Soemitro Kolopaking, Bupati Banjarnegara Tiga Zaman

Soemitro Kolopaking dan Istri Sumber: KITLV

Walau terletak di daerah pegunungan, Banjarnegara tidak tertinggal dalam aspek pemikiran. Di sini muncul tokoh-tokoh yang turut mewarnai pergerakan nasional Indonesia. Tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa Banjarnegara bersifat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan secara aktif berperan dalam pergerakan di tingkat lokal.

Tokoh penting yang berperan penting dalam dunia pergerakan di Banjarnegara adalah Soemitro Kolopaking. Soemitro memiliki posisi unik dalam pergerakan nasional. Ia lahir di Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887 dan berasal dari kalangan aristokrat. Ayahnya adalah salah satu Bupati Banjarnegara.

Di masa mudanya, Soemitro adalah aktivis pergerakan Perhimpunan Hindia yang menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia. Sebagai putra seorang bupati, Soemitro tidak terkungkung  oleh adat,  tetapi cenderung berpikiran   bebas  dan terbuka. Inilah pula yang kemudian menjadikan Soemitro sebagai tokoh penting yang berpengaruh terhadap keberlangsungan pergerakan di Banjarnegara. Menurut Poeze, ia tidak sependapat dengan keinginan ayahnya, sehingga ia memilih untuk masuk HBS di Batavia. Selepas itu, dalam usia 19 tahun ia mengelana ke Eropa dengan menjadi penumpang kelas empat. Untuk hidup sehari-hari, ia menjadi perawat domba dan menjadi buruh tambang di Jerman. Setelah tujuh tahun di Belanda, ia kembali dan pada tahun 1927 diangkat menjadi bupati Banjarnegara. Ketika di Belanda, Soemitro mengambil jurusan Indologie.  Saat menjadi mahasiswa, ia adalah pengurus pertama dari Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan pada 1908 atas dorongan dari Abendanon dan Casajangan.

Indische Vereeniging merupakan organisasi yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Hindia Belanda yang tengah studi di Belanda. Pada tahun 1908, jumlah mereka sudah mencapai 23 orang, sehingga terdoronglah motivasi untuk mendirikan suatu perhimpunan. Organisasi ini awalnya bertujuan meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda. Dalam organisasi itu, ia menjabat sebagai sekretaris. Pada saat menjadi sekretaris ia diminta oleh pengadilan lokal di Leiden untuk menjelaskan mengapa menggunakan istilah indier (orang Belanda), dan tidak menggunakan istilah inlanders (orang pribumi).

Sepulangnya dari Belanda pada 1914, Soemitro bekerja di pabrik teh dan kina Pandjang Estate di Pangrango, kemudian mengikuti pendidikan polisi di Batavia. Selepas itu, ia diangkat sebagai petugas polisi di Bandung pada 1919 dan kemudian menjadi Gewestelijk Leider der Veldpolitie untuk Keresidenan Priangan yang berkedudukan di Bandung pada 1922.

Di tahun yang sama, ia bergabung dalam vrijmetselarij (tarekat mason bebas) dan kembali ke Banyumas untuk menjadi wedana di Sumpiuh pada 1925-1927. Dalam tarekat mason bebas ia kemudian ditahbiskan sebagai Suhu Agung pertama Loge Agung Indonesia yang diresmikan pada 7 April 1955.

Sebagai seorang bupati, ia mengalami tiga periode penguasaan, yakni masa Hindia Belanda, masa Jepang, dan masa kemerdekaan. Di masa kepemimpinan Soemitro sebagai Bupati, Syarikat Islam berhasil menyelenggarakan beberapa event penting. Pada 1928 dilangsungkan kongres pertama SIAP, organiasi kepanduan milik Syarikat Islam. Kemudian pada 1934 diselenggarakan kongres nasional PSII yang menjadi kongres terakhir yang dihadiri oleh Tjokroaminoto. Di saat yang bersamaan ia dianggap sebagai tokoh yang berperan menjadikan Banjarnegara sebagai tempat yang ideal dalam perkembangan pergerakan. Bahkan, ia sering kali dianggap sebagai pendamai antara kelompok Syarikat Islam, kelompok Kiai Sadrach, dan masyarakat Cina Banjarnegara. Ia sering dianggap sebagai pengagum prinsip-prinsip Sadrach.

Di akhir pendudukan Jepang, dibentuklah Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Dalam organisasi itu Soemitro Kolopaking menjadi anggotanya dan aktif memberikan masukan untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia menyarankan agar proses kemerdekaan perlu diperjuangkan secepat mungkin. Dalam BPUPK, Soemitro Kolopaking bersama-sama Muhammad Hatta, Soepomo, Wongsonagoro, Radjiman Wediodiningrat, dan J. Latuharhary menjadi salah satu pendukung usaha pemisahan urusan keagamaan dan urusan negara.

Di masa kemerdekaan, Soemitro sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari hasil pemilihan umum 1955. Ia duduk sebagai anggota parlemen mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia dari daerah pemilihan Jawa Tengah.

Pengabdian dan ketokohannya dalam masyarakat mengantarkan Soemitro memperoleh Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 12 Agustus 1992 berdasar Keppres N0. 048/TK/tahun 1992. Sebelumnya ia juga memperoleh penghargaan Satyalancana Peringantan Perjuangan Kemerdekaan No Skep.228 tahun 1961 dan Satyalancana Karya Satya No. 228 tahun 1961.

*) Catatan: Tulisan ini adalah cuplikan dari salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh penulis berjudul Sejarah Syarikat Islam Banjarnegara dan kontribusinya di Bidang Pendidikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Beberapa referensi, catatan kaki, dan daftar pustaka sengaja untuk tidak dimunculkan dalam tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: