Masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas dan Kebudayaan Entas-Entas

         Masyarakat Suku Tengger merupakan salah satu suku yang mendiami lereng gunung Bromo-Bemeru. Gunung Bromo (2.392m) adalah gunung yang dianggap suci bagi masyarakat Tengger karena merupakan lambang tempat dewa Brahma, tempat wisataterkenal di Jawa Timur yang dapat ditempuh melalui 4 kabupaten, yaitu: Probolionggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Puncak Gunung Bromo yang luasnya 10 km merupakan perpaduan antara lembah dan ngarai dengan panorama yang sangat indah, kita dapat menikmati hamparan lautan pasir seluas 50 km. Selain pemandangan alam yang indah, Gunung Bromo juga memiliki daya tarik luar biasa lainnya yaitu tradisi masyarakat Tengger yang tetap berpegang teguh pada adat-istiadat dan budaya yang menjadi pedomannya.

Wilayah Adat

           Wilayah adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu Sabrang Kulon (diwakili oleh Desa Tosari Kec. Tosari Kab. Pasuruan) dan Sabrang Wetan (diwakili oleh desa Ngadisari, Wanatara, Jetak Kec. Sukapura Kab. Probolinggo). Perwakilan oleh Desa Tosari dan Tiga Desa tersebut, mengacu pada prosesi Pembukaan Upacara Karo sekaligus membuka Jhodang Wasiat / Jimat Klontong. Adapun Desa yang termasuk komunitas Suku Tengger antara lain: Desa Ngadas ,Wanatara, Jetak dan Ngadisari (Kec. Sukapura Kab. Probolinggo), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari (Kec. Sumber Kab. Probolinggo), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo (Kec. Tosari Kab. Pasuruan), Desa Ngadirejo, Ledok Pring (Kec. Tutur Kab. Pasuruan), Desa Ngadas (Kec. Poncokusumo Kab. Malang), dan Desa Ranupani (Kec. Senduro Kab. Lumajang).

         Rumah dan lingkungan sebagai tempat tinggal orang-orang Tengger memiliki keunikan tersendiri. Bangunan-banguan penting bagi masyarakat Tengger terdiri dari bangunan keagamaan dan tempat-tempat suci, bangunan-bangunan perumahan atau tempat tinggal dan bangunan-bangunan yang berfungsi sosial. Bangunan suci terdiri dari bangunan untuk memuja dan mengagungkan kebesaaran Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya, yaitu sanggar pemujaan. Kedua tempat suci untuk memuja roh leluhur yang masih dipandang suci disebut punden, dan ada lagi tempat yang dikeramatkan oleh orang-orang Tengger yang disebut dengan danyang, ketiga tempat dan bangunan suci tersebut secara religius menunjukan kepercayaan masyarakat Tengger terhadap hal-hal ghaib. Sedangkan rumah-rumah yang digunakan untuk tempat tinggal dinamakan umah, dan bangunan yang berfungsi sosial dinamakan gandok, penempatan-penempatan rumah-rumah tersebut biasanya terdapat dalam kelompok pemukiman.

Desa Ngadas

                Sifat umum didalam kehidupan sehari-hari orang Ngadas mempunyai kebiasaan hidup yang sederhana, rajin dan damai. Kebanyakan pekerjaan masyarakat Ngadas adalah petani. Ladang mereka berada di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah kentang, kubis, bawang prei, wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu pada  siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dari pagi hingga petang hari di ladangnya. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Desa Ngadas sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.

              Kehidupan pada masyarakat Desa Ngadas penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh Petinggi (Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti (gotong royong) dan sebagainya.

Pemimpin Suku Tengger terutama di Desa Ngadas

               Masyarakat suku Tengger terutama Desa Ngadas tidak mengenal dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun Adat. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat suku Tengger dipimpin oleh kepala desa (Petinggi), yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan sebagai pemimpin ritual / upacara adat. Proses pemilihan seorang petinggi, dilakukan pemilihan secara langsung oleh masyarakat, melalui proses pemilihan petinggi. Sedangkan untuk pemilihan dukun, dilakukan melalui beberapa tahapan-tahapan, yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa) yang waktunya dilaksanakan pada Upacara Kasada bertempat di Poten Gunung Bromo. Pemilihan calon Dukun ini biasanya secara turun-temurun, namun sekarang ini mulai dibuka untuk umum bagi saipapun yang mampu menjadi seorang dukun. Dukun suku Tengger berbeda dengan dukun Jawa yang lain, mereka mempunyai tujuan menjaga kebudayaan dan melakukan upacara-upacara tradisional. Dalam setiap desa Tengger ada dukun diatas mereka ada satu dukun yang mengurus semua acara keagamaan, bernama “Lurah Dukun”. Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini dalam desa-desa Tengger juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen terutama di Desa Ngadas yang masyarakatnya terbuka pada agama-agama lain yang masuk. Syarat-syarat untuk menjadi seorang dukun antara lain:

  • Hafal secara lisan dan maknamantra-mantra Tengger
  • Berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda
  • Memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi
  • Berkelakuan baik,sopan santun dan bermoral tinggi
  • Diangkat oleh pemerintah (Kepala Desa)
  • Disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah

              Sikap toleransi masyarakat Desa Ngadas tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya. Sikap hidup masyarakat Tengger yang lain adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.

Upacara Entas-Entas

        Upacara Entas-entas secara khusus dilaksanakan untuk menyucikan arwah (roh) orang yang telah meninggal dunia, yaitu pada hari yang ke-1000 atau minimal pada hari ke-44 setelah meninggal. Akan tetapi, pelaksanaannya sering diadakan sebelum hari ke-1000 untuk meringkas upacara-upacara kematian itu. Upacara Entas-entas dimaksudkan untuk menyucikan arwah orang yang telah meninggal dunia agar dapat masuk surga. Secara kebetulan waktu observasi saya mengikuti upacara tersebut. Adapun prosesnya antara lain:

  • Mengisi kulak (bumbug yang terbuat dari bamboo) dengan beras oleh seluruh keluarga yang melakukan upacara
  • Semua keluarga berkumpul di bawah bentangan kain panjang
  • Selanjutnya keluarga diiringi gamelan  dan terompet berjalan di bawah bentangan kain putih panjang tersebut ke suatu tempat yang disebut “pengobongan” untuk kemudian membakar petra. Rangkaian upacara ini, orang yang meninggal dibuatkan Petra, yaitu boneka dari daun-daunan dan bunga-bungaan. Upacara ini boleh dilakukan kepada keluarga lebih dari satu orang. Masing-masing orang yang akan dientas dibuatkan Petra. Kelengkapan dalam upacara ini adalah kain putih, cepel, bebek, cowek, beras, kulak, ayam. Makna dari  kelengkapan ini adalah kain putih melambangkan kesucian, kulak itu bambu yang dipotong dan melambangkan orang yang meninggal tersebut, bebek adalah makhluk yang bisa memisahkan antara barang yang baik dan buruk, beras dan ayam adalah sebagai bekal dalam perjalanannya.

                Upacara entas-entas termasuk salah satu upacara yang membutuhkan dana besar, oleh karena itu, untuk menekan biaya upacara, perempuan sudah disediakan oleh dukun. Adma yang dientas diwakili oleh orang yang masih hidup meski tak ada hubungan saudara. Mereka yang mewakili Adma tidak memakai baju, bagi perempuan menggunakan kemben, dan bagi laki-laki tidak boleh memakai baju, atau kaos, hanya memakai celana. Sebab dalam pandangan mereka terdapat keyakinan bahwa orang yang mati tidak memakai baju ataupun lainnya. Mereka yang mewakili Adma dipayungi dengan kain putih panjang melingkar sebanyak mereka yang mewakili. Dukun, selain berperan memberi mantra juga berperan nyareni keperluan upacara seperti cosek, cepel. Setelah dimantrai oleh dukun, semua Petra dibawa ke tempat pembakaran untuk dibakar, hal ini sebagai lambang bahwa selama waktu itu roh si mati yang dianggap belum sempurna melalui upacara Entas-Entas telah dianggap sempurna. Upacara ini bertujuan untuk menyempurnakan arwah orang yang telah meninggal dunia dan semoga masuk ke alam nirwana. Dalam upacara ini disembelihkan kambing sebagai kendaraan menuju nirwana. Upacara yang dibaca dan paling dominan dari upacara ini adalah Setaben Palukat.

              Rangkaian upacara Entas-Entas dimulai dari upacara semeningga, ini berlangsung tiga bulan sampai satu minggu sebelum upacara Entas-Entas.Menurut keyakinan masyarakat Desa Ngadas, upacara Entas-Entas merupakan upacara yang paling ditakuti. Karena apabila dalam acara ini ada arwah yang terlupakan untuk dientas, keluarga yang menyelenggarakan upacara akan mendapat musibah. Oleh karena itu, sebelum upacara diselenggarakan, seorang dukun berkali-kali mengadakan pengecekan terhadap keluarga orang-orang yang meninggal yang akan dientas. Makna Entas-Entas pada dasarnya mengembalikan kelima unsur penyusun tubuh manusia, yakni tanah, manusia kalau mati di kubur di dalam tanah. Kayu, manusia jika mati kubumya ditancapi kayu sebagai nisan. Adapun unsur air, manusia kalau mati pasti dimandikan dahulu sebagai pembersih merupakan simbol penghormatan kepada Dewa Baruna. Sementara itu, panas atau cahyo, yaitu manusia kalau meninggal dibakar petranya, yakni mengembalikan unsur panas yang ada di alam tubuh kepada asalnya, yaitu dengan cara dibakar. Demikianlah sepenggal cerita mengenai masyarakat Desa Ngadas yang dapat hidup saling berdampingan, menerima agama atau orang lain yang masuk ke Desa Ngadas dan juga mengenai upacara entas-entas Desa Ngadas. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus hendaknya tetap melestarikan kebudayaan-kebudayaan tersebut, sehingga generasi-generasi yang akan datang masih dapat menikmati kebudayaan yang ada di Gunung Bromo.

2 komentar pada “Masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas dan Kebudayaan Entas-Entas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: