Mitoni dan Suranan Sebagai Bagian dari Kebudayaan Banjarnegara Gilar-Gilar

MITONI DAN SURANAN SEBAGAI BAGIAN DARI KEBUDAYAAN BANJARNEGARA GILAR-GILAR

     Mitoni dan Suranan adalah dua kebudayaan yang eksistensinya masih tinggi di kalangan masyarakat Banjarnegara. Sebagai sampel di tempat tinggal saya yaitu Desa Kertayasa, yang terletak di Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara masih sangat kental dengan kebudayaan tersebut. Sampai sekarang kebudayaan ini masih diakui dan dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Desa Kertayasa, atau bahkan masyarakat Banjarnegara. Lalu bagaimanakah filosofi mengenai tradisi tersebut? Berikut penjelasannya.
A) Mitoni
Mitoni adalah sebuah tradisi untuk memperingati tujuh bulan kehamilan seorang wanita. Acara ini berupa serangkaian kegiatan yang penuh dengan unsur kedaerahan dan kepercayaan masyarakat. Inti dari kegiatan ini adalah sebuah sedekah yang diharapkan dapat berdampak pada kelancaran persalinan si ibu hamil kelak. Sedekah yang dimaksud dikemas dalam bentuk kegiatan yang sarat dengan kebudayaan jawa yang melambangkan suatu hal.
Dalam kegiatan mitoni sangat khas dengan pembuatan bucu atau tumpeng. Tumpeng adalah beras yang dimasak dengan campuran santan kelapa. Nasi ini kemudian dibentuk menyerupai gunung. Untuk tumpeng dalam acara mitoni terdapat dua tumpeng utama, yaitu tumpeng yang berisi belut dan tumpeng yang berisi burung. Belut menyimbolkan sesuatu yang licin, hal ini dimaksudkan sebagai sebuah harapan agar bayi Lahir dengan mudah dan lancar. Sementara burung (bebas jenisnya) menjadi harapan agar ketika lahir si bayi cepat bisa berbicara.Sementara untuk lauk yang lain sama seperti bucu pada umumnya seperti sayur, serundeng, kedelai hitam, kecambah dan lain-lain.
Selain bucu/tumpeng ada makanan wajib lainnya yang dipersiapkan seperti rujak, rakan, sambel burus, sambal kacang dan urab. Ada filosofi tersendiri untuk pembuatan rujak. Jika rujak yang dibuat rasanya asin masyarakat meyakini bahwa calon bayi kelak berjenis kelamin laki-laki. Tapi jika rasanya hambar diyakini sebagai bayi perempuan. Untuk rakan adalah jajanan pasar zaman dahulu yang disediakan untuk dibagikan kepada bocah pangon atau anak kecil yang sengaja dikumpulkan untuk memakan dua tumpeng tadi.
 Urutan kegiatan
1) Perjanjen, yaitu kegiatan pembacaan barjanji oleh ibu-ibu pada malam sebelum mitoni.
2) Siraman, yaitu acara memandikan si ibu hamil oleh dukun bayi dengan menggunakan air yang dicampur kembang tiga rupa. Biasanya menggunakan bunga mawar, kenanga dan kantil/melati. Samponya menggunakan sampo oman, sampo ini dibuat daripohon padi yang dibakar lalu dihancurkan.
3) Ngepung tumpeng, ini merupakan puncak dari serangkaian acara. Yaitu acara bocah pangon memakan tumpeng bersama. Setelah makan,bocah pangon dicoleki lotion di pipinya sebagai tanda selesainya acara selamatan. Kemudian mereka diberi uang saku sebagai bentuk sedekah dan mengajarkan berderma kepada si jabang bayi. Sebelum pulang mereka diarahkan untuk melempari dinding kamar si ibu hamil dengan batu kecil sembari mengucapkan “laki –laki jadi suamiku perempuan jadi saudaraku”(bagi bocah pangon perempuan) dan sebaliknya bagi laki-laki. Sejarahnya agar si bayi bugar dan tidak lesu.
4) Untuk penutup adalah acara bapak-bapak mengepung tumpeng (biasa) di sore hari, tumpeng ini tidak memiliki persyaratan khusus.
Dahulu, mitoni hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam. Islam di sini adalah Islam yang masih sedikit berbau kejawen(budaya Jawa). Tetapi sekarang ini mitoni sudah bersifat universal dan tidak memandang agama. Hal ini karena akhir-akhir ini banyak orang nonmuslim yang menginginkan upacara mitoni dalam memperingati tujuh bulan usia kandungannya.Umumnya mereka memiliki ketertarikan terhadap keunikan acara tersebut, tukas Ibu Sani, seorang dukun bayi yang saya temui di rumahnya, Sabtu 26 September 2015.
B) Suranan
Suranan adalah upacara syukuran memperingati mendaratnya kapal nabi Nuh di perempatan jalan yang jatuh tepat pada bulan Syuro/Mukharom. Upacara ini berupa pembuatan takiran, yaitu nasi beserta lauk-pauk yang dibungkus dengan wadah berbentuk kapal yang dibuat dengan daun pisang atau disebut dengan takir.
Umumnya acara suranan ini diikuti oleh ibu-ibu dan anak-anak. Mereka berkumpul dengan membawa satu tenong takir per keluarga. Tenong adalah wadah saji yang dibuat dari bambu yang berentuk lingkaran dan memiliki tutup sekaligus. Acara ini berlangsung di pertigaan/perempatan jalan terdekat. Warga berkumpul dengan membawa tenong penuh dengan takir kemudian duduk mengelilingi tempat upacara. Acara ini dipimpin oleh pemuka agama yang bertugas memimpin doa. Setelah berdoa kemudian dimulailah dengan saling bertukar takir. Ini bertujuan untuk mengeratakan tali silaturahmi dan saling merasakan masakan satu sama lain. Setelah selesai makan biasanya ada yang meletakkan saji berupa takir dengan lauk kepala ayam di tengah pertigaan. Untuk saji utama berupa bunga-bungaan, kelapa muda dan takir yang sengaja dibuatkan.
Ada sedikit perbedaan pelaksanaan suranan sekarang dengan yang dilaksanakan zaman dahulu. Zaman dahulu untuk lauk dibuat sama yaitu dengan menyembelih hewan ternak yang umumnya adalah kambing kemudian kepala kaming dikubur di tengah pertigaan/perempatan jalan.

Demikianlah contoh kebudayaan yang masih eksis sampai sekarang di Kota Banjarnegara. Mungkin di daerah lain ada tradisi yang sama, namun dengan pernak-pernik kebudayaan yang berbeda tentunya. Tetapi demikianlah Indonesia yang sangat kaya dengan kebudayaan, kita harus melestarikannya sebagai identitas bangsa. Selain itu di balik semuanya ada nilai luhur yang terkandung seperti berbagi, keguyuban, dermawan dan masih banyak lagi. Oleh karena itu kita memiliki kewajiban untuk melestarikannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: