Orientasi Teoritik Sistem Kognitif & Sistem Simbolik

Haii sahabat blogger, kembali lagi saya akan membagikan sedikit tulisan saya tentang teori dalam antropologi yaitu sistem kognitif dan simbolik. Tulisan saya kali ini merupakan hasil dari tugas mata kuliah teori budaya yang saya tempuh di semester 4. Nah langsung saja berikut penjelasannya

            Kebudayaan (Geertz 1973;Triyanto) memiliki peranan sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia atau sebagai pola-pola bagi tingkah laku manusia (Keesing 1992). Kebudayaan adalah serangkaian aturan, resep, rencana, stategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi (Spradley 1972;Triyanto).

Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai, ynag dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang berisi perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Sejalan dengan konsep tersebut (Rapoport 1980;Triyanto) melihat kebudayaan sebagai (1) suatu gaya hidup tipikal dalam suatu kelompok, (2) suatu sistem simbol, makna-makna, dan model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolis, dan (3) seperangkat strategi adaptif bagi kelangsungan hidup yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya. Dengan demikian suatu kebudayaan dapat dilihat sebagai latar belakang bagi suatu tipe masyarakat yang bersifat normatif, dan kemudian melahirkan gaya hidup tertentu dan bermakna berbeda dengan kelompok yang lain. Dalam menciptakan gaya hidup yang memunculkan suatu makna yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lain, dapat terwujud melalui aturan-aturan yang diterapkan bersama, perangkat model kognitif, sistem simbol, dan salah satu diantaranya unsur kebudayaan yaitu kesenian.

Budaya sebagai sistem kognitif

Antropolgi kognitif muncul 15 tahun terakhir atau yang biasa disebut etnografi baru, etnoscience atau etnografi sematics. Pada dasarnya etnoscience merupakan suatu kajian terhadap penduduk setempat, yang kemudian muncul pandangan baru yang penting mengenai budaya yaitu budaya sebagai sistem kognitif.

Menurut Goodenough terdapat tiga persoalan dalam melakukan penelitian kebudayaan yaitu: (1) terdapat perbedaan data etnografis yang disebabkan oleh perbedaan minat peneliti, (2) adanya metode yang berbeda-beda yang dilakukan antropolog, dan (3) pengklasifikasian data secara berbeda-beda. Etnoscience sebagai pemikiran baru dalam kajian tentang kebudayaan, dalam mengkaji kebudayaan perlu melihat fenomena kebudayaan dari sudut pandang para pelakunya/pemilik kebudayaan yang diteliti. Menurut Ward Goodenough kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dan diterima oleh anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu fenomena material yang terdiri dari benda-benda, manusia, dan tingkah laku, melainkan budaya lebih kepada organisasi dalam bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia untuk menerima, menafsirkan, dan menghubungkan fenomena material tersebut. Goodenough memandang budaya secara epistemologi berada pada ranah yang sama dengan bahasa, yaitu sebagai aturan-aturan ideal yang dapat diamati dan dan diraba

Implikasi metodologi

Bahasa merupakan salah satu subsistem dari budaya, dan antropologi kognitif menduga bahwa metode dan model linguistik seperti etik dan emik dapat digunakan dalam bidang budaya yang lain. Beberapa tahun terakhir orang-orang antropologi kognitif telah beralih dari keunikan sistem kultural kepada satu pencarian pola universal (Keesing 48; Triyanto). Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang jauh di luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah sematik yang terikat secara terbatas dan ketat. Dalam penguasaan bahasa setempat, tersimpan nama-nama benda yang berada disekitar lingkungan mereka, dan dari nama-nama itu, kita dapat mengetahui patokan yang dipakai oleh suatu masyarakat dalam membuat suatu klasifikasi, sehingga kita dapat mengetahui pandangan hidup pendukung kebudayaan tersebut. Untuk mengetahui makna dari bahasa tersebut, maka individu/peneliti diluar kelompok masyarakat dapat mempelajarinya dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti serta peneliti  dapat berada dilingkungan masyarakat tersebut untuk beberapa waktu tertentu.

Teori yang dihasilkan dari budaya sebagai sistem kognitif

Difusi merupakan bagian dari budaya sebagai kognitif, karena budaya sebagai sistem kognitif yang merupakan organisasi dalam bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran manusia, salah satunya bahasa. Difusionisme merupakan penyebaran budaya, asumsi dasarnya yaitu kebudayaan tersebut berasal dari satu tempat yang kemudian berkembang dan menyebar ke dalam kebudayaan baru yang dipengaruhi oleh waktu dan keadaan lingkungan. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berada dalam pikiran individu dan dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti perpindahan manusia tersebut, dan dibawa oleh individu yang berasal dari sumber kebudayaan tersebut sehingga menyebar ke wilayah lain hingga membentuk suatu lingkaran kebudayaan.  Tugas etnolog adalah melacak gerak perpindahan bangsa-bangsa, saling mempengaruhi persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu ratusan atau ribuan tahun hingga sekarang.

Budaya sebagai sistem simbolik

Sampai saat ini, para antropologi dengan yakin menyatakan bahwa yang menjadikan manusia khas adalah manusia itu sendiri. Menurut Keesing (1992:22) bahwa manusia memiliki kemampuan yang dapat diungkapkan melalui bahasa, sehingga memungkinkan manusia untuk menghimpun suatu tradisi dalam kelompoknya. Hal ini berbeda dengan primata yang hanya menggunakan simbol dan tanda dalam berhubungan satu dengan yang lain. Namun, dengan memperhatikan simbol-simbol yang digunakan primata dapat disimpulkan bahwa budaya bukanlah suatu warisan tingkah laku simbolik yang membuat manusia menjadi manusia. Hal ini dikarenakan bahwa dengan memperhatikan gerak perubahan pada individu, menyebabkan tidak mudah untuk mengatakan bahwa satu budaya merupakan satu warisan yang dimiliki bersama oleh sekelompok manusia dalam suatu  masyarakat tertentu.

Cara dalam memandang kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama yaitu dengan menggunakan pendekatan kognitif Amerika dan strukturalisme Eropa. Geertz memandang budaya sebagai sistem simbolik menemukan suatu hal yang khusus dalam kehidupan manusia seperti dalam satu persabungan ayam dan upacara kematian, yang menjadi keterikatan manusia dalam tingkah laku simbolik mereka. Bagi Geertz makna tidak berada dalam kepala orang, melainkan simbol dan makna tersebut dimiliki bersama oleh anggota masyarakat yang berada diantara mereka dan simbol serta makna tersebut bersifat umum (public) bukan pribadi. Geertz juga menganggap pandangannya tentang budaya bersifat semiotic, karena dengan mempelajari budaya berarti mempelajari aturan dan makna-makna yang dimiliki bersama. Masih berkaitan seperti Geertz, meskipun sedikit berbeda menurut David Schnieder budaya merupakan satu sistem simbol dan makna yang merangkum kategori-kategori, unit-unit, dan aturan-aturan tertentu tentang hubungan sosial dan perilaku dalam masyarakat. Aturan dan kategori tersebut tidak harus disimpulkan dari perilaku, karena keduanya berada pada bidang yang terpisah. Menurut Schnieder kedudukan epistemologi unit-unit kultural tidak tergantung pada sifatnya yang dapat di observasi, baik hantu  maupun orang mati merupakan kategori kultural. Dalam analisis kulturalnya Schnieder ingin mengambil satu langkah yang lebih jauh yaitu memisahkan sistem simbol dan makna yang melekat dalam sistem normatif. Sistem simbol dan makna yang dimaksud Schnieder yaitu premis-premis dasar yang disimpan oleh suatu budaya yang terdiri dari unit-unit yang didefinisikan dan dibedakan antara satu unit dengan unit yang lain, bagaimana unit-unit tersebut membentuk satu tatanan atau klasifikasi yang terintegrasi secara teratur dalam bagian, dan bagaimana mereka menghubungkan satu dengan yang lainnya. Menurut Schnieder terdapat saru ranah dari sistem sosial (kekerabatan, atau agama, atau ekonomi dan politik) yang dikorek keluar dan satu ranah kultural yang berhubungan dengan satu analisis kultural murni dapat melacak baik interaksi simbol, premis, dan prinsip susunan dimana saja mereka muncul. Satu peta sistem kultural sebagai satu peringkat yang terpisah akan melihat perbedaan dari satu interpretasi tentang korelasi kultural dari institusi sosial. Analisis kultural murni tidak tercemar oleh kajian sosialnya, dan hal tersebut hanya sebagai pelacakan tentang hubungan antara bidang kultural, sosial, dan psikologi yang dapat maka kehidupan sosial dari suatu masyarakat atau tindakan-tindakan individu dapat dimengerti.

Implikasi metodologi

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, sesungguhnya merupakan simbol yang merefleksikan atau mengekspresikan kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat 1986). Kesenian adalah simbol ekspresif-estetis yang mengungkapkan pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, estetika kesenian suatu kelompok masyarkat tertentu akan berbeda dengan estetika kelompok kesenian masyarakat yang lain (Otten 1974; Triyanto). Hal ini dikarenakan proses bersikap dan berperilaku kesenian dipengaruhi, diarahkan, dan dikendalikan secara budaya (Geertz 1973; Triyanto).

Perbedaan simbol yang digunakan oleh satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dari berbagai wilayah merupakan implikasi dari budaya sebagai sistem simbolik. Misalnya penggunaan simbol dalam penanda kematian antara satu daerah dengan daerah yang lain akan memiliki makna yang berbeda. Di beberapa daerah jika terdapat kematian akan menggunakan simbol berupa bendera berwarna merah, tetapi di daerah lain dapat ditemui simbol bendera berwarna kuning dan putih. Simbol-simbol tersebut hanya dapat dimengerti oleh masyarakat yang memiliki simbol tersebut, sehingga individu yang berada diluar masyarakat tersebut tidak akan mengetahui makna dari simbol tersebut.

Teori yang dihasilkan dari budaya sebagai sistem simbolik

Strukturalisme merupakan salah satu bagian dari budaya sebagai sistem simbolik, yang menurut Levi-Strauss budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama dan merupakan ciptaan dari pikiran secara komulatif. Mengkaji kebudayaan yaitu menemukan struktural bidang sebagai teks yang harus ditemukan maknanya, dan manusia merupakan makhluk kognitif yang menyusun dan mengembangkan kode-kode serta sistem lambang tersebut. Menurut Ferdinand de Saussure bahasa merupakan sistem tanda (sign) untuk menyampaikan ide, yang di dalamnya terdiri dari signified (obyek) dan signifier (citra bunyi), kata atau bunyi merupakan signifier sedangkan konsepnya adalah signified. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa obyek yang  memiliki nama tertentu antara wujud benda tersebut dengan citra bunyi yang dihasilkan tidaklah selalu sama. Misalnya kata sapi, tidak ada persamaan antara bunyi kata dari tulisan sapi dengan jenis binatang berkaki empat yang memamah biak seperti dalam bunyi tersebut. (Keesing, 1992:25). Strauss juga mengkaji tentang mitos dan kekerabatan, dan kajian mitos yang dilakukan untuk menemukan unsur-unsur mitos yang berupa kode-kode yang diuraikan untuk menemukan maknanya. Asumsi dasar dari srtukturalisme adalah manusia mempunyai kemampuan untuk menstrukturkan, menyusun, mengkategorikan fenomena yang dialaminya dan menemukan makna dari fenomena tersebut.

Daftar pustaka

  • R.M.1992.Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer.Jakarta:Erlangga
  • R.M.Teori-Teori Budaya.Jurnal Antropologi UI, hal 5-10.https://www.scribd.com>mobile>doc. Diakses 15 Juni 2017 pukul 13:57 WIB
  • Estetika Nusantara:Sebuah Perspektif Budaya Jurnal Seni Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, hal 1-3.https://www.download.portalgaruda.org>article. Diakses 15 Juni 2017 pukul 14:57 WIB

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: