Pemukiman para nelayan di Desa Bulu adalah berkelompok dan sejajar dengan pantai, rumah-rumah mereka sangat dekat dengan pantai. Di sana semuanya bermata pencaharian sebagai seorang nelayan ikan. Meskipun semuanya para nelayan tetapi di sana tidak ada kumpulan untuk para nelayan, ketua RT hanya menangani untuk kematian saja karena rumah-rumah di sana sedikit sehingga adanya RT tidak begitu penting. Tanah kepemilikan di sana bukan hak milik pribadi tetapi tanah tersebut milik pemerintah, mereka boleh tinggal disana tanpa di gusur dengan suatu syarat yang mana syarat tersebut untuk kepentingan pribadi politik sebuah partai, yaitu partai Golkar. Partai Golkar menekankan pada masyarakat di sana untuk memilih partainya pada saat pemilu. Pada tahun sekitar 2000an saat adanya pemilu partai Golkar menang dan saat itulah para warga disana tidak ada rasa cemas untuk di gusur karena dari pihak partai sudah menjanjikan tempat tinggal mereka.
Bapak Sukirno adalah salah satu nelayan di Desa Bulu Jepara, beliau bekerja sebagai seorang nelayan ikan sejak umur 12-61tahun, sehingga lebih banyak mengetahui dan berpengalaman sebagai seorang nelayan apalagi bapak Sukirno adalah bekas tekong (nahkoda kapal). Pekerjaan sebagai seorang nelayan itu sendiri turun temurun dari kakeknya, sehingga apabila orangtua yang bekerja sebagai nelayan maka kebanyakan anaknya juga akan bekerja sebagai nelayan juga. Bapak Sukirno bukan penduduk asli dari Desa Bulu, beliau asli dari Lamongan tetapi sudah hampir 20 tahun beliau sudah tinggal dan menetap di Desa Bulu bersama istri dan keenam anaknya. Bapak Sukirno tidak mengenyam pendidikan sehingga tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf), namun beliau berusaha agar anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan agar bisa membaca dan menulis.
Bapak Sukirno melakukan aktivitas melaut dari jam 1 pagi atau jam 3 pagi sampai dengan jam 4 sore, beliau di bantu anaknya yang sudah tidak sekolah dan kadang di bantu anaknya yang lain apabila anaknya sedang libur sekolah. Untuk melakukan aktivitas melaut para nelayan menggunakan kapal sebagai alat transportasinya. Mereka menggunakan kapal dengan kepemilikan pribadi, kebanyakan para nelayan mempunyai kapal pribadi. Bagi mereka yang tidak mempunyai kapal pribadi, mereka meminjam kapal kepada orang yang memiliki kapal lebih, dan hasil yang di peroleh dari melaut akan di bagi hasilnya sama rata dengan pemilik kapal tersebut.
Kapal pribadi itu sendiri di dapat oleh para nelayan dengan harga yang bervariasi, untuk kapal yang kecil harga seimbangnya adalah 15-25juta dengan fasilitas perahu, jaring dan mesin. Untuk kapal kecil yang bagus dan fasilitas yang lengkap harganya bisa mencapai 40juta. Kapal di bedakan menjadi dua, yaitu kapal kecil (mini) dan kapal besar. Untuk kapal kecil sendiri ukuranya adalah panjang 7 meter dan lebar 2,7 meter yang dapat menampung ikan sebanyak kurang lebih 3 kwintal dan kapal besar dengan ukuran panjang 14 meter dan lebar 6 meter dapat menampung ikan sebanyak kurang lebih 10-15 ton.Bila menangkap dengan kapal besar menggunakan payang (jaring) dengan lebar 300meter dimana penggunaan jaring tersebut secara melingkar, sedangkan bila menggunakan kapal kecil payang (jaring) yang di gunakan dengan lebar 1000meter yang penggunaanya secara sejajar. Para nelayan mendapatkan jaring tersebut di toko dengan harga 300ribu. Nelayan dengan kapal kecil biasanya melakukan aktivitas melaut mulai dari jam 4 sore sampai dengan subuh.
Peralatan yang ada di dalam kapal untuk melaut terdapat tong untuk tempat hasil tangkapan ikan, terdapat jaring, jangkar, penerangan dan 2 mesin. Kapal menggunakan bahan bakar solar, untuk pulang dan pergi melaut para nelayan menghabiskan 10liter solar. Solar di dapatkan dari pom dengan harga 5.500 perliter. Apabila harga solar naik, para nelayan merasa sangat keberatan karena akan menambah beban hidup mereka.
Untuk keseharian istrinya selain mengurus anak-anaknya juga berjualan ikan di pasar guna menambah dan memenuhi kebutuhan hidup. Ikan yang di peroleh adalah hasil dari tangkapan suaminya sendiri bila hasil dari tangkapan itu lebih, tetapi apabila hasil tangkapan sepi maka ikan yang di jual adalah dari para tengkulak ikan. Ada beberapa jenis macam ikan yang di jual, harganya pun bervariasi tergantung dari termasuk jenis ikan apa. Untuk ikan kembung di jual 14ribu perkilonya, untuk ikan layur 40ribu perkilonya. Hasil tangkapan para nelayan berbagai macam jenisnya, seperti ikan kembung, ikan layur, ikan tengiri, ikan tongkol dan lainya, tetapi ikan kembung yang banyak di peroleh para nelayan. Hasil tangkapan ikan-ikan tersebut kemudian di jual di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau di jual di Pasar Jepara.
Penghasilan sebagai seorang nelayan memang tidak menentu tergantung dengan hasil tangkapanya, kadang banyak mendapatkan ikan dan kadang juga tidak dapat. Setiap pekerjaan memang ada pasang surutnya. Tetapi meskipun penghasilan tidak menentu cukup untuk keperluan sehari-hari mereka buktinya dalam rumah pak Sukirno sudah terdapat berbagai perabotan seperti kulkas, tv, kipas angin, mesin cuci.
Banyak sedikitnya ikan yang di peroleh para nelayan adalah tergantung dari cuaca. Apabila cuaca sedang bagus atau sedang cerah maka banyak ikan yang di dapat, tetapi kalau keadaan laut sedang pasang atau gelombang sedang tinggi nelayan terpaksa tidak melaut demi keselamatan dirinya. Laut dalam keadaan gelombang tinggi terjadi pada bulan 1 sampai dengan bulan 3. Disini nelayan terpaksa tidak pergi melaut, tetapi pada bulan 1 nelayan masih melaut dengan cara nyolong-nyolong artinya bila cuaca terlihat agak cerah mereka melaut. Pada bulan 4 dan seterusnya nelayan dapat beraktivitas seperti biasa karena cuaca yang cerah. Nelayan terpaksa tidak melaut bukan hanya keadaan laut bila sedang pasang saja, tetapi di sana terdapat mitos-mitos budaya yaitu adanya rintangan atau pantangan untuk para nelayan agar tidak pergi melaut pada hari Jum’at legi, awalnya mereka percaya dengan adanya mitos tersebut sehingga mereka tidak pergi melaut demi keselamatan diri mereka dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak mereka inginkan, tetapi lambat laun dengan perkembangan zaman yang semakin modern di mana keberadaan mitos-mitos itu di anggap tabu oleh masyarakat dan karena tuntutan pekerjaan juga guna memenuhi kebutuhan yang semakin banyak mereka mengabaikanya dan tetap pergi untuk melaut.
Disana terdapat sebuah tradisi kebudayaan sebagai rasa sujud syukur, tradisi tersebut bernama sedekah laut yaitu dengan membuang sesajen-sesajen dan kepala kerbau ke laut, sedekah laut ini di lakukan setiap setahun sekali pada hari kupatan (7 hari setelah idul fitri).
Stratifikasi atau lapisan masyarakat di sana tidak begitu menonjol, lapisan bisa di lihat dari kepemilikan kapal. Untuk kelas paling atas yaitu kepemilikan kapal besar, lalu kepemilikan kapal kecil dan buruh kapal. Untuk buruh kapal sebagian besar adalah pendatang baru, sehingga apabila ada seorang pendatang baru di Desa Mbulu mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh kapal.
lebih bagus lagi ada dokumentasi foto tempat anda observasi di daerah tersebut , terimakasih 🙂