Archives

PETER BERGER : Pembentukan Realitas Secara Sosial : Sintesa Strukturalisme dan interaksionisme

Teori-teori humanistis, yang sampai saat ini di ketengahkan, sebaliknya cenderung menganggap individu yang berinteraksi sebagai alat analisa yang tepat, walau demikian, sosiologi interpretative tidak mesti terbatas pasa masalah-masalah sosial psikologis, seperti ditunjukkan oleh sintesa pendekatan interaksionisme dan strukturalisme Berger.

Seperti halnya Garfinkel, Berger juga adalah anak didik dari Alfred Schutz, dari perkuliahan  mengenai konstruksi realitas secara sosial. Pengaruh Schutz mendorong Garfinkel pada eksperimen lapangan etnometodologis dan menolak cara-cara yang sudah popular dalam sosiologi. Sedangkan pengaruh Schutz bagi Berger adalah mampu mengembangkan model teoritis mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk. Menurut Berger, realitas sosial secara eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis dunia sosial tergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara obyektif memang ada ( Durkheim dan perspektif fungsionalis) tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subyektif ( individu ) dengan dunia obyektif ( suatu perspektif yang dianut Mead dan para pengikut interaksinonis simbolis terutama Blumer).

Masalah sosiologi yang rumit seperti , tak hanya meniti di antara psikologi sosial dan sosiologi yang berorientasi pada struktural, tetapi uga harus membuat imbangan antara kemandulan tanpa nilai dan propaganda. Berger (1977:vii) menunjukkan 2 cara untuk menghindari kesulitan dalam penerapan sosiologi :

Pertama, memisahkan pemahaman sosiologis dari seluruh masalah nilai, pada titik dimana para sosiolog mencoba menjadi seorang pengamat yang bebas nilai, atau sebaliknya terikat pada nilai-nilainya sendiri tanpa referensi sama sekali pada ‘insight’ sosiologis. Hal ini merupakan Dehumanisasi ( individuu yang tidak hanya melakukan kegiatan intelektual saja, karena itu menjadi bebas nilai) , atau merupakan suatu penyerahan pada irrasionalitas ( individu yang sangat berpegang pada niai-nilai dunia pemikiran yang tidak bisa di tembus dengan argument yang sehat).

Kedua, menolak ide pemahaman bebas-nilai, menyatakan hal itu tidak mungkin atau tidak diinginkan. Penolakan yang demikian selanjutnya akan mebiarkan individu menafsirkan dunia sosial sesuai prioritas nilainya sendiri atau sesuai keinginannya sendiri.

 

Berger yakin bahwa “menjadi seorang sosiolog tidak berarti harus menjadi pengamat mati-rasa atau propagandis”. Dalam karya Berger terlihat usaha untuk menjembatani makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionais dan strukturalis , mauun teoritis dan relevan. Dia yakin sudah berada di pertengahan masalah sosiologi yang rumit itu, yang mencoba menganalisa bagaimana realitas sosial terbentuk.

KONTRUKSI REALITAS SECARA SOSIAL

The Social Construction Of Reality (1966) adalah risalat teori utamanya yang di tulis bersama dengan seorang sosiolog jerman, Thomas Luckmann. Berger dan Luckmann meringkas teori mereka dengan menyatakan “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu pengetahuan ( Sociology of Knowledge ) harus menganalisa bagaimana hal itu terjadi. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai “Kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada di luar kemauan kita (Karena ia tidak dapat di enyahkan)”.

Menurut berger dan Luckmann kita semua mencari pengetahuan atau “Kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus” dalam kehidupan sehari –hari. Sosiologi terlibat dalam pencarian “pengetahuan” dan “realitas” yang lebih khusus, yang berada di tengah-tengah antara orang awan dan para filosof. Orang awam mengatahui realitasnya tanpa bersusah payah menggunakan analisa sistematis. Sedangkan para filosof di paksa untuk mengetahui apakah pengetahuan itu valid atau tidak. Kepada para sosiolog , pertanyaan haruslah terpusat pada soal bagaimana realitas sosial terjadi, terlepas apapun validitasnya.

Berger setuju dengan pernyataan fenomenologis bahwa terdapat realitas berganda daripada hanya satu realitas tunggal ­­– ( Etnometodologi menekankan perbedaan 2 realitas ; realitas sehari-hari yang diterima tanpa dipertanyakan atau Common Sense dan realitas ilmiah). Berger bersama dengan Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari yang di abaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Namun Berger lebih menegaskan realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses Eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses  internalisasi ( yang mencerminkan realitas subyektif. Dalam mode yang dialektis terdapat tesa, anti tesa, dan sintesa. Berger melihat manusia sebagai produk masyrakat dan masyrakat sebagai produk manusia.

 

Manusia Sebagai Realitas Obyektif

Sejalan dengan Durkheim ( Fungsionalisme struktural), Berger telah mengakui eksistensi realitas sosial obyektif yang dapat dilihat dalam hubungan dengan lembaga-lembaga sosial. Akan tetapi aturan sosial ini bukan merupakan “produk kegiatan manusia” (Berger dan Luckmann, 1966:52). Berger sependapat dengan Durkheim yang melihat struktur sosial yang obyektif memiliki karakter tersendiri, namun asal mulanya harus diihat sehubungan dengan eksternalisasi manusia atau interaksi yang sudah ada. Sebaliknya realitas obyektif yang terbentuk melalui eksternalisasi kembali membentuk manusia dalam masyarakat. Proses dialektika ini merupakan proses yang berjalan terus, dimana internalisasi dan eksternalisasi menjadi “momen” dalam sejarah. Sebagai elemen ketiga adalah proses internalisasi atau sosialisasi ke individu ke dalam dunia sosial obyektif ( Berger and Luckman,1966:61). Ketiga elemen ini bergerak secara dialektis. Hukum dasar yang mengendalikan dunia sosial obyektif ialah keteraturan. Berger menegaskan bahwa sosiologi menjurus pada pandangan yang melihat keteraturan merupakan prasayarat primer kehidupan sosial dan masyarakat dalam esensinya sendiri, merupakan tertib yang semestinya ada atas serangkaian pengalaman-pengalaman manusia yang berubah-ubah. Berger mengakui bahwa keteraturan sosial ini sulit, tetapi dalam mode kaum fungsionalis , dia melihat lembaga-lembaga sosial condong kearah keseimbangan.

Kemudian Berger dan Luckman berbicara tentang Konseptualisasi peranan sebagai mata rantai organism manusia dan struktur sosial juga mirip dengan rumusan fungsionalis structural. Struktur sosial terdiri dari peranan perilaku yang terpola atau memiliki lambing atau melambangkan timbal balik. Walaupun individu tidak identik dengan sebuah peranan tertentu tetapi dia tetap menjalankan kegiatan yang sesuai dengan ukuran perannya tersebut. Tipologi peranan-peranan itu merupakan hubungan yang diperlukan bagi institusionalisasi kelakuan”. Dengan demikian, peranan dapat dikatakan sebagai unit dasar aturan terlembaga yang obyektif.

Akan tetapi berbeda dengan kaum fungsionalis, Berger dam Luckman menekankan proses yang pararel dengan struktur. Sebenarnya masyarakat tidak pernah menjadi suatu produk akhir dari tetapi sebagai proses yang terbentuk. Dengan demikian obyektifitas merancang suatu proses dimana dunia sosial akan menjadi suatu realitas yang mampu menghambat dan juga membentuk para partisipannya.

 

Masyarakat Sebagai Realitas Subyektif

Para sosiolog interpretative menggugah kesadaran kita terhadap arti penting dunia subyektif manusia. Blummer, Goffman dan garfinkel menekankan realitas subyektif berada di atas struktur obyektif. Berger member tekanan yang sama pada dunia subyektif. Dalam proses pembentukan realitas itu obyektivikasi hanya merupakan salah satu “momen”. Dua momen lain yaitu, internalisasi dan eksternalisasi merupakan usaha mensintesakan kedua perspektif itu.

Melalui proses internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi anggota suatu masyrakat. Dalam tradisi psikologi sosial Berger dan Luckman menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu di masa kecil, di saat seorang anak di perkenalkan pada dunia sosial obyektif. Individu berhadapan dengan orang-orang lain yang cukup berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua). Batasan realitas dari orang lain yang cukup berpengaruh itu di anggap oleh anak sebagai realitas obyektif. Karena realitas yang ada tidak mungkin diserap sempurna oleh anak, maka si anak akan menginternalisir penafsirannya terhadap realitas tersebut. Setiap orang memiliki versi realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia obyektif. Kkelas, suku , agama dan variable lain dapat bertindak sebagai indicator realitas obyektif, tetapi setiap anak tidak mungkin disosialisir dengan cara yang persis sama.

Eksternalisasi merupakan proses dimana semua manusia yang mengalami sosialisasi tidak sempurna  yang secara bersama-sama membentuk suatu realitas baru. Perubahan yang demikian berjalan lambat namun pasti. Seperti artikel popular Berger yang bertema “modernitas” dapat dipakai untuk menunjukkan proses eksternalisasi. Modernitas (1977:70) mengacu pada transformasi-transformasi dunia yang disebabkan oleh inovasi-inovasi teknologis beberapa Negara, dengan dimensi ekonomi,sosial dan politiknya. Modernitas juga membawa perubahan pada derajad kesadaran manusia khususnya pada nilai-nilai kepercayaan, dan bahkan jaringan emosional kehidupan. Proses internalisasi yang lamban itu menjadi makin sulit dan kurang diinginkan, karena realitas baru yang saling berkaitan dengan teknologi-teknologi modern mulai di internalisir atau di bentuk.

Sebagai contoh sederhana, di seluruh dunia pola perkawinan dan pertunangan sedang mengalami perubahan sejalan dengan kemajuan modernisasi. Dalam masyarakat industri terlihat besarnya penurunan anggota keluarga, hilangnya sistem perjodohan, masing-masing pasangan memilih tempat tinggal yang terpisah dengan lingkungan orangtua, emansipasi wanita, dan perubahan norma-norma yang mengatur segala tata cara perceraian. Semua perubahan dalam norma-norma structural ini secara perlahan mengarahkan lembaga perkawinan, dimana para anggota masyarakat bersama-sama membentuk batasan realitas sosial yang baru.

 

THE SACRED CANOPY : PENERAPAN MODEL TEORITIS BERGER

Dalam buku The Sacred Canopy : Elements of a Sociological Theory of Religion ( 1967), Beerger kembali mengulas skema dialektis teoritis mengenai eksternaisasi,obyektivikasi, dan internalisasi. Berger menegaskan kenyataan bahwa invidu merupakan produk sekaligus pencipta pranata sosial. Agama sebagai pranata sosial, tunduk pada proses yang juga dialami pranata sosial lainnya.  Dengan kata lain, Agama diciptkan untuk manusi, agama mengembangkan realitas obyekti, dan dalam dunia modern ini agama terus melanda dan dilanda manusia. Menurut Berger, membahas masyarakat sebagai usaha membangun dunia sperti yang dilakukannya, sama dengan aktivitas yang dikatannya sebagai nomizing.

Nomos adalah lawan dari anomie (suatu keadaan tanpa norma) . Bilamana anomie merupakan ambruknya aturan sosial, maka nomos merupakan keteraturan dan ketentuan-ketentuan normatifnya. Terdapat nomos atau makna bersama bagi masyarakat yang lebih luas dimana individu berpartisipasi, tetapi disamping itu juga terdapat makna-makna subyektif atau individual.

Di samping nomos terdapat juga kosmos. Kosmos mentransendentir realitas sehari-hari, bergerak dalam dunia luar verifikasi obyektif. Kosmos inilah yang menempatkan agama sebagai usaha manusia dengan mana kosmos itu di tetapkan. Dalam dunia modern, kita melihat kosmization keagamaan berada di sepanjang kosmization sekular. Berger menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui usaha yang sekular pada kosmization.

Dalam kaitannya dengan konstruksi realitas secara sosial, agama adalah sumber legitimasi yang paling efektif dan meluas. Berger menegaskan bahwa dalam konstruksi ralitas secara sosial agama dapat dikatakan melayani 2 tujuan penting: (1) ia menyediakan nomos atau makna dari realitas, dan (2) dia mengesahkan realitas itu.

Dengan menggunakan teori dialektis, Berger menjajaki lahirnya sekularisasi dan menunjukkan efeknya terhadap agama. Berger menekankan agama yang telah membantu membentuk realitas manusia sehari-hari tetapi kekuatan-kekuatan itu (dalam bentuk kemampuan manusia untuk mengeksternalisir dan mengubah realitas hidup dan memodifikasi agama)

Keseluruhan danuia obyektif yang di terima oleh manusi mencakup aspek-aspek yang sakral (oleh kepercayaan keagamaan) dan sekuler (yang di ungkapkan oleh kepercayaan ilmiah).

Sejak diinternalisir oleh manusia modern, maka bentuk agama itu tidak sama lagi dengan yang di internalisir oleh nenek moyang kita jaman dahulu. Perubahan dalam dunia modern yang disertai perubahan dalam penerimaan realitas keagamaan secara subyektif segera melahirkan perubahan obyektif dalam lembaga agama. Manusia mmengeksternalisir dan mewujudkan perubahan dalam obyektivikasi realitas keagamaan.

 

PENERAPAN TEORI BERGER DALAM DUNIA PERKAWINAN

Berger menekankan bahwa model teoritisnya tidak hanya analisa secara makro serta pranata sosial yang besar, tetapi juga bagi analisa kelompok-kelompok kecil. Bersama dengan Kellner (1970) ia menciba menerapkan model konstruksi realitas secara sosial pada kelompok kecil yang terdiri dari 2 orang, yaitu perkawinan. Karrena sudah tentu bahwa kelompok kecil yang intim seperti pasangan membiarkan individu untu “menginternalisir dirinya dalam realitas perkawinan dan berusaha membuat suatu dunia di mana mereka bisa merasa betah” (Berger dan Kellner, 2970:56).

Ketika dalam sebuah pernikahan, setiap orang harus mencoba menghubungkan realitasnya dengan realitas orang lain. Dibutuhkan partner dalam sebuah pernikahan. Dengan demikian realitas obyektif perkawinan dan pembentukan sebuah keluarga baru adalah produk disposisi subyektif dari kedua mempelai terbeut; realitas obyektif ini juga kembali melanda pasangan tersebut dan mempengaruhi realitas subyektif mereka masing-masing. Misalnya, sebuah perkawinan bisa berarti hilangnya persahabatan lama yang dibina ketika belum menikah. Sebab sekarang persahabatan baru dimiliki bersama. Berbagai perubahan yang sama dapat terjadi dalam selera makanan, kegiatan rekreasi, pilihan dekorasi dan lain-lain. Hal ini merupakan suatu proses perlahan-lahan yang terjadi selama pernikahan.

Percakapan atau perbbincangan isu-isu tertentu merupakan peralatan penting dimana pandanga tentang dunia yang baru dalam pernikahan itu diciptakan. Setiap partner menyumbangkan pandangan realitas subyektif yang di ungkapkannya dalam pembicaraan. Penentuan tentang selera, gaya susunan mebel sampai dengan jumlah anak yang diinginkan segera menjadi realitas obyektif yang kemudian kembali melanda pasangan mempelai tersebut.  Misalnya ketika seorang gadis sebelum menikah tidak tertarik dengan barang antik,musik jazz atau musick klasik tapi karena pengaruh suami akhirnya juga ikut menyukai hal-hal tadi, dan sebaliknya suami juga bisa terpengaruh pada selera istrinya. Sehingga dua biografi yang berbeda tertuang dalam sebuah percakapan, dan terjadilah redefinisi baru dalam realitas pernikahan yang dimiliki bersama itu.

Berger dan Kellner menekankan bahwa rekonstruksi realitas dalam sebuah perkawinan bukan merupakan peristiwa yang direncanakan. Hal ini hampir terjadi dengan sendirinya saat kedua mempelai sama- sama menemukan diri dan dunia perkawinan. Realitas-realitas subyektif mereka saling dikaitkan  sehingga menghasilkan realitas obyektif dan kemudian melanda kembali si penciptanya. Berger dan Kellner (1970:67) menyatakan. “perkawinan tak hanya menyangkut langkah peranan baru. Penyesuaian timbal-balik kembali dapat dihubungkan dengan lahirnya paham kesamaan dalam perkawinan, dimana di tuntut usaha yang siembang dari kedua belah pihak”.

Individu-individu tidak hanya melangkah kedalam peranan yang sebelumnya sudah ada pada keluarga. Terdapat beberapa norma-norma sosial yang seccara umum diterima dan membimbing perilaku mereka masing-masing (misalnya, tinggal bersama, mungkin punya anak, menjaga hubungan kekeluargaan,berteman) tetapi realitas yang dimiliki berasama tersebut banyak yang merupakan citaan mereka sendiri. Realitas ini dapat dianggap obyektif dan kembali tak hanya melanda pasangan yang menciptakannya tetapi juga teman-teman dan anak-anak mereka.

 

Referensi :

Poloma, Margaret M, 1979. Contemporary Sociological Theory. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah YASOGAMA. Jakarta : Rajawali Pers.

1 comment to PETER BERGER : Pembentukan Realitas Secara Sosial : Sintesa Strukturalisme dan interaksionisme

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: