Legenda gunung bromo, suku tengger sudah banyak yang tahu tentang sejarahnya. Banyak yang membuat para wisatawan penasaran dengan gunung bromo. konon pada jaman dahulu kala ketika kerajaan majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah penduduk pribumi kebingungan untuk mencari tempat tinggal hingga pada akhirnya mereka terpisah menjadi 2 bagian yan pertama menuju ke gunung Bromo dan yang kedua menuju Bali. Ke 2 tempat ini sampai sekarang mempunyai 2 kesamaan yaitu sama – sama menganut kepercayaan beragama Hindu. Disebut suku Tengger di kawasan Gunung Bromo.
Desa ngadas adalah desa yang berada di atas gunung. Udara yang sangat sejuk dan masih begitu alami. Desa kecil yang sangat rukun dan damai. Desa yang sangat terpencil dan desa yang sangat kecil, hanya 682 jiwa. Laki-laki : 335 dan perempuan : 347. 1700m diatas puncak timur lawang. Mayoritas disana pekerjaanya sebagai petani, agama disana itu 99% beragama Hindu dan hanya 1% yang beragama islam. Pendidikan disana juga sangat minim sekali. Sarjana S1 hanya 3 orang, SMA 62 orang, SMP 120 lebih , ada yang tidak sekolah dan kebanyakan hanya sekolah lilusan SD.

Selama berjalannya waktu, mereka yang dulu sangat tradisional sekali menjadi menerima perubahan yang ada. Seperti sudah ada televisi, rumah sudah berbahan batu bata, kramik, dll. Bentuk rumah yang jauh berbeda disana sudah terlihat sangat jelas. Dibilang menerima perubahan, ya mereka sangat menerima perubahan sekali. Terlihat ketika jarang ada rumah zaman dahulu di desa tersebut.

Tepat sekali didepan homestay, melihat ada tulisan “ tempat penyewaan homestay “ . secara tidak langsung atau secara pemikiran logika, desa itu sudah menerima orang-orang asing atau wisatawan asing untuk menginap didesa mereka. Baru pertama kali menginjak desa ini, baru pertama kali juga melihat keindahan kawah gunung bromo. Kondisi masyarakat selalu berkembang, demikian juga dengan ilmu pengetahuan. Antropologi klasik meneliti disuatu tempat, satuan budaya dan sosial. Sekarang, penelitian lebih pada satuan isu. Satuan penelitian bukan orang per orang, tetapi perilaku yang hendak dijelaskan. Penelitian menjadi terbuka dan teori pun terus dikembangkan. Etnografi itu, oleh pelajar Eropa, lalu disusun menjadi karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Antropologi pun mulai bertujuan akademis, terutama untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan yang dalam pandangan mereka “ primitif “ agar diperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Peringatan upacara khasada

Upacara ini diperingati setiap tahunnya. Setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi dan di persambahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo. sampai sekarang kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Pak sasmito adalah seorang yang disucikan dalam upacara khasada tersebut. Kalau orang sana menyebutnya dengan sebutan Mbah Dukun. Sebutan itu disandangnya ketika seseorang sudah melewati seleksi untuk menjadi dukun. Seleksinya juga tidak mudah, ada cara pengetesannya juga. Pada pelaksanaan upacara khasada tersebut, kandidatnya di tes didepan dukun yang akan digantikannya. Diantara ketiga kandidat, pasti salah satunya akan mendapatkan wahyu dan bisa membacakan ritual-ritual tersebut. Setelah dukun baru kepilih, maka harus mempraktekkannya saat itu juga didepan masyarakat yang melakukan upacara tersebut. Beliaulah yang menjadi pemimpin upacaranya.

Antusias dari warga semakin tahun semakin bertambah banyak, tidak malah berkurang. Apalagi para wisatawan, kalau ada upacara khasada, sehari sebelumnya tempat penginapan yang ada di sekitar bromo ramai dikunjungi oleh wisatawan. Mereka yang penasaran akan pelaksanaan upacaranya, ritual apa yang dibacakan, pertunjukan apa yang ada sebelum upacara tersebut.

Upacara khasada dilakukan pada jam 12 malam. Dan beruntungnya, setiap upacara itu berlangsung, pasti bertepatan dengan musim kemarau. Jadi mereka tidak susah-susah untuk datang kesana dengan menggunakan payung dan jalan yang susah untuk dilewati. Dan upacaranya juga berjalan dengan lancar, tidak ada halangan apa-apa. Disana mereka mengenakan pakaian atasan hitam, dan membawa sesaji yang sudah dibuat sebelumnya. Dari desa ngadas sampai dengan pananjakan, mereka semua jalan kaki bareng-bareng.

Pak sasmito atau mbah dukun berkata “ kalau selama berjalannya upacara khasada, tidak pernah ada halangan apa-apa dan pasti lancar dan terjaga kesakralannya”. Jadi, wisatawan asing maupun wisatawan lokal tidak mempengaruhi kesakralan upacara tersebut. Karena mereka hanya diperbolehkan mengikutinya di belakang orang-orang yang membacakan ritual. Sebelum pembacaan ritual itu dimulai, pertama disajikan dulu tari-tarian tradisional. Untuk membuka perayaan upacar tersebut. Jadi tidak langsung membacakan ritual dan sesaji dilemparkan, tetapi ada pembukaannya juga.

Untuk pemerintahannya sendiri. Mereka hanya ikut membuka acara tersebut. Tidak ada ikut campurnya dengan pemerintah. Tidak ada Undang Undang yang mengatur upacara khasada itu harus seperti ini dan seperti itu. Itu tidak ada sama sekali. Karena itu adat tradisi, jadi mungkin mereka tidak berani mengaturnya. Takut kesakralan upacara khasada jadi berkurang. Walaupun mereka beragama non juga diperbolehkan ikut, asal mengikutinya dengan tertib dan tidak mengganggu. Kadang juga, wisatawan yang tidak bisa dibilangin bisa kesurupan. Tetapi dari orang-orang yang berpakaian hitam itu tidak ada yang kesurupan. Dari tahun ke tahun, apa yang sudah diyakini tidak pernah ada perubahan. Dari sesajinya, pakaiannya, ritualnya, itu semua tidak mengalami perubahan sama sekali. Masih tetap sama seperti pertama kalinya. Mereka takut kalau ada sesuatu yang menimpa dirinya, kalau seandainya perubahan itu terjadi. Yang susah di tata itu adalah para pemudanya, dari segi pakaiannya. Ya, mereka memang menggunakan pakaian hitam, tetapi kadang tidak hitam polos. Yang penting ada warna hitam atau dominan hitam. Cuma dari segi pakaiannya saja. Untuk masalah yang lainnya mereka masih tetap bisa diatur dan masih mau mengikutinya.

Keyakinan tentang adat tradisi yang sudah dilakukan turun temurun dan dari tahun ke tahun mereka percayai. Karena setelah melakukan adat tradisi tersebut, warga desa Ngadas dari segi ekonomi juga tidak ada masalah apa-apa. panennya juga alhamdulillah baik-baik saja, malah semakin baik dan bertambah banyak hasil panennya. Kehidupan di desa Ngadas juga semakin tentram, damai dan sejahtera.

Toleransi antar agama yang ada didesa Ngadas sangat baik. Mereka bisa melakukan hal itu. Tidak ada yang namanya membenci atau tidak rukun dengan agama lain. Mereka sangat menerima perbedaan itu. Karena perbedaan itulah yang akan menyatukan mereka dalam keadaan apapun. Kerukunan yang paling utama. Ada masjid juga di Desa Ngadas dan ada yang menyuarakan adzan juga setiap ada waktu solat telah tiba. Dengan pendekatan Antropologi, bukan berarti masyarakat harus menjadi museum hidup. Perubahan mau tidak mau akan dialami masyarakat, apapun kondisi masyarakat yang bersangkutan. Mereka yang hidup dipedalaman sekalipun kelak akan mengalami perubahan dengan masuknya kemajuan teknologi dan program pemerintah. Proses perubahan sulit dielakkan. Akan tetapi, yang terpenting ialah perubahan harus sesuai dengan aspirasi masyarakat agar tepat dan berguna, seperti yang ada di desa Ngadas, yang sudah bermunculan televisi, motor, mobil dan teknologi lainnya. Seperti layaknya masyarakat biasa.