Etika Jawa Dalam Kehidupan Masyarakat Sehari-hari

Salam Ceria…

Generasi Muda Berprestasi…

Dalam postingan kali ini, Saya akan mempublikasikan tugas Semester 3 dalam mata kuliah “Religi dan Etika Jawa.” Tugas tersebut membahas tentang sejarah kemunculan Teori Sosiologi Klasik.  Sebagai penambah wawasan saja, Silahkan lebih lanjut di baca artikel dibawah ini.

Saya lahir dan di besarkan di Jawa yaitu Jawa Tengah. Lebih tepatnya di Desa Gebugan Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Desa Gebugan merupakan salah satu desa yang berada di lereng gunung Ungaran, berjarak kurang lebih 3 km dari jalan raya Semarang-Solo. Terdapat perkebunan pala dan kopi, sawah, ladang dan lain-lainnya yang tumbuh di desa Gebugan.

Selama 19 tahun saya hidup di Jawa bersama keluarga saya yang juga orang Jawa. Dari kecil saya sudah di biasakan oleh keluarga saya untuk menggunakan Bahasa Jawa terutama Bahasa Jawa halus, akan tetapi bahasa Indonesia juga tidak luput diajarakan kepada saya sebagai bahasa nasional. Dalam kehidupan sehari-hari saya terdapat tingkatan bahasa yang digunakan sebagai pembenda ketika berbica, misalnya saja ketika saya hendak berbicara dengan orang yang lebih tua dari saya maka saya harus menggunakan Bahasa Jawa Halus atau sering disebut dengan Bahasa Krama, ketika berbicara dengan teman saya bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko ataupun Krama.

Dalam keluarga saya juga mengenal unggah-ungguh yang dimiliki orang Jawa pada umumnya. Saya di ajarkan mengenai tingkah laku orang jawa yang halus, lembut dan sopan. Halus dalam berbicara seperti ketika berbicara dengan orang yang lebih tua hendaknya menggunakan Bahasa Jawa Halus atau bahasa Krama.

Menurut kaidah yang telah diuraikan oleh Hildred Geertz (1961, 146) yang menentukan pola pergaulan dalam masyarakat jawa

Bahwa kaidah ini menuntut, agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya“.

Berdasarkan uraian dari Hildres Geertz saya menjadi paham mengenai apa yang telah keluarga saya ajarakan, yang mana saya diajarkan untuk berbicara halus tujuannya agar saya dapat menunjukkan sikap hormat saya terhadap orang lain.

Selain itu saya juga diajarkan untuk berperilaku lembut dan sopan. Sebagaimana wanita Jawa saya harus berperilaku lembut dan sopan, ketika berbicara tidak boleh urakan atau teriak-teriak karena wanita jawa sudah dikenal kelembutannya dalam berbahasa atau berbicara. Sebagai wanita jawa saya juga diajarkan oleh keluarga saya mengenai perilaku sopan, seperti halnya ketika jalan melewati orang banyak ataupun orang yang lebih tua saya harus sedikit merundukkan badan saya sebagai tanda permisi.

Keanekaragaman regional dari kebudayaan Jawa cocok dengan daerah-daerah yang memiliki logat bahasa Jawa, makanan, upacara-upacara adat, kesenian, dan tradisi-tradis yang berbeda-beda di setiap daerah Jawa. B.J.O. Schrieke (1957: 102-104) memang benar mengenai pentingnya keadaan lingkungan-lingkungan alam Pulau Jawa dalam hal mempelajari keanekaragaman kebudayaan itu.

Seperti halnya di daerah saya yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan daerah lain terutama dalam logat bahasa yang digunakan, yang mana bahasa yang saya gunakan berbeda dengan logat bahasa orang pemalang yang medhok. Kemudian makanan yang berbeda dengan daerah lain yang mana setiap daerah memiliki makanan-makanan khas tersendiri, akan tetapi makanan khas orang Jawa yang sudah terkenal yaitu gethuk.

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak zaman dahulu dan diturun-temurunkan kepada generasi selanjutnya dan tradisi tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan yang telah dimiliki pada daerah tersebut.Didesa Gebugan sediri juga masih mempunyai tradisi yang dari zaman dahulu dilakukan atau diadakan hingga sampai sekarang yang masih diuri-uri atau masih dilestarikan oleh warga desa Gebugan. Tradisi yang masih dilestarikan warga desa Gebugan antara lain sebagai berikut :

  1. Upacara Pernikahan

Tradisi pernikahan di desa Gebugan dari zaman dahulu sampai sekarang masih ada. Tata cara pernikahannya pun masih sama seperti dahulu yaitu sebelum dilaksanakan pernikahan harus dilakukan lamaran yaitu pihak laki-laki harus melamar pihak perempuan terlebih dahulu. Setelah lamaran diterima oleh pihak perempuan dan kedua belah pihak telah menentukan tanggal atau hari pernikahan, kemudian diadakan acara susok tukon yaitu pihak laki-laki memberi mas kawin terhadap perempuan berupa mas uang, maupun barang seperti perhiasan, seperangkat alat sholat, seperangkat kebaya, seperangkat pakaian, seperangkat perlengkapan merias wajah dan lain sebagainya. Setelah hari atau tanggal pernikahan telah tiba upacara pernikahan dilaksanakan dimulai dari siraman, resepsi yang alam acara tersebut masih dilakukan baling suruh antara pengantin perempuan dan pengantin laki-laki, kacar kucur, dulang-dulangan atau pengantin saling menyuapi makanan dan potongan ayam yang telah di ingkung, sungkeman dan lain sebagainya. Pada upacara pernikahan di desa Gebugan masih terdapat acara mbesan yaitu keluarga dari pihak laki-laki datang ke tempat tinggal perempuan atau sebaliknya, biasanya acara mbesan dilasanakan pada saat resepsi.

  1. Mitoni

Mitoni atau tingkeban dilakukan pada saat usia kehamilan telah menginjak usia tujuh bulan. Dari dulu hingga sekarang upacar mitoni masih dilakukan oleh masyarakat desa Gebugan, acara mitoni dilakukan dengan tujuan mendoakan sang ibu dan jabang bayi agar selamat. Saat acara mitoni ini biasanya sang ibu yang sedang hamil menggunakan pakaian kebaya dan jarik. Setelah mandi biasanya sang ibu di dadah terlebih dahulu atau dipijat oleh dukun pijat. Pada acara mitoni dilakukan syukuran atau slametan yang mengundang para warga dan biasanya berkat atau makanannya berisi kudapan yang terdirri dari 7 macam sayuran, rujak yang terdiri dari 7 macam buah.

  1. Brokohan dan Berseh

Brokohan dan berseh dari zaman dahulu sampai sekarang masih tetap dilakukan oeh warga desa Gebugan. Brokohan yaitu sametan atau syukuran sebagai tanda syukur dan terimakasih kepada Yang Maha Kuasa atas kelahiran sang anak atau sang bayi. Setelah sang bayi puputan atau tali pusar sang bayi telah putus diadaan acara berseh yaitu slametan atau syukuran dan pencukuran rambut bayi.

  1. Upacara Kematian

Yaitu upacara yang dilakukan setelah orang meninggal, dari dulu sampai sekarang upacara tersebut masih dilaksanakan.Seperti “mitung dino” yaitu 7 harinya orang yang telah meninggal, biasanya pada acara mitung dino diadakan slametan dan acara mitung dino merupakan sebagai penanda hari terakhir tahlilan yang diadakan dirumah orang yang telah meninggal tersebut. Kemudian “matangpuloh” atau 40 harinya orang yang telah meninggal yaitu diadakannya slametan dan sebelum acara slametan biasanya warga yang diundang pergi kemakam orang yang meninggal tersebut untuk mengirim doa. Setelah 40 hari yaitu “nyatos” atau 100 harinya orang yang telah meninggal, acara yang dilakukan sama dengan acara pada saat 40 harinya orang yang meninggal. Kemudian mendhak 1 dan setelah itu mendhak 2 hingga sampai pada saat “nyewu” atau 1000 harinya orang yang telah meninggal, acara yang dilakukan seperti biasa yaitu lametan dan sebelum slametan warga yang diundang pergi kemakam orang yang telah meninggal tersebut untuk mengirim doa. Dan pada saat nyewu (1000) harinya orang meninggal biasanya berkat atau makanan yang diberikan kepada warga didalamnya diberi uang seribu yang dimasukkan dalam amplop dan dimasukkan ke beratnya.

  1. Bersih Desa

Merupakan kegiatan yang telah dilakukan masyarakat desa Gebugan dari dulu sampai sekarang yaitu kegiatan bersih desa yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga desa untuk membersihkan jalan ataupun membangun sebuah masjid, memperbaiki jalan, ataupun membangun selokan secara ramai-ramai.

  1. Kadeso

Merupakan acara yang sejak dahulu sudah dilakukan sampai sekarang,yaitu merupakan acara untuk memperingati hari ulangtahun desa Gebugan. Acara kadeso yaitu acara dimana didepan rumah lurah desa gebugan diadakan pertunjuan wayang kulit yang dilakukan satu hari satu malam untuk menghibur para warga desa Gebugan.Biasanya pada saat kadeso banyak orang-orang yang berjualan mainan, makanan secara berjejer-jejer atau warga desa Gebugan sering menyebutnya dengan istilah “eter”.

  1. Nyadran

Merupakan acara sedekah desa yang dilakukan oleh masyarakat desa Gebugan dari dulu hingga sekarang. Acara ini diadakan pada pagi hari dan para warga membawa makanan berupa nasi atau ketupat dengan lauk sambal tahu, tempe, bergedel, rempah dan ayam yang teah di ingung untuk dibawa ke makam leluhur desa Gebugan yaitu makam “Kyai Syeh Penanggalan”. Dimana yang membawa makanan tersebut haruslah laki-laki karena yang perempuan sudah mendapat bagian memasak makanan yang akan dibawa kemakam tersebut, disitulah seluruh laki-laki desa gebugan dari yang usia muda sampai usia yang sudah tua berkumpul di makam tersebut untuk tahlilan dan kemudian makan bersam.

  1. Syuronan atau Malam 1 Syuro

Pada saat malam satu syoru tiba warga desa gebugan biasanya berkumpul di tiap-tiap perempatan jalan untuk mengadakan syukuran makan bersama.Makananya berupa nasi dan gudangan lengkap engan lauknya dan warga makan bersama-sama dengan beralaskan daun pisang.Setelah acara makan bersama selesai biasanya para warga mengadakan lek-lekan atau para arga tidak tidur sampai pagi. Malam satu syuro bagi warga desa Gebugan dianggap malam yang sakral sehingga warga yang memiliki pusaka akan memandikan pusakanya dengan kembang 7 rupa dan dicampur dengan menyan.

DAFTAR PUSTAKA

Raffles, Thomas Stamford. 1994. History Of Java. Yogyakarta: Narasi.

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosiologi & Antropologi. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: