“Karyawan Sejahtera, BUMN merugi?”: Pesan dari Teori (Karier) Work Adjustment

Dua tahun terakhir ini bermunculan berita tentang BUMN yang meruga, seperti PT. Krakatau Steel (Kompas.com, 2020), PT Garuda Indonesia (idxchannel.com, 2021), dan PT Perkebunan Nusantara (Tribun Bisnis, 2021). Banyak ulasan terhadap fenomena tersebut, baik dari sisi keuangan, politik maupun yang lainnya. Namun demikian, sesuai pengalaman penulis dalam mengajar Mata Kuliah Bimbingan Karier maka tulisan blog ini mencoba membuat ulasan dari Theory of Work Adjustment (TWA), sebuah teori klasik dari teori karier. Boleh dibilang, TWA ini semacam teori psikoanalisa keseniorannya kalau dalam teori konseling.

TWA menekankan bahwa dalam suatu perusahaan yang sehat maka akan terjadi keseimbangan antara kepuasan karyawan (satisfaction) dengan kepuasan perusahaan (satisfactoriness). Kepuasan karyawan akan muncul apabila nilai, minat, dan passion seorang karyawan selaras dengan pola penggajian, jenjang karier, dan seterusnya. Seorang guru yang memiliki passion untuk mengajar dan diiringi dengan pengupahan yang memadai sebagai suatu profesi dan sistem jenjang karier yang jelas maka akan membuat guru tersebut akan mengajar dengan sepenuh hati.

Kepuasan perusahaan akan terjadi apabila kemampuan karyawan untuk menghasilkan suatu kinerja tertentu selaras dengan tuntutan produktivitas dari perusahaan. Apabila setiap karyawan mampu bekerja sesuai dengan target yang ditetapkan oleh perusahaan, maka perusahaan akan puas mengingat dia akan mencapai laba sebagaimana yang telah ditargetkan.

Kesesuaian antara kepuasan karyawan dengan kepuasan perusahaan inilah yang membuat suatu perusahaan berjalan secara sehat, produktif, dan memberikan manfaat serta keuntungan bagi semua para pemegang kepentingan. Tingkat kepuasan yang sederajat antara karyawan dengan perusahaan, membuat para karyawan menyadari bahwa sangat penting dan bermakna bagi mereka untuk memberikan kinerja dan produktivitas yang terbaik mengingat perusahaan tempat strategis untuk mengaktualisasikan dirinya dan memenuhi kebutuhan lainnya. Suatu organisasi perusahaan yang diisi oleh orang-orang yang peduli akan kontribusinya terhadap produktivitas perusahaan membuat perusahaan tersebut sehat, memiliki umur yang panjang dan memberikan manfaat secara luas. Situasi inilah yang diidealkan oleh TWA dalam suatu perusahaan.

Nah, kalau dikaitkan dengan fenomena BUMN yang merugi sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, muncul pertanyaan “Apa yang sedang terjadi apabila suatu perusahaan memberikan kepuasan kepada karyawan yang tinggi tetapi kinerja perusahaan merugi alias kepuasan perusahaan rendah?” Kita tahu bahwa bekerja di BUMN tingkat kesejahteraannya tinggi (lifepal.co.id, 2021), bahkan gaji menteri pun masih kalah tinggi (CNBC, 2020). Karenanya kita bisa menangkap, setidaknya kepuasan karyawan BUMN dari sisi penghasilan/kesejahteraan finansial, bahwa mereka memiliki kepuasan yang bagus. Namun, apabila kepuasan karyawan ini ternyata tidak sesuai dengan kepuasan perusahaan yang ditandai dengan kerugian yang diderita BUMN tersebut, maka sebenarnya ada apa? Kalau kita lihat dari tinjauan TWA, maka secara singkat kita bisa menyimpulkan bahwa para karyawan sedang membajak atau merampok perusahaan tersebut. Situasi ini bisa dianalogikan dengan majikan (perusahaan) yang memiliki seorang karyawan yang diberi gaji dengan standar bagus agar dia bisa sejahtera, tetapi sang karyawan tidak mau bekerja dengan produktif dan alhasil karyawan tersebut mendapatkan banyak untung dibanding sang majikan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila Pak Menteri kemudian melabeli karyawan suatu BUMN (sebelum BUMN melakukan transformasi) telah melakukan korupsi yang terselubung (Tribun Bisnis, 2021).

Melihat fenomena tersebut, maka sebenarnya yang diperlukan oleh perusahaan (BUMN) tersebut adalah kepedulian dari seluruh para karyawan terhadap perusahaan dengan menunjukkan motivasi dan kinerja yang memadai melalui tata kelola sebuah perusahaan yang sehat sepaya perusahaan juga mendapatkan kepuasan. Kita mengetahui bahwa di BUMN terdapat banyak karyawan yang merupakan orang hebat dan terpilih untuk bisa menunjukkan kinerja perusahaan yang hebat. Demikian pula dengan aset yang dimilikinya juga kebanyakan sangat luar biasa banyaknya. Namun, apabila perusahaan (BUMN) masih merugi maka apanya yang salah? Jangan-jangan ketidakpedulian pemangku kepentingan di dalamnya tentang kinerja perusahaan menjadi akar penyebabnya sehingga setiap orang berpikir tentang bagimana mendapatkan keuntungan yang banyak tanpa perlu peduli untuk berkontribusi terhadap perusahaan. Akibatnya, tata kelola perusahaan menjadi amburadul alias tidak profesional.

Lha, dari tadi berbicara tentang urusan perusahaan. Kalau tulisan ini merupakan telaah dari teori Bimbingan Karier, apa maknanya bagi konselor dan siswa? Fenomena ini, bagi konselor, menunjukkan bahwa dalam berkarier perlu ditanamkan kepada siswa bahwa kita tidak boleh hanya mementingkan kepuasan diri kita saja, melainkan juga perlu mempedulikan kepentingan organisasi kita bekerja. Berkarier (bekerja) bukan hanya untuk mencari penghidupan bagi diri-sendiri, tetapi juga sekaligus memberikan kebermanfaatan bagi ‘pihak lain’ termasuk organisasi kita bekerja. Dalam bekerja kita tidak mungkin untuk egois (selfish), tetapi perlu berkolaborasi dengan orang lain dengan saling memberi manfaat. Ternyata, kalau dipikir-pikir Bimbingan Karier juga memiliki kandungan tentang Pendidikan Karakter ya….???

Proses Kognitif dalam Konseling Individu

Konseling individu menuntut konselor untuk melakukan kinerja kognitif selama menerima informasi dari konseli. Ketidak-efektifan kinerja kognitif konselor selama proses konseling berdampak merugikan terhadap proses konseling, diantaranya:

  1. Pemahaman empati yang tidak akurat. Empati menuntut konselor untuk bisa memahami kerangka acuan internal (internal frame of references) secara objektif dan komprehensif. Ketiadaan proses kognitif yang tepat membuat pemahaman yang objektif dan komprehensif menjadi sulit tercapai.
  2. Respon attending, yakni pelacakan pesan verbal (verbal tracking) yang tidak runtut atau melompat-melompat. Ketika konseli mengutarakan suatu pesan, maka pendalaman berikutnya oleh konselor diharapkan tidak jauh dari topik pesan tersebut. Proses kognitif yang tidak efektif menjadikan verbal tracking sulit dilaksanakan.
  3. Fokus konseling pada lingkungan atau situasi eksternal (dari luar diri) konseli. Selama proses konseling, konselor diharapkan senantiasa memfokus (memperhatikan) kondisi internal dari dinamika psikologis konseli, misalnya persepsi konseli tentang kenyataan yang dialaminya, penilaian konseli tentang kondisi yang dihadapi, pandangan pribadi tentang suatu keadaan, dan seterusnya. Proses kognitif yang tidak tepat mendorong konselor mendalami situasi eksternal, misalnya kapan suatu peristiwa dialami konseli, di mana kejadian peristiwa tersebut, bagaimana tanggapan orang di sekitar konseli atas kejadian tersebut, dan lain-lain. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat memfokus pada kondisi eksternal membutuhkan proses kognitif yang tidak terlalu kompleks dibandingkan dengan berusaha memahami dinamika psikologis dari kondisi kerangka acuan internal.

Continue reading

Teknik Menyajikan Hasil Analisis Data Kuantitatif

Hasil analisis statistik pada kebanyakan laporan penelitian dan jurnal disajikan dalam kalimat. Sebagai contoh, “Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa hasil uji hipotesis 1 diperoleh nilai r sebesar 0,423. Jika dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,246 untuk df sebesar … maka diperoleh p kurang dari 0,01. Temuan ini mengindikasikan bahwa hipotesis 1 diterima secara sangat signifikan.”

Cara menyajikan hasil analisis statistik di atas tidak lazim dilakukan di jurnal-jurnal internasional. Terlebih apabila peneliti menganalisis statistik dengan bantuan perangkat lunak, maka melihat atau membandingkan hasil analisis dengan semacam r tabel tidak perlu dilakukan karena perngkat lunak statistik telah menunjukkan taraf signifikansi secara akurat.

Continue reading

Assalamu’alaikum…!

Selamat datang di blog saya. Melalui blog ini ke depannya akan didiskusikan beberapa isu-isu akademik menarik seputar konseling dan psikologi pendidikan. Diskusi dan telaah konstruktif dari para pembaca sangat diharapkan.

Semoga bermanfaat!

Sunawan, Ph.D.