Konflik Ekologi : Perebutan Lahan antara Petani dan TNI-AD di Kebumen

2_8_anton

Oleh : Siti Mukharomah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang Sebagian besar bekerja sebagai petani. Lahan pertanian merupakan tempat yang penting bagi kelangsungan hidup petani karena sebagai sumber penghidupan mereka. Namun, belakangan ini banyak terjadi kasus mengenai lahan atau sering disebut dengan sengketa lahan. Bahkan menjadi isu hangat dikalangan masyarakat, karena banyaknya kasus yang serupa terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Masalah sengketa lahan terjadi baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan pemerintah atau aparat negara. Tidak jarang, masalah sengketa lahan menimbulkan konflik baik dari skala kecil hingga ke skala besar yang menimbulkan kerugian bagi kedua pihak.

Salah satu kasus sengketa lahan yang mengakibatkan konflik terjadi di Kebumen yang lebih dikenal dengan konflik urut sewu yang melibatkan masyarakat dan TNI-AD. Konflik tersebut tepatnya terjadi di tiga kecamatan (Bulus Pesantren, Ambal Resmi, dan Mirit) yang berada di daerah pesisir selatan. Lahan yang menjadi penyebab konflik adalah lahan yang terletak di muara Sungai Lukulo Desa Ayam Putih sampai muara Sungai Wawar di Desa Wiromartan, yang memiliki panjang kurang lebih 22,5 KM dan lebar 500 meter dari bibir pantai selatan.

Penyebab adanya konflik karena adanya TNI dan warga sekitar dalam memperebutkan lahan yang masing-masing pihak mengklaim bahwa mereka memiliki hak atas tanah tersebut. TNI mengaku bahwa lahan tersebut merupakan milik mereka sebagai hibahan dari negara untuk latihan perang TNI, sedangkan masyarakat sekitar mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut karena memiliki sertifikat tanah. Konflik juga disebabkan karena lahan tersebut dijadikan sebagai tempat latihan militer TNI, namun disamping itu lahan tersebut merupakan lahan pertanian holtikultura yang menjadi tempat bergantungnya kehidupan masyarakat sekitar. Dalam melakukan latihan tempur TNI-AD banyak menimbulkan kerusakan tanaman pertanian warga tetapi tidak memberikan kompensasi atau ganti rugi yang layak serta pihak TNI-AD melakukan pemagaran terhadap lahan yang menjadi sengketa tersebut. Hal ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan menimbulkan konflik-konflik baru yang terjadi sampai sekarang ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengetahui makna lahan bagi masyarakat local, dampak dari adanya konflik perebutan lahan terhadap kelangsungan hidup masyarakat local, dan Upaya apa yang sudah dilakukan masyarakat untuk mempertahankan lahan.

Makna lahan bagi masyarakat lokal

Masyarakat local1 merupakan masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Bagi masyarakat local, lahan memiliki arti yang sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka yaitu untuk kegiatan pertanian. Meskipun masyarakat tinggal di daerah pesisir yang sangat dekat dengan pantai, namun mereka kurang memanfaatkan sumber daya yang ada di laut dan lebih memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini dikarenakan pada masyarakat lokal terdapat kepercayaan atau mitologi dalam melihat laut selatan. Mitologi tersebut berupan anggapan bahwa pantai selatan sebagai suatu wilayah yang gaib, sacral, harus dihormati dan ditakuti, serta memiliki ombak besar yang kurang baik untuk melakukan aktivitas. Berbeda dengan laut utara yang menyenangkan, ombaknya kecil, menghasilkan banyak ikan sehingga cocok untuk melakukan aktivitas.

Kepercayaan tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan oleh masyarakat, namun beberapa masyarakat local masih memegang teguh anggapan tersebut. Dengan adanya kepercayaan atau mitologi tersebut baik disadari maupun tidak telah mempengaruhi adaptasi mereka terhadap lingkungan, terutama dalam hal mata pencaharian. Dimana masyarakat lebih memilih bermatapencaharian sebagai petani dibandingkan sebagai nelayan. Mata pencaharian sebagai petani ini sudah menjadi pekerjaan utama dan sudah diwariskan secara turun temurun.

Anggapan masyarakat tentang pentingnya lahan mengakibatkan masyarakat local sangat bergantung pada lahan. Lahan menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat untuk kegiatan pertanian. Ketergantungan masyarakat local terhadap tanah membuat mereka meyakini falsafah jawa yaitu sadhuruk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohipati2. Falsafah ini menunjukan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan tanah. Setiap jengkal tanah yang dimiliki merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.

Lahan pertanian dimanfaatkan oleh masyarakat local untuk pertanian holtikultura. Tanaman holtikultura yang biasanya ditanam oleh masyarakat local adalah yang memiliki masa panen singkat seperti semangka, jagung, cabai, tomat, dan papaya. Hal ini sangat cocok karena kondisi lahan yang tidak banyak mengandung air, karena jika banyak air maka tanaman tidak akan bagus hasil panennya. Namun, terdapat juga tanaman yang memiliki masa panen yang lama yaitu tanaman pohon kelapa yang biasanya setelah besar akan diambil air nira3 untuk dijadikan gula jawa.

Dampak konflik bagi kelangsungan hidup masyarakat lokal

Konflik lahan yang sampai sekarang masih berlangsung, telah menimbulkan dampak yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat local. Dampak tersebut mencakup beberapa segi kehidupan seperti ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dampak dari segi ekologi yaitu rusaknya lahan beserta tanamannya dan berkurangnya lahan pertanian. Rusaknya lahan beserta tanamannya terjadi karena dalam melakukan latian militer pihak TNI seringkali meginjak-injak lahan dan tanaman milik petani. Meskipun sudah ada batasan yang ditentukan namun seringkali TNI menjelajahi wilayah sekitar latihan yang merupakan lahan milik warga. Akibatnya menimbulkan kerusakan yang merugikan masyarakata local. Sedangkan berkurangnya lahan pertanian disebabkan karena adanya pemagaran yang dilakukan oleh pihak petani terhadap lahan yang besengketa. Para petani yang masih bersikukuh lahan tersebut miliknya, akan kehilangan lahan yang menjadi tempat untuk mencari penghidupan. Pemagaran lahan tersebut sepanjang 23 kilometer dengan lebar 500 meter yang membentang di 15 desa di tiga kecamatan. Pemagaran tersebut juga diwarnai dengan aksi perusakan tanaman yang berada di sekitar batas pemagaran yang menimbulkan kerusakan ekologi.

Dampak dari segi ekonomi berkaitan erat dengan dampak ekologi. Dampak secara ekonomi bagi kelangsungan hidup masyarakat yaitu pendapatan yang diperoleh masyarakat tidak bisa maksimal sehingga kesejahteraan masyarakat berkurang. Meskipun mereka tetap menjadi petani dan menggarap lahan yang dimiliki, tetapi hasilnya kurang maksimal. Penyebabnya selain karena kerusakan lahan dan pemagaran lahan juga karena keadaan masyarakat yang kurang aman untuk melakukan kegiatan pertanian. Hal ini berakibat pada kurang maksimalnya masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Adanya batasan yang dijaga TNI dimana petani tidak boleh beraktivitas melewati batas yang telah ditentukan juga menjadi salah satu penyebabnya.

Dampak dari segi sosial yaitu jatuhnya harta benda dan korban jiwa. Konflik lahan tersebut seringkali menimbulkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pihak TNI kepada masyarakat terutama para petani. Kekerasan yang dilakukan berupa pemukulan, penganiayaan, sampai penembakan. Konflik tersebut membawa kerugian baik materi maupun non materi. Kerugian materi adalah kerugian barang-barang milik warga seperti sepeda motor yang dirusak oleh pihak TNI. Sedangkan kerugian nonmateri adalah perasaan trauma, tertekan, dan tidak aman yang dialami oleh warga terutama anak-anak akibat konflik yang berkepanjangan sampai sekarang ini. Padahal dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 30 disebutkan dengan jelas bahwa “setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Namun, kenyataannya di daerah konflik tersebut masyarakat mengalami perasaan tidak aman. Bahkan dari beberapa sumber menyebutkan bahwa terdapat banyak korban akibat penembakan meskipun tidak sampai meninggal. Koran tersebut tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Dampak secara sosial lainnya adalah komunikasi dan interaksi antara warga dan TNI terganggu karena semakin buruk dan tidak harmonis. Hal ini menimbulkan kecurigaan satu sama lain yang berlanjut sepanjang hari

Konflik yang terjadi tidak begitu berpengaruh terhadap segi kebudayaan, karena mereka masih tetap bisa menjalankan tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Dari segi pekerjaan, memang ada beberapa yang beralih profesi dari petani. Namun semua ini bukan disebabkan karena konflik, tetapi karena adanya peluang kerja yang semakin terbuka terlebih dengan adanya pendidikan tinggi yang di tempuh oleh masyarakatnya. Selain itu, masyarakat masih bisa menjalankan tradisi yang berhubungan dengan lahan pertanian. Salah satu tradisi yaitu   ruwatan urut sewu yang disertai dengan aksi tetrikal sebagai puncak aksi bakar ogoh-ogoh sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap keberadaan TNI AD di kawasan urut sewu dan diharapkan kondisi wilayah konflik akan kembali tenang dan damai.

Upaya yang dilakukan warga dalam mempertahankan lahan

Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan lahan milik mereka. Upaya tersebut dimulai dengan dialog di kelurahan maupun kecamatan yang melibatkan pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan, masyarakat, juga pihak TNI. Namun. Hasil dialog tersebut tidak memusakan bagi masyarakat, sehingga masyarakat mengambil tindakan untuk demo ke pemerintahan daerah baik kabupaten maupun provinsi.

Masyarakat local yang mengikuti demo tergabung dalam beberapa elemen masyarakat yang terbentuk sebagai reaksi terhadap konflik urut sewu serta untuk memperjuangkan hak-hak mereka akan kepemilikan lahan. Elemen masyarakat yang terkenal dan sering terlibat aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka adalah Urut Sewu Bersatu (USB) yang diketuai oleh Sunu (Widodo Sunu Nugroho) dan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) yang diketuai oleh Bapak Seniman. Kedua tokoh tersebut bahkan tidak pernah lelah untuk memperjuangkan lahan agar menjadi milik warga. Prinsip mereka dalam berjuang adalah harus bangkit memperjuangkan kebenaran, tidak penting kapanpun itu tercapai harus tetap diperjuangkan, karena dengan berjuang dapat memperoleh banyak hal. Bahkan Bapak Sunu dan Bapak Seniman melakukan komunikasi secara personal dengan bupati dan gubernur. Komunikasi tersebut dari secara langsung, sms, maupun lewat media sosial lainnya.

Dalam menjalankan unjuk rasa atau demo, terkadang ada mediasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat yang demo. Namun, masyarakat merasa dilema karena sampai saat ini juga belum ada kepastian hokum dari pemerintah baik daerah kabupaten maupun provinsi, untuk memberikan upaya yang tegas untuk menghentikan konflik tersebut. Pemerintah seakan-akan masih menutup mata dengan masalah konflik urut sewu yang sudah terjadi puluhan tahun lamanya. Pemerintah juga mempersulit masyarakat untuk memperoleh lahan miliknya dengan selalu menanyakan bukti kepemilikan resmi lahan yang dimiliki masyarakat, dan seolah-olah lebih pro terhadap TNI yang merupakan aparatur negara.

Simpulan

Lahan memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat local untuk mencari penghidupan. Namun, dengan adanya konflik lahan yang melibatkan masyarakat dan TNI AD menimbulkan dampak yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Dampak tersebut menyangkut segi kedidupan masyarakatnya, yaitu dari segi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Dampak dari segi ekologi yaitu rusaknya lahan, tanaman pertanian serta berkurangnya lahan pertanian akibat latihan militer. Dampak dari segi ekonomi yaitu pendapatan yang diperoleh tidak maksimal sehingga kesejahteraan masyarakat menurun. Dampak dari segi sosial adalah jatuhnya harta dan korban jiwa serta komunikasi dan interaksi antara warga dengan pihak TNI terganggu karena semakin buruk dan tidak harmonis. Dampak terakhir adalah dari segi budaya yang tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Dalam mempertahankan lahan berbagai upaya telah dilakukan seperti dialog dan demo. Namun. Masyarakat mengalami dilema karena adanya ketidakpastian hokum dari pihak pemerintah daerah.

CATATAN

  1. Masyarakat di 3 kecamatan (Bulus Pesantren, Mirit, dan Ambal) yang mengalami konflik
  2. Walaupun hanya menyentuh kening atau sejengkal tanah, akan dibela sampai mati
  3. Air dari bunga keelapa (manggar)

 

DAFTAR PUSTAKA

www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham.html</a%

1 comment to Konflik Ekologi : Perebutan Lahan antara Petani dan TNI-AD di Kebumen

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: