Fenomena Sumbang-Menyumbang “Muyi” pada Hajatan Melahirkan di Desa Sitiadi Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen


aa

PENDAHULUAN

Masyarakat desa merupakan masyarakat yang memiliki hubungan sosial yang sangat dekat diantara anggota masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dengan di junjung tingginya rasa kekeluargaan, gotong-royong, rasa tolong-menolong, dan nilai kerukunan sesama anggota masyarakatnya. Perasaan yang muncul tersebut mengakibatkan adanya rasa solidaritas yang kuat diantara anggota masyarakat, sehingga mereka saling peduli antara satu sama lain dalam berbagai kegiatan atau peristiwa. Masyarakat desa juga tidak luput dengan tradisi atau ritual-ritual yang masih dijalankan. Ritual-ritual ini dijalankan pada upacara daur hidup yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian.

           Setiap daerah memiliki cara dan tradisi tersendiri dalam melaksanakan upacara daur hidup. Seperti halnya di masyarakat Toraja yang memiliki ritual kematian yang berbeda dengan daerah lainnya. Jika salah satu anggota keluarga meninggal dunia, keluarga di masyarakat Toraja akan mengadakan ritual besar dengan menyembelih kerbau yang jumlahnya ratusan. Lain halnya dengan masyarakat Jawa khususnya di pedesaan yang masih sangat kental dengan tradisi. Upacara daur hidup yang dirayakan baik secara besar-besaran maupun sederhana yaitu pada saat pernikahan atau pada acara kelahiran.

Keadaan demikian juga terjadi pada masyarakat Jawa di Desa Sitiadi. Pada acara-acara daur hidup tersebut masyarakat Desa Sitiadi akan bergotong-royong untuk saling membantu orang yang mempunyai acara tersebut. Bantuan yang diberikan tidak hanya berupa finansial (uang), akan tetapi bisa berupa barang dan juga jasa, yaitu memberikan tenaganya untuk memasak atau mengantarkan makanan ke tetangga lain sebelum, proses, dan sesudah upacara daur hidup berlangsung. Dari bantuan yang diberikan pada kegiatan daur hidup tersebut menimbulkan kewajiban sosial yang harus dilakukan oleh seseorang yang menerima bantuan yaitu mengembalikan bantuan tersebut baik barang, uang, maupun jasa. Bantuan ini biasa disebut dengan nyumbang. Jika seseorang tidak melakukannya maka dia akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat sekitar.

PEMBAHASAN

Salah satu kegiatan daur hidup pada masyarakat Desa Sitiadi adalah pada saat seseorang melahirkan. Keluarga dari orang yang baru melahirkan akan mengadakan hajatan seperti pada saat menikahkan anaknya. Hajatan tersebut bisa besar namun juga bisa kecil bergantung pada kemampuan atau latar belakang keluarga tersebut. Hajatan diselenggarakan pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan. Acara dalam hajatan tersebut berupa aqiqahan yang meliputi selametan yang disertai dengan pemberian nama bayi, menyembelih kambing yang mana untuk bayi laki-laki jumlahnya 2 ekor dan untuk bayi perempuan jumlahnya satu ekor, kenduri, serta kegiatan memotong rambut bayi untuk pertama kalinya. Dalam hal ini pada acara hajatan melahirkan terdapat perpaduan antara tradisi Jawa (selametan dan pemotongan rambut) dengan kegiatan berdasarkan syariat Islam (aqiqah).

Selametan yang dimaksud adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh pemilik hajatan dengan tujuan agar bayi yang baru lahir selamat yang disertai dengan membagikan makanan kepada tetangga sekitar. Dalam makanan tersebut juga terdapat gulai dari kambing aqiqah yang disembelih. Selametan ini dilaksanakan bersamaan dengan kenduri. Jika keluarga yang dituju untuk diberikan selametan kiranya tidak bisa hadir atau tidak ada yang mewakili kenduri, maka makanan dari selametan tersebut akan diberikan pada sore hari atau dititipkan pada orang yang bisa datang kenduri. Akan tetapi, jika ada perwakilan yang datang kenduri maka makanan selametan diberikan pada malam hari setelah kenduri. Kenduri biasa dilaksanakan pukul 18.30-19.30 WIB.

