REVIEW STRUKTURALISME LEVI’ STRAUSS

Levi-Strauss-Biographylevis

RIWAYAT HIDUP SINGKAT  LEVI’ STRAUSS

Claude Lévi-Strauss lahir pada 28 November 1908 di Brussels, Belgia. Orang tua beliau merupakan orang Prancis yang menetap di Brussels. Saat berada di Paris, beliau belajar tentang hukum dan filsafat. Beliau lebih memilih terfokus dalam belajar filsafat daripada hukum. Saat berkunjung ke Brazil, beliau mengunjungi seorang professor sosiologi dari University of Sao Paulo, sedangkan istri beliau, Dina, mengunjungi seorang profesor etnologi.

Pasangan tersebut kemudian tinggal dan bekerja di Brazil dalam bidang etnografis sejak tahun 1935 hingga 1939. Mereka pertama kali melakukan studi tentang suku Guaycuru dan Indian Bororo. Mereka ikut tinggal beberapa hari di mana suku tersebut menetap. Di tahun 1938 mereka melakukan ekspedisi untuk mempelajari kehidupan masyarakat Nambikwara dan Tupi-Kawahib. Saat ekspedisi tersebut, sang istri mengalami cedera saat mengumpulkan informasi. Pengalaman tersebut menguatkan profesionalisme Levi-Strauss dalam dunia antropologi.

Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.

Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverifikasi, dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukkuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi.

Beliau memiliki pola pemikiran di mana “pikiran primitif” mempunyai struktur yang tak jauh berbeda dengan pola pemikiran yang “beradab” dan di manapun tempatnya, setiap manusia memiliki ciri-ciri yang sama. Pola pikir yang beliau miliki tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul Tristes Tropiques. Buku tersebut menjadi terkenal dan membuat Levi-Strauss ditempatkan menjadi seorang tokoh utama dalam aliran pemikiran strukturalis. Aliran tersebut memiliki gagasan-gagasan yang mampu menjangkau berbagai bidang, di antaranya humaniora, filsafat, dan sosiologi.

Beliau bergabung menjadi anggota dari Academie Francaise sejak tahun 1973. Di tahun 2008 beliau merupakan anggota pertama dari Academie Francaise yang mencapai usia ke-100. Beliau kemudian meninggal pada 30 Oktober 2009, tepat beberapa minggu sebelum ulang tahun beliau yang ke-101. Kematian beliau diumumkan empat hari kemudian. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, menggambarkan beliau sebagai seorang tokoh terkemuka di bidang etnologis yang pernah ada.

METODE SEGITIGA KULINER

Dalam buku-bukunya yang besar, mulai dari Les Structures Elementaires de la Parente, Levi Strauss menguraikan berbagai macam unsur kebudayaan manusia dengan suatu metode analisa khas yang diambilnya dari ilmu linguistik yang disebutnya “segitiga kuliner” (triangle culinaire). Metode itu diterapkannya terhadap unsur makanan. Tentang metode segitiga kuliner dikatakan bahwa metode itu menjelaskan berbagai macam unsur kebudayaan manusia karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok yang diolah dengan api, yaitu salah satu unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat dini. Menurut Levi-Strauss, makanan terdiri dari tiga jenis, yaitu [1] melalui proses pemasakan, [2] melalui fermentasi, dan [3] mentah. Akal manusia dapat memilih di antara yang mengalami proses (elabore) dan bebas proses (non-elabore). Golongan yang satu adalah kebudayaan, sedangkan yang lain golongan alam. Namun manusia selalu ada yang memilih makanan mentah karena ia termasuk golongan alam dan sekaligus golongan kebudayaan. Manusia berbeda dengan binatang dalam mengkonsumsi makanannya. Apabila binatang langsung memakan makanannya yang berasal dari alam secara mentah, manusia secara universal memproses terlebih dahulu makanan yang akan disantapnya. Walaupun demikian ada juga manusia yang menyukai makanan mentah, tanpa dimasak terlebih dahulu. Berbagai jenis makanan yang disantap manusia tidak semata-mata bertujuan untuk membuat kenyang dan menghasilkan energi, namun terdapat jenis-jenis makanan dimasak dan dihidangkan dengan tujuan tertentu. Makanan dapat diberi makna sosial, keagamaan, dan pada pokoknya makanan tersebut mempunyai arti simbolik.

Makanan manusia terdiri dari 3 jenis, yaitu (a) makanan mentah, (b) makanan melalui proses pemasakan, dan (c) makanan melalui proses fermentasi. Makanan mentah adalah makanan yang bebas dari segalam macam proses (non-elabore).

Berdasarkan akal dan keperluannya sejumlah makanan manusia ada yang bebas dari penggarapan tangan manusia, artinya “bebas dari proses”, dan yang lainnya ada yang harus “kena proses” penggarapan tangan manusia. Levi-Strauss selanjutnya menyatakan bahwa dalam golongan makanan yang “kena proses” dibagi dua lagi, yaitu makanan yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Kedua jenis makanan tersebut berasal dari “suasana” yang berbeda, makanan yang dimasak artinya terkena kebudayaan manusia, sedangkan makanan fermentasi adalah makanan yang terjadi karena proses alami.

Manusia kemudian mencoba menghubungkan antara makanan yang telah terkena tindakan kebudayaan dan makanan yang dapat dikonsumsi karena proses pematangan alam (fermentasi). Maka kemudian manusia mendapatkan golongan makanan mentah yang terletak di antara dua ekstrim, yaitu bahwa makanan itu mentah karena tidak ada campur tangan manusia, namun dapat juga digolongkan yang terkena tindakan kebudayaan karena sumber makanan tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam dan dari hewan yang dipelihara manusia. Dengan demikian seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia, terdapat konsep “segitiga kuliner” dalam menghasilkan makanan yang dikonsumsinya.

ANALISA SISTEM KEKERABATAN

Levi-Strauss mengatakan bahwa masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi di dalamnya berdasarkan sistem simbolik. Dalam usahanya menganalisa segala macam sistem kekerabatan, ia berpangkal pada keluarga inti, sebagaimana Radcliffe-Brown (h. 211-214). Mengenai azas klasifikasi elementer, Levi-Strauss mengatakan bahwa untuk mengetahui kategori-kategori yang secara elementer dipergunakan akal manusia dalam mengklasifikasikan seluruh alam semesta beserta segala isinya, maka dapat dipelajari dari studi tentang totemisme. Menurutnya, arti kata totem (yang secara lengkap berbunyi ototeman dalam bahasa Ojibwa) adalah “dia adalah kerabat pria saya”. Memang hampir secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya sebagai kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, sehingga manusia ber-ototeman dengan hal-hal itu.

Dalam usahanya menganalisa segala macam system kekerabatan, seperti juga Brown, Levi-strauss, berpangkal kepada keluarga inti. Ketiga macam hubungan dalam rangka keluarga inti adalah:(1.) hubugan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang berup hubungan darah. (2) hubungan antara E dengan istrinya berupa hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya dengan saudara sekandung istrinya. (3.) hubungan yang lain yaitu hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka, yang merupakan hubungan keturunan. Dalam kenyataan, kehidupan kekerabatan yang oleh Levi-Strauss dianggap hubugan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra,dan cinta-mencintai,sedangkan apa yang dianggapnya hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormati. Kedua hipotesis tadi secara logikamemungkinkan enam kombinasi yang olehnya di ilustrasikan dengan data dari enam suku bangsa, yaitu suku bangsa Trobrian yang telah dideskripsi oleh Malinowski, bangsa-bangsa Siuai di Kepulauan Solomon, Melanesia, suku bangsa Dobu di kepulauan dekat Trobrian, suku-suku bangsa Kobutu di Papua Nugini, suku bangsacherkess, suku bangsa Tonga di Polynesia. Kalau kita teliti data etnografi Levi-Strauss lebih mendalam, maka tampak subyektifnya ia meniai suatu hubungan kekerabatan itu sebagai positif atau negative,dan tampak pula bahwa tidak jarang ia membawa ukuran kebudayaan sendiri, yaitu kebudayaan perancis, untuk membuat penilaian tadi. Kecuali itu, dari data keenam suku bangsa itu menurut metodologi penelitian Levi-stauss sebenarnya belum membuktikan kebenaran dari kedua hipotesanya itu, karena ia hanya memilih enam contoh saja untuk mengilustrasikan tiap kemungkinan kombinasi sikap antara kaumkerabat inti yang mungkin ada.

KONSEP LEVI STRAUSS MENGENAI AZAS KLASIFIKASI ELEMENTER

Dalam hubungan itu, manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer. (h. 225-227). Selain itu, cara elementer lainnya ialah dengan oposisi pasangan (binary opposition), yakni membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras, bertentangan atau merupakan kebalikannya. Tipe klasifikasi semacam ini secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia (h. 229).
Menurut Koentjaraningrat, terdapat perbedaan besar antara konsepsi Levi-Strauss dalam caranya menganalisa sistem-sistem kekerabatan dan mitologi. Dalam usahanya menganalisa sistem kekerabatan, ia tidak bermaksud mencari azas-azas universal dari proses-proses berpikir simbolik yang menyebabkan sistem kekerabatan di dunia hidup dan berjalan sebagaimana biasanya berjalan.

Fakta bahwa ia sama sekali tidak membicarakan sistem-sistem perkawinan saudara sepupu paralel dan sistem-sistem perkawinan yang disebutnya “kompleks” sudah menunjukkan bahwa ia tidak (atau belum) mencari azas-azas universal. Adapun analisanya mengenai mitologi, azas-azas dan proses-proses berpikir bersahaja dan azas-azas simbolisme yang diabstraksi itu bersifat benar-benar abstrak dan universal, serta tidak terikat kepada kompleks mitologi dari masyarakat atau kebudayaan yang bersangkutan (h. 232). Pemikiran strukturalisme Levi-Strauss ternyata berpengaruh terhadap para antropolog lain, misalnya di Belanda (antara lain F.A.E. van Wouden, P.E. de Josselin de Jong, J. van Baal, dan H.G. Schulte Nordhot), Inggris (antara lain R. Needham dan R.H. Barnes) dan Amerika Serikat (antara lain C. Kluckhon dan James J. Fox). Penjelasan lebih lanjut mengenai para antropolog strukturalis tersebut di halaman 233-243.

PENGARUH STRUKTURALISME LEVI STRAUSS

Strukturalisme Levi Strauss di Negeri Belanada              

Banyak ahli antropologi Belanda di Negeri Belanda maupun di Indonesia tertarik akan konsep-konsep Levi Strauss, yaitu tidak hanya F.A.E van Wouden yang juga menjadi lektor antropologi sosial di Universitas Indonesia yang menulis karangannya mengenai prinsip keturunan bilineal di Kodi di Sumba Barat, dan yang di tahun lima puluhan sangat menarik perhatian dunia antropologi (wouden 1956), tetapi juga P.E. de Josselin de Jong yang menggantikan J.P.B de Josselin de Jong sebagai guru besar antropologi di Universitas Leiden, dan beberapa dari para mahasiswannya. Kemudian juga gurubesar antropologi dari Universitas Utrecht, J.van Baal, mulai tertarik kepada Levi Strauss, dan menyatakan kekagumannya pada buku Levi Strauss tentang totenisme (Baal 1965).

Pengaruh Levi Strauss di Inggris

Hampir semua ahli antropologi yang menyebut dirinya British Social Anthropologists pernah membaca karya Levi Strauss yang terpenting, karena di jurusan-jurusan antropologi di universitas-universitas di Inggris sejak kedua dasawarsa terakhir ini buku-buku itu rupa-rupanya merupakan bacaan wajib untuk dapat lulus ujian bagi semua mahasiswa antropologi.
Pengaruh Levi Strauss di Amerika Serikat

Diantara para tokoh antropologi Amerika angkatan tua yang paling dulu tertarik akan konsep-konsep Levi Strauss, adalah C. Kluckhohn , terutama mengenai pertentangan dan klasifikasi dualisme diadik dan konsentrikal dalam analisa mitologi. Ini dapat dimengerti dengan mudah, karena Kluckhohn sebagai ahli khusus dalam masalah nila-nilai budaya, tentu banyak sangkut-pautnya dengan metodologi menganalisa mitologi, upacara keagamaan, ilmu gaib, dan ilmu sihir. Mungkin kurang tepat untuk mengatakan bahwa Levi Strauss telah mempengaruhi Kluckhohn, karena Kluckhohn sendiri jarang membuat referensi langsung terhadap karangan-karangan Levi Strauss. Sebagian besar sarjana antropologi Amerika yang menggunakan konsep-konsep atau bagian dari konsep-konsep Levi Strauss biasanya termasuk sarjana-sarjana angkatan muda masa kini, yang berkenalan dengan karya-karyanya melalui terjemahannya dalam bahasa Inggris, salah seorang di antara mereka adalah J.A. Boon, bekas mahasiswa C. Geertz yang kita ketahui telah banyak sekali menulis mengenai kebudayaan Jawa di kota Pare di Jawa Timur, dan mengenai kebudayaan Bali. Ia pernah menulis buku tentang simbolisme dan strukturalisme Levi Strauss ( Boon 1972 ;1973; Boon, Schneider 1974 ), namun bukunya tentang kebudayaan Bali justru tidak menggunakan konsep-konsep Levi Strauss (Boon 1977). Sarjana antropologi Amerika lain yang juga pernah melakukan penelitian lapangan di Indonesia adalah J.M. Fox, yang kini menjadi dosen di Australian National University di Canberra. Dengan demikian J. Fox ini merupakan tokoh yang benar-benar menujukkan jalan untuk lebih lanjut menerapkan metodologi analisa mitologi yang telah dirintis oleh Levi Strauss. Karyanya yang terakhir adalah sebuah buku bungai rampai karangan-karangan beberapa ahli antropologi mengenai antropologi simbolik di Nusa Tenggara, yang di redaksinya dan diterbitkannya dengan judul The Flow of Life (1980).

6 thoughts on “REVIEW STRUKTURALISME LEVI’ STRAUSS”

Leave a Reply to Ida Nur Kholida Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: