereotype) terhadap profesi tertentu yang seakan mengharuskan masing-masing jenis kelamin memilih profesi yang sudah disepakati. Pekerjaan rumah tangga untuk perempuan, sedangkan profesi sopir yang gajinya lebih besar untuk laki-laki. Meskipun tidak menjadi jaminan bahwa menyetir kendaraan lebih berat dibandingkan memasak, mencuci, mengasuh anak dan sebagainya.

Marginalisai merupakan rendahnya status dan akses serta penguasaan seorang perempuan terhadap sumber daya ekonomi dan politik dalam pengertian kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan. Anggapan bahwa perempuan hanya diberi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, akan menyebabkan kondisi perempuan terbelakang dan miskin. Marginalisasi perempuan muncul dan menunjukkan bahwa perempuan kurang begitu diperhitungkan sehingga perempuan menjadi dinomorduakan dan kurang diperhitungkan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan saja, tetapi terjadi juga dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. marginalisasi juga diperkuat oleh adat-istiadat maupun pandangan keagamaan, mislanya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris. Sebagian dari pandangan keagamaan meberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kau perempuan.

  1. Gender dan Subordinasi pada Perempuan

Subordinasi merupakan pementingan peran laki-laki daripada perempuan. misalnya dalam hal pekerjaan biasanya perempuan selalu dinomorduakan yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat. Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dri tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.

Dalam rumah tangga sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Kasus seperti ini sebenarnta berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

  1. Gender dan Stereotipe pada Perempuan

Stereotipe merupakan pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotype selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotype ini berakibat jika pendidikan kamu perempuan dinomorduakan. Stereotype terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, budaya dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype tersebut. Misalnya pelabelan yang berasal dari masyarakat bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian dari lawan jenisnya, sehingga setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.

  1. Gender dan Kekerasan pada Perempuan

Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dalam pekerjaan biasanya seorang perempuan disiksa oleh majikannya dan menimbulkan ketidakadilan gender.

  1. Gender dan Beban Kerja pada Perempuan

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, dan mengurus anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban ganda.

Ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan dan stereotype dan beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Pertama, ketidakadilan gender ini terjadi pada tingkat negara, yang dimaksudkan di sini baik pada satu negara maupun organisasi antarnegara. Kedua, terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan organisasi, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga ketidakadilan gender terjadi dalam adat-istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku dan keagamaan. Bagaimanapun interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidakadilan gender. Keempat, ketidakadilan gender ini terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga banyak dilaksanakan dengan menggunakan asumsi biar gender. Oleh karena itu, rumah tangga juga menjadi tempat kritis dalam menyosialisasikan ketidakadilan gender. Terakhir yang paling sulit diubah  adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideology kaum perempuan maupun kaum laki-laki.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan dan Negara.

Dari perbedaan gender inilah yang kemudian menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan tersebut diantaranya marginalisasi perempuan, subordinasi, stereotype, kekerasan dan beban ganda. Selain itu juga menimbulkan ketimpangan gender di berbagai bidang, diantaranya bidang politik, ekonomi, dunia kerja, dan juga pendidikan.

Semua manefestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi. Hal itu tersosialisasikan kepada laki-laki dan perempuan secara mantap yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender ini telah mengakar kuat dalam keyakinan masing-masing orang, dari keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global.