Nilai Kearifan Lokal Sebagai Pedoman PemudaTuk Hadapi Manufer Tahun Politik

Nilai Kearifan Lokal Sebagai Pedoman PemudaTuk Hadapi Manufer Tahun Politik

Tahun politik akan segera dimulai pada tahun 2018. Berbagai manufer di media maupun di masyarakat pun akan segera digencarkan guna mendulang dukungan dan mengunggulkan jagoan yang diusung. Apalagi, sebelum melenggang ke pemilu pimpinan nasional dilaksanakan pada tahun 2019, kita akan menghadapi pilkada serentak pada 27 Juni 2018 terlebih dulu. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) akan dilaksanakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Seperti dilansir kompas.com Wakil Ketua DPR Fadli Hamzah juga memprediksi tahun 2018 akan menjadi tahun politik yang panas. “Tahun 2018 besok, ada banyak orang yang turun ke gelangang melakukan kritik kepada pemerintah. Mungkin kemarin tiga tahun libur, karena sibuk atau menahan diri,” Minggu, (31/12/2017).
Berkaca dari situasi politik tahun sebelumnya, seperti di DKI Jakarta. Tentu situasi politik panas, akan mudah dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan yang ingin jadi pemain dan ikut ambil bagian untuk sebuah kedudukan. Saling lempar ujaran kebencian, hoax, saling menjatuhkan lawan hingga bukan tidak mungkin memicu adanya sebuah tindakan deskriminasi, kekerasan, dan intoleransi. Agus dalam Deradikalisasi Nusantara (2015:118) juga menyatakan, pada saat yang bersamaan, aksi-aksi kekerasan dalam bentuk intimidasi, penyebaran kebencian, bahkan kekerasan fisik oleh kelompok-kelompok tertentu pun dilancarkan kepada mereka yang dianggap berbeda pandangan, budaya dan agama.
Sikap fanatik atau sikap keraslah yang nantinya akan lahir, hal ini tentu akan berbahaya. Karena, menurut Edwi dalam Menjadi Pribadi Religius Dan Humanis (2013:43), bahwa sikap fanatik bisa berujung pada sikap mendepak orang di luar keyakinan maupun agamannya sendiri yang tidak berada dipihaknya. Tidak memperdulikan itu saudara sendiri, kerabat, ataupun sebangsa setanah air hanya karena sebuah tujuan kedudukan mereka pun akhirnya melupakannya. Bahkan, hal terbesar yang disadari atau tidak kondisi itu juga, justru semakin memperlebarkan peluang propaganda kelompok radikalisme dan terorisme, baik di masyarakat ataupun dunia siber, untuk mengambil peran dan semakin memperkeruh persatuan bangsa Indonesia.
Melihat kondisi yang akan kita hadapi saat ini, apakah kita hanya akan menyimak atau malah terkoyak dalam situasi? Tentu Tidak! Kita sebagai generasi pembaharuan penerus bangsa tidak boleh lagi diam apalagi sampai terombang-ambing dalam situasi. Karena perlu kita sadari, semua tindakan itu bukanlah cerminan kepribadian dari bangsa Indonesian untuk mencapai sesuatu apalagi menggapai kemenangan. Saatnya kita generasi milenial yang tanggap, bangkit dengan meneguhkan kekuatan sejati yang dimiliki Indonesia untuk melawan dan mencegah tindakan intoleransi dan propaganda dari bola-bola panas yang akan segera digulirkan. Lalu, apa kekuatan sejati itu?
Jawabannya adalah, nilai-nilai luhur kearifan lokal bangsa. Kearifan yang sudah tersebar diseluruh penjuru negeri Indonesia, dari Sabang samapai Merouke. Kearifan nilai yang mencerminkan keragaman dari latar belakang masing-masing ia berasal. Menghargai perbedaan budaya, agama, ras, suku, dan pendapat sesama. Hal tersebut adalah gambaran real insan negeriku yang menjunjung Pancasila dan Bhinneka.
Ketika guliran bola panas pada situasi politik akan dilepaskan, melalui isu di masyarakat dan media sosial. Maka kita harus berusaha mengkounter dan mengimbangi setiap cuitan negatif yang dilontarkan dengan cuitan positif yang lebih membangun. Mengajak kawan sebaya untuk tidak terpancing dan memperkeruh arus, apalagi mempercayai berita-berita yang tak sepenuhnya benar (hoax).
Bahkan kita bisa membagikan ketelaan nilai yang dapat dicontoh dari kearifan lokal masing-masing daerah. Apabila berasal dari Jawa bisa membagikan makna keteladanan dari sebuah lagu tradisional “Gundul-Gundul Pacul’lagu yang ditulis Sunan Kalijaga pada 1400-an, yang juga merupakan salah satu kearifan lokal bangsa kepada para calon pemimpin dan teman jejaring. Tentu, lagu ini berkaitan dengan situasi pemilihan kepemimpinan saat ini, seperti tersirat dalam setiap larinya.Yakni, Gundul-gundul pacul gembelengan, Nyungi-nyungi wakul gembelengan, Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar. Menyiratkan bahwa kepala tanpa rambut berarti kehormatan tanpa mahkota. Menjadi seorang pemimpin itu harus dapat memfungsikankan sesuai kegunaanya. Layaknya mata untuk melihat kesulitan rakyat atau masyarakat. Telinga digunakan untuk mendengar nasihat. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan. Mulut digunakan untuk berkata tentang kebenaran dan keadilan. Kekuasaan bukanlah segalanya, amanah adalah jantungnya apabila tidak bisa melaksanakan maka akan sia-sia.
Tentu akan sangat bukan, setidaknya sebagai pengingat dan pelajran mana memilih pemimpin yang tepat. Itulah mengapa, meneladani nilai kearifan lokal sangat penting karena nilai dapat memberikan arahan kepada individu atau masyarakat untuk berperilaku. Nilai sebagai kontrol sosial yang berfungsi untuk memberikan batasan-batasan kepada manusia untuk bertingkah laku. Nilai sebagai pelindung sosial yang memberikan perlindungan dan memberikan rasa aman kepada manusia.
Apabila kita tetap memegang teguh kembali nilai-nilai luhur dari kerifan lokal negeri ini, niscaya segala perbuatan antoleran tidak akan terjadi. Kita bersama akan bahu membahu menjaga ketentraman, perdamaian.dan bijak menghadapi segala situasi, perebutan kekuasaan politik sekalipun.
Para pelaku dalam dunia politik harusnya kembali berkaca pada nilai-nilai kearifan lokal. Jangan saling menjatuhkan hanya untuk politik musiman, bahkan dampak yang paling dikhawatirkan adalah membekas sakit yang menimbulakan perpecahan persatuan bangsa. Begitupun kita para pemuda, tetap pegang nilai luhur dan jangan sampai terjerembak dalam ombang-ambing kepentingan para calon penguasa. (R.T.J)
Raundoh Tul Jannah
Daftar Pustaka :
Agus, SB. 2015. Deradikali Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal Melawan Radikalisme dan Terorisme. Jakarta: Daulat Press.
Edwi, G. dkk. 2013. Menjadi Pribadi Religius Dan Humanis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

#semarangdamai #damaiituindonesia #tugumudadutadamai #nilaikearifanlokal #budayajawa #politik #luberjurdil #tag

Published by

Raundoh Tul Jannah

A student on Java Language and Literature of Semarang State University Major

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: