Banyak yang menggemakan konsrvasi dari berbagai sudut, berbagai kalangan, maupun dari berbagai profesi. Konservasi seakan diibaaratkan sebagai kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan kondisi bumi tempat kami para manusia berpijak telah menua. Pertanda ini dilihat dari sisi berubahnya iklim, kondisi cuaca yang tak menentu, munculnya bencana alam, dll. Penuaan bumi ini seyogyanya wajar saja terjadi dan akan tetap stabil apabila kita mampu mengimbangi bumi. Namun pada kenyataannya justru berlawanan. Manusialah yang merusak tatanan alam ketika proses penuaan bumi itu berlangsung.

Kondisi yang memprihatinkan ini kemudia dibarengi dengan munculnya solusi berupa “konservasi” di segala bidang kehidupan. Bermula dari konservasi alam, kemudian berlanjut menjadi penerapan pada segala bidang yang dibarengi konservasi. Gema konservasi ini disuarakan oleh para pecinta lingkungan, para aktivis lingkungan, hingga para aktivis academica. Sehingga konservasi merembet masuk ke kalagan pendidikan. Salaha satunya adalah UNNES ini.

Dalam penerapannya, konservasi justru terkesan dipaksakan. Hal inilah yang membuat perjalanannya lambat. Pemaksaan ini tentunya bukan tanpa sebab, mungkin lebih menginginkan agar pelakunya terbiasa dan mencintai kebiasaan itu. Penyadaran tentang konservasi haruslah melalui proses dan bukan dipaksakan secara intens harus langsung terasa hasilnya. Kepekaan manusia lah yang harusnya dibenahi agar mampu kembali memperhatikan tatanan alam. Akan percuma dan sia – sia apabila konservasi di kampus tanpa dibarengi dengan penerapannya di kehidupan bermasyarakat. Konservasi itu dari hati, untuk negeri.

Leave a Reply

Skip to toolbar