Setelah acara kenduri berlangsunglah acara memotong rambut yang pertama kalinya atau disebut dengan pethetan. Tradisi pethetan ini dihadiri oleh bapak-bapak yang berlangsung sekitar pukul 20.00 WIB dengan membaca perjanjen atau doa-doa islam. Bapak-bapak yang datang ini juga bertujuan untuk menengok bayi. Sedangkan untuk ibu-ibu, mereka menengok bayi pada saat siang atau sore hari. Kegiatan menengok bayi yang baru lahir disebut dengan istilah muyi.

Pada saat muyi ibu-ibu memiliki kewajiban sosial yang harus dilakukan dan sudah berlangsung secara turun-temurun. Kewajiban sosial tersebut berupa membawa sesuatu seperti samping atau jarit, perlengkapan bayi (pakaian bayi, selimut, peralatan mandi, dsb), uang, atau bahkan barang sembako dan barang hasil alam (gula, minyak, sayuran, beras, telor , dll). Barang dan uang yang diberikan tersebut telah mengalami perubahan jika dibandingkan dengan dahulu. Para ibu pada zaman dahulu ketika muyi akan membawa hasil bumi berupa beras dan sayuran dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, sekarang ibu-ibu tidak hanya membawa beras dan sayuran yang menjadi andalan utama, melainkan dengan uang dan barang lain yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Barang dan uang yang diberikan oleh para ibu tersebut juga bergantung pada kemampuan orang yang memberinya atau terkait dengan status sosialnya. Biasanya kerabat dekat akan memberikan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Selain barang dan uang, beberapa ibu memberikan jasanya untuk memasak dan mengantarkan makanan selama acara hajatan berlangsung atau lebih dikenal dengan istilah jubus. Namun, mereka juga tetap memberikan barang atau uang kepada orang yang melahirkan tersebut. Barang atau uang yang diterima kemudian dicatat ke dalam buku khusus yang tujuannya supaya tidak lupa dengan jumlah barang atau uang yang telah diterima dari sumbangan orang lain.

Sifat barang, uang, dan jasa yang diberikan kepada orang yang baru melahirkan tersebut layaknya nyumbang pada saat hajatan pernikahan berlangsung. Nyumbang adalah memberi sumbangan kepada orang yang memilik hajatan/selamatan baik perkawinan, khitanan/sunatan, kelahiran, dan lain sebagainya (Lestari 2014:34). Peristiwa nyumbang pada hajatan kelahiran ini terdiri atas dua kejadian. Pertama penerima sumbangan yaitu orang yang memiliki hajatan melahirkan dan kedua pemberi sumbangan yaitu ibu-ibu yang memberikan uang,barang, atau jasa.

Sumbangan yang diberikan tersebut sebenarnya memiliki tujuan untuk membantu meringankan beban keluarga yang memiliki hajatan dalam hal kelahiran anak, sehingga dalam sumbangan terdapat unsur tolong-menolong. Contohnya: seharusnya pihak keluarga membeli telur sebanyak 10kg untuk selametan, akan tetapi dengan diterimanya sumbangan berupa telur sebanyak 5kg dari orang lain, beban membeli telur tersebut menjadi ringan 5kg dan akhirnya membeli telur 5kg. Selain itu, sumbangan ini juga mempererat ikatan solidaritas sesama anggota masyarakat.

Sumbang-menyumbang yang terjadi pada hajatan melahirkan di masyarakat Desa Sitiadi juga menimbulkan kewajiban membalas dalam kehidupan masyarakat yang disebut resiprositas yaitu pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok (Sairin,dkk 2002:43). Resiprositas ini memiliki jangka waktu yang panjang karena waktunya lebih dari satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari kewajiban atau hutang yang harus dikembalikan oleh keluarga yang memiliki hajatan kepada pemberi sumbangan di waktu yang akan datang ketika si pemberi mengadakan hajatan yang sama (kelahiran).

Sumbang-menyembang tersebut dikatakan sebagai kewajiban atau hutang yang harus dibayar karena sumbangan tersebut berupa pinjaman dari orang yang memberikan. Sedangkan, bagi yang memberikan sumbangan dianggap sebagai tabungan di masa depan yang akan diterima ketika memiliki hajatan kelahiran. Selain itu, sumbangan juga dianggap sebagai upaya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan yang akan muncul di kemudia hari oleh pemberi sumbangan (Sakirin, dkk 2002:60). Apabila ibu yang memberikan sumbangan masih muda, maka keluarga yang memiliki hajatan mengembalikannya pada saat ibu tersebut memiliki anak lagi. Namun, apabila ibu yang memberikan sumbangan sudah tua dan tidak memungkinkan mempunyai anak lagi, maka akan dikembalikan ketika menantu atau anaknya memiliki anak.

Besarnya jumlah uang atau barang yang dikembalikan sama dengan yang diterima, kalaupun lebih tergantung dengan keiklasan dan hubungan diantara pemberi dengan penerima sumbangan atau lebih mengarah ke factor pribadi yang mengembalikan. Begitu pula dengan pengembalian jasa, pihak keluarga juga akan mengembalikan jasa yang diberikan oleh orang lain pada saat orang tersebut mengadakan hajatan. Jumlah uang yang akan dikembalikan tersebut didasarkan pada buku catatan khusus yang telah dibuatnya ketika menerima sumbangan. Ketika si penerima sumbangan mengembalikan dengan jumlah kurang dari yang diterima maka orang tersebut akan menerima sanksi sosial dari masyarakat. Sanksi sosial tersebut bisa berupa cemooh, ejekan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa resiprositas yang terjadi merupakan resiprositas sebanding. Resiprositas ini terdapat norma-norma atau aturan-atauran atau sanksi-sanksi sosial yang mengontrol individu dalam melakukan sumbangan (Sairin,dkk 2002:56).

Selain memiliki kewajiban jangka panjang, keluarga dari orang yang baru melahirkan juga memiliki kewajiban jangka pendek. Kewajiban tersebut yaitu memberikan makanan sebagai pertanda bahwa seseorang telah muyi dan memberikan sumbangan. Makanan ini bukan termasuk makanan selametan yang diberikan pada saat aqiqahan, namun sebagi pertanda terimakasih karena telah muyi atau yang disebut dengan istilah ulih-ulihan. Makanan ulih-ulihan tidak hanya diberikan pada hari hajatan aqiqah berlangsung. Akan tetapi bisa diberikan beberapa hari setelah hajatan berlangsung. Alasannya karena ibu-ibu yang datang muyi dan memberikan sumbangan tidak hanya pada hari hajatan tetapi juga beberapa hari setelah hajatan berlangsung.

SIMPULAN

Sumbang–Menyumbang muyi pada hajatan kelahiran yang terjadi di Desa Sitiadi, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen menimbulkan ikatan sosial yang semakin erat diantara anggota masyarakat. Yang mana rasa kekeluargaan, gotong-royong, bantu-membantu, serta ikatan solidaritas semakin meningkat. Sumbang–Menyumbang tersebut merupakan bentuk resiprositas, karena terdapat hubungan timbal balik antara yang memberikan sumbangan dengan yang menerima sumbangan. Resiprositas tersebut termasuk dalam resiprositas sebanding dimana jumlah uang atau barang yang dikembalikan jumlahnya sama dengan yang diterima.

DAFTAR PUSTAKA

Sairin, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lestari, Soetji. 2014. Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa : Potret Dinamika Monetisasi Desa. Disertasi Institut Pertanian Bogor

4 comments to Fenomena Sumbang-Menyumbang “Muyi” pada Hajatan Melahirkan di Desa Sitiadi Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: