History of Mangkunegaran Sugar Industry

This article expalain the development of Mangkunegaran Sugar Industry at the Dutch Colonial Time.From royal family based ownership to state business management Mangkunegara s sugar industry in Java from the middle of the 19th to early 20th century

Tugas untuk mahasiswa S-2 Pendidikan Sejarah

Silakan membuat bahan ajar untuk Pelajaran Sejarah SMA berbasis artikel tersebut!

Dekonstrusi Sejarah Indonesia

DEKONSTRUKSI SEJARAH INDONESIA
A. Pendahuluan
Sejarah memilki paling tidak tiga konsep, yaitu sejarah sebagai kejadian, sejarah sebagai bukti dari kejadian, dan sejarah sebagai kisah masa lalu. Sejarah dalam pengertian pertama merupakan sejarah yang objektif, sekali terjadi (einmalig), dan tak dapat diulang kembali. Sejarah sebagai kejadian itu hilang dalam beberapa saat setelah kejadiannya selesai. Sebagai contoh adalah kejadian Perang Diponegoro tahun 1825-1830, sejarah itu telah hilang ditelan masa pada saat peristiwa Perang Diponegeoro berakhir. Yang tersisa dari perang Diponegoro hanyalah jejak-jekanya (trace) berupa memorie kolektif, tradisi lisan, laporan kolonal tentang perang, gua Selarong, Benteng Belanda, dan sebagainya. Jejak-jejak sejarah itu merupakan saksi bisu yang sifatnya juga objektif. Dalam sejarah, sejarah seperti ini dikategorikan sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah tersebut baru akan dapat digunakan untuk mengungkap masa lampau jika ada sejarawan atau orang yang membaca, meneliti tentang sumber-sumber sejarah tersebut. Berdasarkan sumber-sumber sejarah itu kemudian lahirlah sejarah sebagai kisah. Kisah sejarah dengan demikian berbeda dengan sejarah dalam arti sejarah kejadian. Sebagai sebuah kisah yang dalam pengkisahannya ditentukan oleh si pengkisah, maka sejarah dalam kategori ini bersifat subjektif. Artinya sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang meelkat pada diri subjek penulis sejarah.
Sejarah yang dipelajari dalam dunia akademik, di jurusan sejarah adalah sejarah dalam pengertian terakhir. Sejarah sebagai kisah merupakan sebuah karya sejarawan (pengkisah) yang didasarkan pada prosedur penelitian sejarah (metode) dan kerangka berfikir tertentu (metodologi) sejarah yang digunakannya. Sehubungan dengan hal itu, maka tulsan sejarah dalam dunia akademik harus dapat dipertanggungjawabkan metode dan metodologinya.
Perlu disadari bahwa metode dan metodologi sejarah mengalami perkembangan yang tak pernah berhenti. Hal itu terus berubah sepanjang zaman sehingga sejarawan sangat dipengaruhi oleh perkembangan metodologi sejarah pada zamannya. Sampai saat ini ada tiga paragidma dalam peneltian dan penulisan sejarah, yaitu rekonstruksionisme, konstruksionisme, dan dekonstruksionisme. Tulisan ini akan membahas perkembangan penulisan sejarah itu dengan titik tekan pada dekonstruksionisme sejarah Indonesia.

B. Rekonstruksionisme, Konstruksionisme, Dekonstruksionisme

Dalam perkembangan historiografi dunia dikenal ada tiga paradigma penulisan sejaragh, yaitu rekonstruksionisme, konstruksionisme, dan dekonstruksionisme. Kelahirannya memang secara berurutan, tetapi pengaruhnya dalam masyarakat sejarawan tidak berjalan secara betahap. Artinya dalam perkembangan paradigma penulisan sejarah mutakhir sekalipun, paradigma lama masih juga digunakan oleh kalangan sejarawan tertentu.



1. Rekonstruksionisme:
Rekonstruksionisme merupakan sebuah paradigma penulisan sejarah yang didasarkan pada asumsi bahwa sejarah harus ditulis berdasarkan pada pendekatan empirisme. Pelopor aliran rekonstruksionisme adalah Leopold van Ranke (1795-1886). Sejarawan Jerman ini pada masa itu dikenal sebagai bapak sejarah kritis. Ia berasumsi bahwa sejarah dapat ditulis secara objektif sebagaimana yang terjadi dengan ilmu-ilmu alam. Untuk keperluan itu sejarah harus ditulis dengan menjauhi sikap prejudis masa kini dan harus hanya menceritakan kejadian masa lampau sebagaimana sesungguhnya terjadi- wie es eigentlich gewesen.
Untuk menulis sejarah sebagaimana adanya, seorang sejaraawan harus menghindari semua subjektifitas, pribadi, zaman, kepercayaan, dan sebagainya. Hal itu dapat ditempuh dengan cara menghadirkan masa lampau berdasarkan data-data yang tersedia. Data-data itu diutamakan data-data yang validitas dan kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dokumen-dokumen tertulis merupakan data sejarah yang layak untuk dijadikan bahan penulisan sejarah yang objektif. Ranke juga menolak penggunaan teori untuk melakukan eklpanasi sejarah.
Aliran pemikiran Ranke itu berpengaruh berabad-abad, hingga kini pengaruh itu masih cukup terasa. Aliran Ranke itu dalam khasanah penulisan sejarah barat dikenal sebagai Rankean School. Alran ini berpengaruh tidak hanya di dunia Barat, tetapi juga sampai ke Indonesia. Sampai decade tahun 1970-an, aliran ini masih mendominasi cara penulisan sejarah Indonesia, dan pada saat ini sebagian sejarawan masih mengikuti aliran ini.
Pengikut setia dan pengembang rekonstruksionis tersohor adalah G.R. Elton. Dalam bukunya, Return to essentials, ia menyatakan bahwa aspek yang paling bernilai dari karya sejarawan adalah investigasi yang rasional, independen, dan tidak memihak dari dokumen-dokumen masa lalu. Berdasarkan pemikitran ini, maka sejarah tidak berurusan dengan teori, tertapi pemahaman realitas masa lalu secara tepat.


2. Konstruksionisme:
Konstruksionisme sesungguhnya merupakan sub spesies dari rekonstruksionisme. Paradigme ini berkembang pada awal abad XX sebagai reaksi atas kelemahan-kelemahan paradigma rekonstruksionis tradisional. Meskipun demikian, praktek konstruksionis telah ada sejak abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Karl Marx, Auguste Comte dan Herbert Spencer. Mereka tidak puas dengan cara kerja kaum rekonstruksionis yang hanya melakukan deskriptif naratif secara sederhana atas kejadian-kejadian. Mereka menginginkan adanya penjelasan teoretik atas kejadian-kejadian itu dan tidak hanya sekedar penjajaran fakta. Pada awal abad XX, paradigma konstruksionis ini diawali dengan perkembangan aliran Annales di Perancis (1920-an). Mereka mengembangkan aliran “Sejarah Baru” yang muncul dari French school historian yang terkait dengan journal Annales. Sejak itu, tulisan sejarah bukan sekedar penjaajran fakta tetapi juga dilakukan analisis dengan menggunakan konsep dan toori ilmu sosial. Aliran baru ini dikenal sebagai sejarah sosial.
Lahirya sejarah sosial telah membuka peluang penulisan sejarah yang menggabungkan pengkajian sumber-suber sejarah dengan penggunaan teori-teori ilmu sosial. Dengan demikian sejarah tidak hanya sekedar rekonstruksi, tetapi juga sebagai sebuah konstruksi atas masa lalu berdasarkan kerangka berfikir ilmu-ilmu sosial. Tokoh-tokoh yang terkait dengan aliran ini adalah Marc Bloch, Fernand Braudel, Emmanuel Le Roy Ladurie dan Robert Darnton dari aliran Annales di Peracis.
Aliran sejarah sosial ini meluas ke berbagai penjuru dunia, terutama di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam ini telah lahir Sejarawan-sejarawan aliran baru Amerika seperti Frderick Jackson Turner, Charles Beard, james Harvey Robinson dan Venol Parrington. Dalam generasi berikutnya lahir sejarawan-sejarawan yang lebih bersifat sosiologis seperti Charles Tilly, Hobsbawn, dan sebagainya. Mereka menggabungkan pemikiran sosiologis dengan penulisan sejarah. Salah satu media penyebaran ide-idenya adalah journal Daedalus. Pengaruh perkembangan paradigma ini juga terjad paad sejarawan Indonesia yang sedang studi di Amerika. Yang pertama adalah Sartono Kartodidjo, yang kemudian diikuti para mahasiswanya, terutama Taufik Abdullah, dan Kuntowijoyo (alm). Mereka kemudian mengembangan penulisan sejarah Indonesia yang sama sekali baru. Sejarah ditulis sebagai sebuah konstruksi masa lalu dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau pendekatan multidimensional.

3. Dekonstruksionisme
Dekonstruksionesme dalam sejarah merupakan bentuk dari aliran pemikiran postrukturalis dan atau posmodernisme. Sejarawan dekonstruksionis atau linguistic turn beranggapan bahwa narasi sejarah tertulis adalah bentuk formal representasi dari isi sejarah. Kesadaran ini muncul pada perempat terakhir abad XX. Ketika itu sejarawan berfikir secara mendalam tentang bagaimana menggunakan bahasa- sebagai alat yang menghubungkan masa lampau dengan narasi sejarah yang ditulis. Bahasa menjadikan buram tentang realitas daripada menjadikannya terang, sehingga tidak ada kebenaran sejarah yang tertinggi. Pengetahuan kita tentang masa lampau adalah bersifat sosial dan perspektival. Oleh karena itu sejarah tertulis ada secara kultural ditentukan oleh struktur-struktur kekuasaan.
Dekonstruksionis history menolak paradigma empirisme dalam penulisan sejarah. Mereka menjungkirbalikkan empirisme yang mengatakan bahwa sejarah dapat ditulis objektif, apa adanya. Sejarah dalam pemikiran kaum dekonstruksionis tidak mungkin objektif, dalam pengertian apa adanya karena faktor kendala bahasa. Masa lalu yang disampaikan melalui tulisan sejarah ditulis dengan langgam bahasa tertentu sesuai dengan style pribadi dan jia zaman penulisnya, sehingga hubungan masa lalu dengan pembaca masa sekarang sanghat tergantung pada bahaas yang digunakan dalam narasinya.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep dekonstruksi juga diartikan membongkar atau dalam bahasa halusnya membaca kembali. Dalam kaitannya dengan penulisan sejarah (termasuk sejarah Indonesia), dekonstruksi sejarah sering diartikan membongkar penulisan sejarah yang telah dilakukan oleh sejarawan-sejarawan sebelumnya yang umumnya menggunakan paradigma rekonstruksi atau konstruksionis.

C. Dekonstruksi Sejarah Indonesiasentris
Selama ini sejarah Indonesia ditulis dengan perspektif Indonesiasentris. Realitas penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris sesungguhnya sudah ada jauh sebelum Seminar Sejarah Indonesuia I di Jogjakarta tahun 1957. Dalam rangka mengimbangi tradisi sejarah Eropasentris yang bersifat Kolonial elitis sejumlah Sejarawan telah menulis Sejarah Indonesia yang menonjolkan peranan bangsa Indonesia. Karya Muhammad Yamin tentang 6000 tahun sang saka merah putih, Sukarno, Indonesia menggugat, Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, dan sebagainya menunjukkan betapa tipe sejarah ini lahir sebagai reaksi atas model penulisan sejarah yang ada pada waktu itu yang bersifat Neerlandocentris. Tulisan sejarah ketika itu tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran faktual, tetapi lebih mementingkan nilai sejarah untuk membangkitkan semangat nasionalisme bagi orang Indonesia. Seminar Sejarah tahun 1957 sesungguhnya sebagai tindakan memformalkan tradisi yang sudah mulai berkembang din kalangan sejarawan waktu itu.
Jika konsep dekonstruksi dimaknai sebagai pembongkaran terhadap tradisi penulisan, maka sejarah Indonesiasentris itupun dianggap sebagai dekonstruksi terhadap tradisi sejarah Kolonial waktu itu. Dalam perkembangannya para sejarawan profesinal yang dimotori oleh Sartono Kartodirdjo mengkhawatirkan sifat terlalu subjektifnya penulisan sejarah Indonesia ketika itu. Dalam seminar Sejarah tahun 1971 di Jogjakarta dikemukakan pendekatan ilmu sosial atau multidimensional untuk mengurangi subjektivitas dalam proses rekonstruksi sejarah. Melalu pendekatan ilmu sosial dalam penulisan sejarah berarti seorang sejarawan harus memahami konsep dan teori ilmu-ilmu sosial untuk menggambarkan realitas masa lampau bangsa Indonesia. Sejak itu tradisi penulisan sejarah Indonesia dikembangkan dengan perspektif Indonesiasentris denan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Kurikulum jurusan sejarah, terutama di UGM dan universitas-universitas lain yang dosennya mengambil kuliah di jurusan sejarah UGM bernuansa Indonesiasentris dan pendekatan ilmu sosial di dalam deskripsi mata kuliahnya. Sementara itu pada jurusan sejarah yang jauh dari pusat ilmu sejarah di UGM itu masih melanjutkan tradisi sejarah Indonesiasentris ala Muhammad Yamin (terutama pada jurusan sejarah di IKIP-IKIP). Baru setelah ada sejumlah dosen lulusan Universitas mereka mulai mengikuti model pendekatan ilmu sosial dalam penelitan sejarah. Sekarang ini pendekatan ilmu sosial dalam penelitian sejarah justru sedang berkembang di jurusan sejarah bekas IKIP, bahkan di S-2 Pendidikan Ilmu Sosial yang mengambil konsentrasi ilmu sejarah ada mata kuliah khusus Pendekatan Ilmu Sosial dalam Penelitian Sejarah.
Ditinjau dari epistemologinya, penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial bersifat positivistik. Cirikhas model positivistik terletak dari cara kerja sejarawan yang merumuskan pemikiran teoretik terlebih dulu sebelum mereka melakukan penelitian sejarah. Teori dan konsep ilmu sosial dipandang sebagai rumus “matematik” yang akan digunakan untuk melakukan pembuktian di lapangan. Konsep ilmu-ilmu sosial itu sudah membebani sejarawan sejak melakukan penyaringan data awal hingga penulisannya. Akibatnya sejarawan jika tidak hati-hati akan melepaskan data sejarah yang sesungguhnya menarik untuk ditulisnya, karena tidak relevan dengan konstruk teoritisnya.
Sejalan dengan pengaruh gelombang posmodernisme dalam ilmu budaya dan ilmu sosial, maka tradisis penulisan sejarah Indonesiasentris dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu mulai dipertanyakan. Pendekatan ilmu sosial dan perspektif Indonesiasentris sebagaimana dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo ternyata alam realitasnya mengalami banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu meliputi: (1) banyak penulisan sejarah model ini yang sesungguhnya hanya melanjutkan tradisi sejarah nasionalistis. Sejarah ditulis dengan tujuan anti Kolonialisme akibatnya Sejarawan sering menjadi terbebani oleh tuntutan subjektvitas kebangsaan, meskipun dalam realitasnya mereka sering menemukan data yang harus berbunyi lain, (2) Sebaliknya sejarawan tetap terjebak pada mainstraim Kolonial. Dalam mengupas peristiwa sejarah selalu saja dibenturkan dengan kolonialisme, (3) Pilihan tema sejarah menjadi terbatas terutama yang terkait dengan nasionalisme dan anti kolonial. Hal-hal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari manusia Indonesia kurang mendaptakan potretnya.
Harus disadari bahwa kelemahan-kelemahan itu bukan semata-mata karena penggunaan konsep Indonesiasentris dan pendekatan ilmu sosial saja. Banyak faktor yang turut menentukan pilihan-pilihan orang menulis sejarah. Faktor pertama adalah kepentingan sejaman. Semasa Orde Baru selain sejarah yang ditulis untuk keperluan penulisan tesis atau disertasi, kebanyakan penulisan sejarah adalah sejarah “proyek”. Aspek pagmatisme juga menentukan pilihan waktu itu, yakni untuk apa sebuah sejarah ditulis? Menanamkan nasionalisme, pengembangan suatu produk, dan sebagainya. Hal yang terakhir ini sampai sekarang masih mewarnai pemberi proyek penelitian di Indonesia, seperti Hibah Bersaing, RUT, RUK, dan semacamnya. Faktor ketiga adalah kemampuan sejarawan untuk melakukan penelitian. Banyak sejarawan lulusan S-2 dalam negeri ayng sesungguhnya sangat rendah pemahaman ilmu-ilmu sosialnya. Akibatnya sering mencari teori untuk disesuaikan dengan data yang ada. Faktor lain adalah ketersediaan sumber dan kemampuan membacanya. Sebagian sumber Sejarah Indonesia ditulis orang Belanda. Sering sejarawan hanya megikuti informasi dalam sumber saja dan kemudian dibuat rekonstrusi sejarah tanpa menanyakan secara kritis mengenai makna di balik sumber itu?
Benar apa yang dikatakan Crocee, “Sejarah yang benar adalah Sejarah Masa Kini”. Untuk itu setiap jaman, sejarawan akan menulis sejarahnya sendiri dengan perspektif, dan metodologinya sendiri. Generasi sejarawan Pasca Sartono mulai menanyakan relevansi sejarah Indonesiasentris sejalan dengan perkembangan metodologi ilmu sejarah pada saat ini. Sejumlah mantan murid Sartono seperti Taufik Abdullah, Kuntowidjojo, Bambang Purwanto, dan Mestika Zed mulai menanyakan relevansi Sejarah Indonesiasentris dan dalam batas-batas tertentu tentang urgensi pendekatan ilmu sosial.
Taufik Abdullah mengkritik tentang kelemahan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini berasal dari aliran “Annales” generasi lama yang mementingkan sejarah struktural daripada sejarah individual. Dalam sejarah ini manivestasi individual diabaikan. Untuk mencegah dehumanisasi sejarah, maka peran individual dalam sejarah juga perlu ditonjolkan dalam historiografi.
Kuntowijoyo melihat bahwa sejarah Indonesiasntris telah bergerak hanya sekedar sebagai sejarah dekolonisasi. Sementara itu pendekatan ilmu sosial sulit difahami masarakat kebanyakan pembaca sejarah sehingga sejarah yang ditulis kalangan akademik ibarat “menara gading”. Sehubungan dengan itu maka dengan tidak menghilangkan nilai ilmiahnya sejarah perlu mencari nilai etis yang berarti historiografi sebagai kritik sosial.
Bambang Purwanto mengajukan konsep dekonstruksi dalam perspektif penulisan sejarah Indonesia. Dekonstrusi bergerak dalam beberapa tataran, yakni : (1) perspektif indonesiasentris diganti dengan perspektif faktual (pen), (2) Fokus kajian beruah dari sejarah orang besar menjadi sejarah orang kebanyakan: termasuk wanita, anak-anak, pelacur, dan sebagainya, (3) Penekanan pada peranan individu dalam sejarah tanpa mengabaikan struktur atau tatatanan masyarakat. Dengan cara ini maka penulisan sejarah orang Indonesia masa Kolonial tidak harus dibenturkan dengan proses penjajahan.
Mestika Zed mengkritik tentang tirani sejarah nasional. Dengan memaparkan perkembangan penulisan sejarah nasional di negara Barat (terutama Perancis dan Inggris), ia menolak “bangsa aau nasional” sebagai dasar penulisan sejarah. Ia mengajukan penulisan sejarah “Rankean School” gaya baru dengan sentuhan posmodernisme.
Sejalan dengan pemikiran kritis para murid Sartono tentang landasan metodologis dalam penulisan sejarah, sesungguhnya ada banyak persoalan yang kini dihadapi sejarawan. Pertama persoalan pemeliharaan sumber, jika pada tahun 1957 dipikirkan tentang penyelamatan sumber melalui Arsip Nasional Indonesia, dan pembentukan sejumlah Arsip daerah, maka Arsip Nasional itu sendiri kini menjadi masalah. Arsip yang menjadi milik negara dan rakyat itu kini menjadi komoditas pribadi yang sangat sulit digapai oleh peneliti Indonesia. Persoalan kedua adalah pelajaran sejarah di sekolah. Banyak materi ajar sejarah di sekolah masih menggunakan pendekatan sejarah nasionalistis ala Yamin, dan bukan ala Sartono, apalagi dengan pemikiran – pemikiran baru yang berkembang selama ini. Keempat adalah jaringan data global yang dapat diakses lewat internet dan komputerisasi hasil penelitian. Yang terakhir adalah persoalan persepsi masyarakat tentang sejarah, bahwa sejarah itu adalah peristiwa politik masa lampau sehingga hal-al di luar peristiwa politik tidak disadari sebagai sejarah.

D. Penutup

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam historiografi dunia telah terjadi arus perkembangan dari paradigma rekonstruksionisme menjadi dekonstrusionisme. Perubahan ini berpengaruh terhadap paradigma penulisan sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia yag semula lebih menekankan pada peranan yang lebih besar paad bangsa Indonesia diarahkan pada sejarah yang lebih luas dengan mendasarkan pada sumber-sumber yang tersedia. Sejarawan menjadi lebih bebas dalam memberikan tafsir terhadap masa lalu sesuai dengan data yang diketemukan.

Berguru Dari Masa Lalu, Lestarikan Sejarah Bangsa

Indonesia adalah bangsa yang memiliki riwayat sejarah yang panjang, juga peradaban yang besar. Hal tersebut dibuktikan dari peninggalan sejarah yang ada. Namun sangat disayangkan jika para generasi muda tidak melestarikan sejarah bangsanya sendiri. Lalu bagaimana upaya agar sejarah dapat dekat dengan generasi muda?Pandangan saya adalah sebagai berikut https://www.youtube.com/watch?v=8lqe9LraEP0