Review Artikel ”Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-nilai Dan Etika Masyarakat Jawa”

 Salam Ceria…

Generasi Muda Berprestasi…

Kali ini, saya akan memposting tentang tugas kuliah saya pada semester 5 dalam mata kuliah Sosiologi Politik. Dalam tugas ini, saya akan membahas tentang review artikel yang berjudul tentang “Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-nilai Dan Etika Masyarakat Jawa” ini ditulis oleh Nugroho Trisnu Brata (Dosen jurusan Sosiologi & Antropologi, FIS, UNNES).

Dalam tulisan ini, memaparkan tentang budaya masyarakat Jawa yang bercirikan dengan perilaku yang halus, sopan dan lemah lembut. Hal tersebut, nampak dari tulisan yang terdapat dalam artikel ini menyebutkan bahwa perilaku  masyarakat Jawa digambarkan dengan lemah gemulainya tarian yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, misalnya: tari gambyong, tari srimpi, tari bedhoyo dan tarian lainnya yang berasal dari keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Dalam tulisan artikel ini juga menyebutkan pendapat dari Franz Magnis Suseno (1993) mengenei nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa yang terintegasi menjadi tiga prinsip yakni hormat, rukun, dan isin. Prinsip hormat, mempunyai arti bahwa masyarakat Jawa harus bersikap hormat baik dari perilaku maupun tutur kata kepada semua orang sesuai dengan kedudukannya. Prinsip rukun, mempunyai arti bahwa masyarakat Jawa harus menciptakan kerukunan dengan masyarakat yang lain agar dapat menumbuhkan kehidupan yang tenang, damai, nyaman dan terhindar dari perselisihan yang dapat menyebabkan kekerasan. Prinsip isin, mempunyai arti bahwa masyarakat jawa harus menanamkan rasa malu agar berbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kebanyakan dari kalangan umum memandang bahwa masyarakat Jawa terkenal dengan keramahannya yang berasal dari perilaku dan tutur kata yang halus dan sopan. Namun, perlu diketahui bahwa pada masa lalu masyarakat Jawa mempunyai kebudayaan yang keras dan kasar yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dapat digambarkan dari kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa, salah satunya kerajaan singasari yang berhasil menaklukkan sumatera. Kemudian, budaya kekerasan di sosialisasikan melalui media pewayangan dengan menceritakan kisah Barata Yuda. Masyarakat Jawa sendiri beranggapan, bahwa perilaku kekerasan, dan kasar merupakan suatu sikap yang harus dihindari dan ditingalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang berlaku di Jawa.

Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono X, perilaku kekerasan dan sikap kasar tersebut dapat di redam dengan cara gunungan garebeg, maksudnya menggrebeg makanan yang di makan secara bersama-sama sebagai hadiah yang diberikan Sultan kepada masyarakat yang ikut mendukung reformasi. Model gunungan garebeg tersebut mempunyai tujuan agar dengan adanya makan bersama tersebut dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan dan dapat menumbuhkan kebersamaan. Sehingga, dengan cara ini dimaksudkan agar kekerasan dan sikap kasar secara perlahan-lahan luntur dan hilang dari diri masyarakat Jawa.

Dengan demikian Budaya sendiri mempunyai peranan dalam menuntun, mengarahkan dan dapat pula memaksa masyarakat untuk berperilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kemudian, adanya pergeseran kebudayaan tersebut membuat masyarakat Jawa yang awalnya mempunyai budaya kekerasan telah berubah menjadi budaya yang adiluhung, halus,dan penuh dengan sopan santun baik dari perilaku maupun tutur kata. Sifat halus ini dijadikan oleh masyarakat jawa sebagai tolok ukur dalam menilai seseorang menjadi bagian dari masyarakat Jawa atau tidak. Sifat halus hanya dimiliki oleh seseorang yang telah mempunyai kesaktian, sedangkan sifat kasar dapat dimilki oleh semua orang tanpa menggunakan usaha tertentu. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat halus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sifat kasar.

Sumber : Brata, Nugroho Trisnu. Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa. Semarang. Jurnal Komunitas Sosiologi dan Antropologi. Edisi 2 : 91-101

 

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosiologi & Antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: