Recent Comments

    Archives

    PENGERTIAN DAN AZAS AZAS KEWARGANEGARAAN

    1. Pengertian Warganegara dan Kewarganegaraan

    Warganegara merupakan istilah yang lazim kita dengar dalam kehidupan keseharian di masyarakat. Arti istilah inipun mudah dipahami, karena kita masing-masing juga warganegara. Secara umum, warganegara dapat diartikan sebagai anggota negara. Anda adalah warganegara Indonesia, itu artinya Anda adalah anggota dari Negara Republik Indonesia.

    Sebagai anggota negara, warganegara memiliki kedudukan istimewa terhadap negaranya. Kedudukan istimewa warganegara ini dapat kita lihat dari kenyataan tiada satu pun negara yang tidak memiliki warganegara. Dengan kata lain setiap negara pasti memiliki warganegara.

    Warganegara adalah anggota negara, yaitu anggota dari suatu organisasi kekuasaan yang dinamai negara. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut warganegara adalah citizen, national, subject, onderdaan atau kaula. Istilah warganegara yang dipakai di Indonesia merupakan terjemahan dari istilah Belanda staatsburger. Dalam istilah bahasa Inggris disebut citizen, dan dalam istilah Perancis disebut citoyen. Istilah citizen dan citoyen tersebut secara harafiah artinya adalah warga kota. Itu berarti istilah tersebut dipengaruhi oleh konsep polis (negara kota) yang berkembang pada jaman Yunani Purba.

    Sebagai anggota negara maka kedudukan warganegara itu sangat penting dalam suatu negara. Warganegara adalah salah satu tiang dari negara, disamping dua tiang lainnya yaitu wilayah dan pemerintah negara. Karena warganegara merupakan salah satu tiang atau soko guru negara, maka warganegara akan sangat menentukan tegak berdirinya negara. Keberlangsungan dan kelestarian negara sangat ditentukan oleh peran orang-orang yang disebut warganegara. Bagi Negara Republik Indonesia, hal ini berarti tegak berdirinya, keberlanjutan, dan kelestarian Negara Indonesia tergantung dari peran Warganegara Indonesia (WNI).

    Mengingat betapa pentingnya warganegara bagi suatu negara, Aristoteles, mengartikan warganegara adalah orang yang secara aktif ikut ambil bagian dalam kegiatan hidup bernegara, yaitu orang yang bisa berperan sebagai “yang diperintah” dan orang yang bisa berperan sebagai “yang memerintah.” Demikian pula, Jean Jaques Rousseau, menganggap warganegara sebagai peserta aktif yang senantiasa mengupayakan kesatuan komunal, yang memiliki jiwa publik, yaitu partisipan dan penanggung jawab publik. Publik di sini diartikan sebagai keseluruhan warganegara atau rakyat yang aktif dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam hidup bersama sebagai bangsa yang menegara (nation state).

    Kedudukan warganegara yang sangat penting itu disadari betul oleh masyarakat internasional, sehingga dalam sebuah konvensi yang diselenggarakan di Montevideo tahun 1933, dinyatakan bahwa adanya warganegara (rakyat yang permanen) merupakan salah satu syarat bagi terbentuknya suatu negara. Secara lebih lengkap Pasal 1 Montevideo Convention 1933: On the Rights and Duties of State, menyatakan:

    Sebagai anggota suatu negara, seorang warganegara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya, dan sebaliknya negara juga mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warganegaranya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warganegara adalah orang yang menurut ketentuan hukum mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu (pokok) terhadap negaranya. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu (pokok) warganegara umumnya tertuang dalam konstitusi negara.

    Disamping istilah warganegara, juga dikenal istilah kewarganegaraan. Kewarganegaraan memiliki pengertian lebih luas dari warganegara. Kewarganegaraan memiliki pengertian tidak sebatas keanggotaan seseorang dari organisasi negara, tetapi meluas kepada hal-hal yang terkait dengan warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Pengertian kewarganegaraan dapat ditilik dari dua perspektif (sudut pandang), yaitu perspektif ide kewarganegaraan dan perspektif warganegara sebagai subjek politik. Pertama, ditilik dari perspektif ide kewarganegaraan, maka dapat dipilah pengertian kewarganegaraan menjadi enam, yaitu: (a) kewarganegaraan sebagai konstruksi legal (hukum); (b) kewarganegaraan diartikan sebagai posisi netralitas; (c) kewarganegaraan sebagai keterlibatan dalam kehidupan komunal (bersama, bermasyarakat); (d) kewarganegaraan dikaitkan dengan upaya pencegahan (amilioration) terhadap konflik-konflik berdasarkan perbedaan kelas; (e) kewarganegaraan sebagai upaya pemenuhan diri (self-sufficiency); dan (f) kewarganegaraan sebagai proses “hermeneutik” yang berupa dialog dengan tradisi, hukum, dan institusi.

    Gabungan pengertian kewarganegaraan antara c, d, dan f dapat dikembangkan untuk landasan pemikiran kewarganegaraan yang cocok dengan kondisi kita bangsa Indonesia. Sebagai gabungan tersebut akan melahirkan dasar pemikiran kewarganegaraan yang berdimensi:

    1. keterlibatan warganegara secara aktif dalam kehidupan komunitas;
    2. pemenuhan hak-hak dasar, yaitu hak politik, ekonomi, serta sosial dan kultural (budaya); dan
    3. dialog dan keberadaan ruang publik yang bebas, sehingga setiap warganegara dalam kebersamaan mereka dapat mengaktualisasikan diri secara bertanggung jawab.

    Dari ketiga dimensi tersebut, dikembangkan dikembangkanlah kerja-kerja pemberdayaan dan demokratisasi, yang sesuai dengan konteks kesejarahan (historis) dan kultural (kebudayaan) masyarakat Indonesia.

    Sedangkan gabungan pengertian a, b, dan e tidak begitu relevan dengan alasan sebagai berikut.

    1. Pemahaman a atau legalistik, kendati dapat menjamin kepastian hukum, tetapi berpotensi untuk melupakan mereka yang di luar jangkauan hukum karena sebab struktural, seperti kemiskinan, buta huruf, atau adanya praktik-praktik diskriminasi tersembunyi.
    2. Pemahaman b atau warganegara sebagai posisi netral, bahwa pemahaman ini menjadi landasan visi liberalisme ekstrem yang menafikan (menolak) campur tangan negara dalam kiprah warganegara.
    3. Pemahaman e atau upaya pemenuhan diri, memberikan peluang bagi intervensi negara secara berlebihan atas nama pemenuhan kebutuhan dan penyamarataan.

    Kedua,  pengertian kewarganegaraan ditilik dari prinsip warganegara sebagai subjek politik, akan melahirkan pemahaman kewarganegaraan yang berkaitan erat dengan sistem politik dan pemerintahan, nilai-nilai dan visi tentang keutamaan publik, serta hubungan yang harmonis dengan sesama anggota masyarakat (komunitas). Dilihat dari perspektif ini, maka dikenal konsep kewarganegaraan menurut: sistem politik liberal, sistem politik otoriter, penekanan pentingnya hak-hak dasar, dan dialektis.

    Konsep kewarganegaraan menurut sistem politik liberal, pada umumnya dimengerti dalam konteks (kaitan dengan) legal formal (hukum yang berlaku). Warganegara memahami dirinya sebagai pribadi-pribadi hukum dan pihak-pihak otonom dalam suatu ikatan yang berdaulat. Identitas sebagai warganegara muncul ketika berhadapan dengan pemerintah. Hubungan antarwarganegara sifatnya pribadi, bukan publik, sehingga nilai kebersamaan rendah.

    Dalam konsep kewarganegaraan menurut sistem politik otoriter, wacana (pembicaraan, pemahaman tentang) kewarganegaraan dimonopoli oleh negara, bahkan seringkali dipersempit mengikuti kemauan sang pemimpin. Dengan demikian, peran kontrol warganegara menjadi hilang. Begitu pula, masyarakat kehilangan keutamaan publik, karena hal itu telah dimonopoli oleh negara. Hak-hak individu menjadi hal yang asing.

    Konsep kewarganegaraan yang menekankan pada pentingnya hak-hak dasar, dimaksudkan bahwa hak-hak asasi manusia sebagai landasannya dan partisipasi aktif warganegara sebagai strategi artikulasinya. Menurut konsep ini partisipasi aktif warganegara sangat diperlukan untuk membentuk demokrasi yang kuar dan negara kesejahteraan. Hak-hak dasar yang diperjuangkan mencakupi hak sipil, hak politik, dan hak-hak kultural.

    Konsep kewarganegaraan dialektik yang non-legalistik, menekankan bahwa kewarganegaraan merupakan kesatuan ikatan dari anggota yang berbeda-beda dari suatu komunitas politik. Hubungan warganegara dengan pemerintah maupun sesama warganegara bersifat dialektif dan aktif berlandaskan kesadaran akan aktivitas yang sama. Dalam konsepsi yang demikian warganegara selalu berada di tengah-tengah peristiwa politik, bukan sebagai penonton atau “pemadam kebakaran.”

    Berdasarkan uaraian di atas, pengertian kewarganegaraan sangat bervariasi. Hal itu disebab oleh banyaknya perspektif yang dapat digunakan untuk memahaminya. Pengertian yang mana yang akan dipakai, akan sangat tergantung atau dipengaruhi oleh kesesuaian konsep itu dengan nilai-nilai kebaikan bersama (common good) dan sistem politik yang dianut oleh masyarakat atau negara yang bersangkutan.

     

    1. Warganegara dan Orang Asing

    Berdasarkan rumusan hak dan kewajiban warganegara Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD Negara RI 1945, kita dapat melihat warganegara Indonesia memiliki hak dan kewajiban di berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan pertahanan keamanan. Hak dan kewajiban semacam ini tidak dimiliki oleh orang-orang yang berstatus bukan warganegara atau orang asing. Misalnya, warganegara Indonesia memiliki kewajiban untuk membela negara Indonesia, tetapi orang asing tidak memiliki kewajiban membela negara Indonesia. Di sisi lain, setiap warganegara Indonesia memiliki hak untuk dilindungi oleh negara Indonesia dimanapun ia berada (termasuk di luar negeri), tetapi negara Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk melindungi orang asing sebagaimana perlindungan yang diberikan kepada warganegaranya.

    Berdasarkan uraian di atas, kita sekarang tahu bahwa ditinjau dari status kewarganegaraannya, keberadaan orang-orang dalam wilayah suatu negara dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu warganegara dan orang asing. Setiap orang yang bukan warganegara diperlakukan sebagai orang asing. Oleh karena itu, warganegara suatu negara ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mengingat setiap negara memiliki kedaulatan, maka dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi warga dari negaranya, setiap negara memiliki hak penuh dalam menentukan warganegaranya, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip umum hukum internasional. Prinsip-prinsip yang dimaksud itu antara lain negara tidak boleh menetapkan warganegaranya atas dasar kesamaan agama, bahasa, atau warna kulit.

    Ketentuan-ketentuan dasar terkait dengan warganegara Indonesia telah diatur di dalam UUD Negara RI 1945.  Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UUD Negara RI 1945 dapat diketahui: (1) penduduk negara Indonesia terdiri dari warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat kedudukan di Indonesia, (2) warganegara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara, dan (3) pengaturan lebih lanjut tentang kewarganegaraan itu diatur dengan undang-undang.

    Tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, UUD Negara RI 1945 tidak memberikan keterangan lebih lanjut. Sebagian keterangan tentang hal ini, yakni siapa yang dimaksud dengan orang-orang bangsa lain, dapat kita lacak dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen). Di dalam Penjelasan Pasal 26 dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warganegara. Tetapi keterangan tentang siapa yang dimaksud dengan orang bangsa Indonesia asli tidak dijelaskan di dalamnya.

    Dalam sejarah Indonesia pernah ada penafsiran yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang pribumi, bukan keturunan orang asing, bukan orang yang lahir karena perkawinan campuran (salah satu orang tua berkewarganegaraan asing). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, keterangan tentang siapa yang dimaksud dengan orang bangsa Indonesia asli telah kita ketahui. Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

    Berdasarkan ketentuan yang ada dalam UUD Negara RI 1945, terbuka kemungkinan bagi orang asing untuk menjadi warganegara Indonesia. Tentang bagaimana caranya dan apa saja yang menjadi syaratnya, UUD Negara RI 1945 tidak mengaturnya. UUD Negara RI menyerahkan pengaturan hal tersebut kepada produk perundangan di bawahnya yakni undang-undang.

    Undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan yang sekarang berlaku adalah Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia adalah Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan pasal 18 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958. Sebelum lahirnya Undang-undang 62/1958, undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946.

    Di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006, sesungguhnya banyak cara yang dapat dipergunakan oleh orang asing untuk menjadi warganegara Indonesia. Cara-cara yang dimaksudkan antara lain, cara kelahiran berdasarkan daerah lahir, cara pengangkatan, cara perkawinan, turut ayah/ibu, cara pewarganegaraan, turut istri atau suami, cara berjasa kepada negara RI atau dengan alasan kepentingan negara, dan cara kembali asal.

    Dari sejumlah cara memperoleh kewarganegaraan RI, cara pewarganegaraan merupakan cara yang diatur lebih rinci dibandingkan dengan cara-cara lainnya. Pasal yang mengaturnya jumlahnya paling banyak dibandingkan dengan pasal yang mengatur cara-cara lainnya. Hal ini dikarenakan cara pewarganegaraan dapat dipergunakan oleh orang asing secara umum.

    Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui permohonan. Pasal 9 Undang-Undang 12/2006 menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan permohonan pewarganegaraan. Proses pewarganegaraan ini cukup panjang, sejak saat seseorang mengajukan permohonan sampai dengan pengambilan sumpah kesetiaan di Pengadilan Negeri.

     

    Status kewarganegaraan seseorang tidak bersifat permanen, demikian juga dengan status sebagai warganegara Indonesia bisa berubah. Artinya seseorang yang semula sebagai warganegara Indonesia dapat kehilangan status kewarganegaraannya, sehingga menjadi orang asing (warganegara lain).

    Seseorang yang telah menjadi WNI dapat saja sewaktu-waktu kehilangan kewarganegaraan RI. Seseorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraan RI karena ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa penyebab kehilangan kewrganegaraan RI diatur dalam pasal 23 s/d 29 UU Nomor 12/2006 berikut ini.

    1. Pentingnya Kedudukan (Status) Kewarganegaraan

    Di bagian sebelumnya telah disinggung tentang perbedaan hak dan kewajiban antara warganegara dan bukan waraganegara (orang asing). Hal itu membuktikan bahwa status kewarganegaraan seseorang sangatlah penting dan menentukan. Pentingnya status kewarganegaraan itu dapat dilihat dari perspektif hukum perdata internasional dan hukum publik.

    Dalam hukum perdata internasional dikenal asas “nationaliteits principe” (asas kewarganegaraan). Menurut asas ini, hukum seseorang warganegara mengenai “status, hak-hak, dan kewenangannya” tetap melekat padanya di mana pun ia berada. Ini berarti, apabila yang bersangkutan merantau ke luar negeri, maka hukum yang berlaku baginya tetap hukum nasionalnya. Misalnya Anda ke luar negeri dan di sana terjadi peristiwa hukum, maka hukum yang berlaku terhadap Anda adalah hukum Indonesia.

    Umumnya yang termasuk dalam “status, hak-hak, dan kewenangannya” tersebut ialah hukum yang menjadi bagian dari hukum “kekeluargaan”, seperti: hubungan anak dengan orang tua, kedudukan anak di bawah umur, perwalian, izin menikah, dan kedudukan dalam perkawinan. Contohnya, seorang warganegara Indonesia yang melangsungkan pernikahan di Malaysia, maka tetap diberlakukan hukum perkawinan Indonesia.

    Namun demikian, tidak semua negara menganut asas kewarganegaraan. Ada negara yang menganut asas domisili (domicillie begensil). Menurut asas domisili semua orang yang berada di negara yang bersangkutan akan dikenakan hukum yang berlaku di negara tersebut. Negara RI menganut asas kewarganegaraan.

    Dilihat dari perspektif hukum publik, hubungan antara negara dan perorangan lebih memperjelas pentingnya status kewarganegaraan seseorang. Seorang yang berstatus warganegara dengan seseorang yang berstatus warga asing membawa konsekuensi yang sangat nyata dan besar dalam kehidupan publik. Misalnya, bagi orang asing tidak boleh ikut campur dalam politik dalam negeri, perlu dilakukan pengawasan, jika perlu diusir, pembatasan dalam usaha di bidang ekonomi, dan sebagainya. Kesemua itu tidak diberlakukan terhadap warganegara.

    Status warganegara dapat dibedakan menjadi empat, yaitu status positif, status negatif, status pasif, dan status aktif.

    1. Status positif, dimaksudkan bahwa setiap warganegara berhak memperoleh sesuatu yang bersifat positif dari negara, terutama yang berhubungan dengan upaya memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Negara tidak boleh pasif, tetapi harus aktif mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan warganegaranya. Kewajiban negara ini merupakan konsekuensi karena tujuan negara antara lain untuk mewujudkan kesejahteraan serta keamanan ke dalam dan ke luar. Kewajiban ini juga konsekuensi pemerintah sebagai pelaksana tugas-tugas negara, diantaranya terkait dengan fungsi pelayanan publik. Contohnya, warganegara meminta kepada pemerintah melakukan pengaspalan jalan untuk memperlancar transportasi. Warganegara meminta pengadaan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), karena di desanya belum ada puskesmas, sedangkan jika ke rumah sakit memerlukan waktu yang lama dan jarak yang jauh.
    2. Status negatif, maksudnya warganegara berhak untuk menolak atau tidak dicampuri oleh negara dalam hal-hal tertentu, terutama menyangkut hak-hak pribadi (private rights), Misalnya, dalam hal memilih agama, pasangan hidup, memilih dalam pemilu, serta memilih pendidikan dan pekerjaan. Status negatif merupakan status terpenting dalam negara yang menganut sistem politik liberal.
    3. Status pasif, diartikan sebagai kepatuhan warganegara kepada pemerintah dan peraturan yang berlaku (hukum) yang bersumber pada keadilan dan kebenaran. Contohnya, mematuhi peraturan lalu lintas, tidak main hakim sendiri ketika melihat orang yang sedang melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran hukum, dan membayar pajak. Status pasif sangat penting agar organisasi negara dapat berjalan.
    4. Status aktif, adalah keterlibatan secara aktif warganegara dalam organisasi negara. Status aktif pada prinsipnya merupakan partisipasi warganegara, terutama dalam proses politik, seperti ikut aktif dalam kegiatan pemilu, dan aktif mempengaruhi pembuatan kebijakan politik (publik).

     

     

    1. Asas dan Stelsel Kewarganegaraan

    Dalam menentukan siapa-siapa yang akan menjadi warga negara dari suatu negara, sepenuhnya merupakan hak dan kewenangan dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara berdaulat untuk menentukan siapa warga negara dan siapa bukan warga negara. Dalam nenetapkan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya dapat dikatakan tidak terdapat pembatasan yang berarti. Namun demikian, menjadi sebuah kelaziman bahwa dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya, negara memperhatikan general principle di lapangan hukum internasional yang berkenaan dengan kewarganegaraan. Misalnya, suatu negara dalam nentukan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya tidak dapat menarik didalmnya orang-orang yang sama sekali tidak ada kewajaran hubungan sedikitpun dengan negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Negara Republik Indonesia bebas menentukan siapa yang menjadi warga negaranya, tetapi tidak dapat menetapkan misalnya orang-orang yang hidup di kutub utara atau kutub selatan sebagai warga negaranya, oleh karena secara geografis Indonesia terletak di garis katulistiwa.

    Atas dasar pertimbangan di atas, maka dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara dari suatu negara secara umum awalnya digunakan 2 asas yang dipergunakan  sebagai dasar dalam menentukan termasuk tidaknya sesaeorang dalam golongan warga negara. Dua asas yang dimaksud adalah:

    1. Asas keturunan (Asas Ius Sanguinis), dan
    2. Asas daerah kelahiran (Asas Ius Soli).

    Menurut asas ius sanguinis, kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian, yang menentukan kewarganegaraan seseorang adalah kewarganegaraan orang tuanya. Dalm hal ini, tidak perlu mengindahkan di mana ia dan orang tuanya dilahirkan dan berada. Sebagai contoh, seseorang (X) yang dilahirkan dari orang tua berkewarganegaraan A, tetapi ia lahir di negara B, maka secara otomatis (X) mendapatkan kewarganegaraan orang tuanya, yaitu kewarganegaraan A.

    Menurut asas ius soli, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh daerah atau negara tempat ia dilahirkan, tanpa mengindahkan siapa orang tuanya dan kewarganegaraan apa yang dimiliki oleh orang tuanya tersebut. Contoh, seseorang (Y) lahir di negara K, dari orang tua berkewarganegaraan L, maka Y memiliki kewarganegaraan K, negara tempat ia dilahirkan.

    Dalam perkembangannya, kedua asas kewarganegaraan tersebut tidak berdiri secara tunggal tetapi telah dikombinasikan dengan stelsel kewarganegaraan. Stelsel kewarganegaraan merupakan cara untuk memperoleh kewarganegaraan, yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni stelsel aktif dan stelsel pasif. Dalam stelsel aktif, untuk mendapatkan kewarganegaraan seseorang harus melakukan perbuatan hukum tertentu. Stelsel aktif ini berkaitan erat dengan hak kewargnegaraan yang disebut dengan hak opsi. Hak opsi adalah hak untuk memilih kewarganegaraan yang disukai. Berbeda dengan stelsel aktif, dalam stelsel pasif, seseorang dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa aktif melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Stelsel pasif ini berkaitan erat dengan hak kewarganegaraan yang disebut dengan hak repudiasi. Hak repudiasi adalah hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan.

    Dalam kenyataannya, penetuan asas kewarganegaraan yang digunakan oleh satu negara tidak selalu sama dengan negara lainnya. Ada negara yang memilih dan menggunakan asas ius sanguinis, tetapi ada juga yang memilih dan menggunakan asas ius soli. Kenyataan semacam ini dapat menimbulkan kemungkinan munculnya apatride (tanpa kewarganegaraan, stateless) dan bipatride (berkewarganegaraan rangka/ ganda). Apatride dapat terjadi apabila seseorang (X) keturunan dari Y yang berkewarganegaraan A, tetapi lahir di  negara B. Negara A menggunakan asas ius soli, sedangkan negara  B menggunakan asas ius sanguinis. Akibatnya X dengan dasar ius sanguinis tidak mendapatkan kewarganegaraan (karena negara orang tuanya menggunakjan asas ius soli), dan demikian juga dengan asas ius soli ia tidak mendapatkan kewarganegaraan (karena negara tempat ia dilahirkan menggunakan asas ius sanguinis). Bipatride terjadi apabila apabila seseorang (X) keturunan dari Y yang berkewarganegaraan A, tetapi lahir di  negara B. Negara A menggunakan asas ius sanguinis, sedangkan negara  B menggunakan asas ius soli. Akibatnya X dengan dasar ius sanguinis mendapatkan kewarganegaraan (karena negara orang tuanya menggunakan asas ius sanguinis), dan demikian juga dengan asas ius soli ia juga mendapatkan kewarganegaraan (karena negara tempat ia dilahirkan menggunakan asas ius soli).

    Timbulnya kemungkinan seseorang menjadi apatride atau bipatride merupakan konsekuensi logis dari prinsip kebebasan negara dalam menentukan warga negaranya. Negara bebas dalam menentukan asas-asas manakah yang digunakan dalam menentukan warga negaranya. Oleh karena itu keberadaan ketentuan yang tegas dan pasti mengenai kewarganegaraan sangat penting, untuk memberikan kepastian hukum kepada warga negara.

    Kepastian hukum mengenai kewarganegraan juga penting artinya untuk membedakan hak dan kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara. Pada kasus negara Indonesia misalnya, ketegasan ini dapat dilihat dalam undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Asas utama yang dipakai oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah asas ius sanguinis, sedangkan asas ius soli digunakan secara komplementatif semata-mata untuk menghindari timbulnya apatride  dan bipatride. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, telah ada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Undang-undang ini menggunakan asas ius soli sebagai asas utama. Salah satu akibat pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 adalah munculnya masalah dwi kewarganegaraan di kalangan orang-orang Cina di Indonesia. Hal ini terjadi karena di satu sisi Indonesia memberlakukan asas ius soli, dan di sisi lain RRC menggunakan asas ius sanguinis. Orang Cina yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia dan sekaligus juga warga negara RRC. Untuk menyelesaikan masalah dwi kewarganegaraan tersebut, Pemerintah Indonesia dan RRC telah mengadakan perjanjian penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan, yang di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tentang Penyelesaian Masalah Dwi Kewarganegaraan antara RI dan RRC. Dalam perkembangannya, akibat peristiwa G 30 S/PKI penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan ini akhirnya tidak tuntas dan masih menyisakan persoalan-persoalan hingga sekarang ini.