Archive for ◊ July, 2020 ◊

• Monday, July 06th, 2020

 

Fiqih dan Protokoler Kesehatan
Oleh Agung Kuswantoro

Sudah saatnya, masuk unsur protokoler kesehatan dalam suatu ibadah. Dulu, bisa jadi belum ada. Masih konsen “khusuk” dalam ibadah. Namun, sekarang tidak cukup.

Misal, rapatkan shof saat sholat. Bentar lagi, (insya Allah) penyembelihan hewan kurban dan sholat Idul Adha.

Nanti, pasti ada protokoler cara penyembelihan hewan kurban. Mulai dari, orang yang menyembelih harus bermasker. Pisau hanya untuk satu orang. Dan, aturan kesehatan lainnya.

Demikian juga, sholat Idul Adha, pasti akan ada jaga jarak dalam sholat. Khutbah tidak terlalu lama. Usai shalat, tidak berkerumun.

Lalu, apakah fiqih dalam suatu ibadah itu berubah? Atau, akan ada tambahan dengan menyertakan unsur protokoler kesehatan? Dan, bisakah keduanya (fiqih dan protokoler kesehatan) bisa selaras?

Misal, dalam hadits mengatakan: “rapatkan barisan sholat sebagai keutamaan sholat”. Untuk saat ini, justru “longgarkan” barisan sholat. Bahkan, ibadah haji saja bisa dibatalkan (hanya), karena faktor kesehatan.

Itu artinya, faktor kesehatan juga perlu. Orang bisa ibadah karena sehat. Namun, orang yang sehat, belum tentu melakukan ibadah.

Buktinya, ada orang sehat tapi tidak berpuasa di bulan Ramadhan, meskipun ia tidak punya halangan apa pun. Atau, orang sehat bugar, namun tidak melakukan sholat.

Jadi, ibadah juga perlu diatur. Mulai dari segi kesehatan dan ilmu yang menyertai ibadah tersebut. Ada orang sehat, namun tidak beribadah.

Mari, buka kitab kita. Perluas pemahaman kita. Baca literatur yang valid. Dan, “melek” terhadap kondisi saat ini. Wallahu ‘alam.

Semarang, 7 Juli 2020
Ditulis di rumah, jam 00.10-00.20. more…

• Monday, July 06th, 2020

Kangen Madrasah
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Riris dan Nisa, kedua santri yang pernah belajar di Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam. Mereka belajar sejak berdirinya, Madrasah. Saya, umi Lu’lu’, dan Ustad Belardo pernah menjadi gurunya.

Sekarang, mereka belum/tidak belajar lagi Madrasah. Lantaran, harus pindah sekolah ke Purwodadi. Sedangkan, Riris masih banyak kendala untuk belajar ke Madrasah. Mengingat usia Riris sudah beranjak remaja dan kesibukannya, mulai padat. Sehingga, Riris belum bisa mengatur waktunya.

Entah pada yang dibenak pikiran mereka. Kemarin (Ahad, 5 Juli 2020) mereka datang ke Madrasah. Kebetulan, sedang ada perbaikan sarana prasarana Madrasah, sehingga saya mondar-mandir ke tempat itu.

Dari jauh, saya mengira yang datang ke Madrasah adalah Mbah Karno. Mbah Karno adalah yang membantu saya mengecat kerai. Karena, mereka duduk di tempat yang buat ngecat.

Setelah saya perhatikan dan mendekati, bukanlah Mbah Karno. Tetapi, Riris dan Nisa. Agak asing pemandangan ini.

Mereka bercengkrama dan duduk di luar Madrasah. Saya bertanya kepadanya: “Mengapa ke Madrasah?”

Jawab spontan Nisa kepada saya: “Saya kangen Madrasah, Pak Agung. Untuk ngaji lagi.”

Terus Riris menjawab: “Ingin ngaji lagi, kaya dulu”. “Yang jalan kaki setelah pulang sekolah.”

Mengingat masa lalu mereka saat mengaji ke Madrasah, bahwa mereka berdua datang selalu bersama. Pulang juga, bersama. Kebetulan, mereka satu kelas. Yaitu, kelas D.

Cerita lugu kedua anak yang menjelang ABG/Anak Baru Gede menjadikan pembelajaran bagi saya, bahwa: “Apapun yang kita lakukan untuk berbuat baik kepada sesama, pasti akan diingat oleh orang tersebut.”

Bisa jadi, yang dilakukan adalah kebaikan. Maka, yang diingat kebaikannya.

Sebaliknya, yang dilakukan keburukan. Maka, yang diingat adalah keburukan.

Semoga, ingatan mereka tentang Madrasah adalah suatu kebaikan. Saya, istri, dan Ustad Ustadzah ingin “menanamkan” kebaikan. Syukur, menyampaikan ilmu yang bermanfaat ke santri.

Itulah kisah sederhana dari mantan santri kita yang sudah pindah ke kota lain dan sudah beranjak dewasa. Semoga apa yang saya dan Ustad berikan waktu dulu di Madrasah bermanfaat hingga meninggal dunia, kelak. Amin. Doakan kami juga, ya, Nisa dan Riris agar bisa terus berjuang pada jalan “ilmu” Allah melalui Madrasah di daerah Gang Pete Selatan 1 ini.

Semarang, 6 Juli 2020
Ditulis di rumah, jam 04.15 — 04.30 WIB.

• Saturday, July 04th, 2020

 

Ingat Lek Syukur (Almarhum)
Oleh Agung Kuswantoro

Tiap kali membuka dan membaca atas buku yang saya tulis – berjudul “Mari Bicara Islam di Sekitar Kita (2019)”—selalu ingat dengan Lek Syukur. Almarhum – saya menyebutkan dalam tulisan ini – adalah adik dari Ibu saya. Almarhum sangat dekat dengan kehidupan keluarga saya. Terlebih, saat saya kecil. Tepatnya, waktu itu saya yatim. Almarhum atas izin Allah diberi karunia rizki untuk berbagi kepada sesama, termasuk kepada saudaranya yang belum/tidak mampu. Anak yatim, juga termasuk.

Hampir tiap tahun, menjelang Idul Fitri, almarhum memberikan alat solat berupa sarung – bermerek Atlas dan amplop – kepada saudara lelaki dan orang-orang terdekatnya. Kenangan itulah yang sangat melekat dalan benak pikiran saya. Usia saya waktu itu SD. Tahun 1991 hingga 1995, kurang lebih itu tahunnya.

Hal yang menjadikan semangat meneladani dan motivasi saya untuk berbagi kepadanya adalah suka membaca. Pertemuan terakhir saya di Bandar, Batang, Jawa Tengah – lupa tahun berapa – dengan almarhum mengatakan, bahwa “buku-buku karangan saya, ia membacanya”. Mulai dari buku berjudul “Mengambil Hikmah dari Kehidupan seri 1 dan 2 (2014 dan 2016), dan beberapa artikel yang belum sempat saya bukukan.

Ketertarikan membaca dan hasil bacaaan (review) atas buku karya saya disampaikannya secara langsung kepada saya. Mulai dari isi dan segi penyajiannya atas buku saya yang saya tulis. Mendengarkan ulasan dari almarhum, menjadikan saya semangat untuk berbagi buku lagi. Waktu itu tahun 2019, buku saya yang baru cetak sebagaimana pada paragaraf pertama di atas.

Posisi almarhum waktu itu ada di Bandar, saya datang untuk bersilaturahim kepadanya. Saya berangkat dari Semarang bersama keluarga lengkap. Ada kedua anak lelaki dan istri.

Tepat di bulan Syawal, sekaligus untuk saling memaafkan. Saya datang membawakan buku tersebut untuk diserahkan secara “spesial” kepadanya. Hanya almarhum yang saya berikan. Yang lain, belum saya berikan.

Almarhum berkata kepada saya, bahwa “buku yang saya tulis berisi pesan-pesan kehidupan yang baik”. “Ringan, tapi berisi”. Ia langsung membuka plastik sampul buku dan membaca beberapa judul dari isi buku tersebut. Waktu itu, saya di sampingnya. Itulah kenangan terakhir, saya bersamanya.

Almarhum adalah orang yang dermawan dan suka membaca. Lalu, almarhum orang yang dapat mengapresiasi atas sebuah karya. Sehingga, saya bersemangat untuk mengikuti sifat-sifat baiknya tersebut.

Semoga saya dapat meneladani, mengikuti, dan mempraktikkan atas amalan baiknya. Terimakasih saya menyampaikan kepada keluarga besar almarhum – Lek Jum, Dek Nurul, dan Dek Iis – atas perhatiannya selama ini kepada keluarga dan orang-orang yang telah diberikan bantuan berupa material dan nonmaterial kepada kami. Insyaalah akan mejadi amal yang tidak terputus hingga mengantarkan ke Surga. Amin. []

Semarang, 4 Juli 2020

Ditulis di rumah, jam 04.00- 04.15 WIB.

Keterangan: Gambar diambil saat bersilaturahim di Bandar.

• Thursday, July 02nd, 2020

Menyikapi Keadaaan (Masih) Korona
Oleh Agung Kuswantoro

“Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar itu; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguh, Allah berkuasa atas segala sesuatu” (QS. Al baqoroh 19-20).

Hampir empat bulan keadaan seperti ini. Korona datang ke Indonesia. Tepatnya pertengahan Maret 2020, negara Indonesia “disibukkan” dengan kehadiran makhluk Allah itu. Makhluk yang sangat kecil, namun membingungkan isi jagad raya.

Padahal, Islam sudah mengenalkan bab thoharoh/sesuci dengan cara wudhu. Sebelum wudhu disunahkan dengan mengalirkan air ke telapak tangan. Dalam bahasa kitab dalam memaknai diistilahkan dengan “icik-icik”.

Mengambil istilah dalam kedokteran, cara menghilangkan virus Korona, salah satunya adalah dengan rajin cuci tangan. Di Islam, ada wudhu. Berwudhu tidak hanya saat sholat saja, namun bisa dengan saat akan bekerja, bepergian, atau aktifitas lainnya.

Kehadiran Korona di muka bumi ini, menyadarkan akan pentingnya wudhu. Beberapa orang berpendapat, bahwa kedatangan Korona agar umat Islam untuk berlatih dayamul wudhu/melanggengkan wudhu.

Sebagai orang muslim, kehadiran Korona itu jangan ditakuti, namun harus diambil sisi positifnya. Karena, Korona itu tidak punya kesalahan dan dosa apa pun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia di muka bumi. Korona bukan bagian dari jin dan manusia, yang kelak akan bertanggung jawab perilakunya di “forum” hisab Allah kelak di akhirat (Emha, 2020.17).

Saat ada wabah pandemi Korona, beberapa tempat/negara menerapkan kebijakan/lockdown/mengasingkan diri. Ada contoh yang sangat bagus mengenai lockdown, dimana tidak tanggung-tanggung lockdown-nya, yaitu 309 tahun. Tidak cukup lockdown, seperti sekarang 14 hari atau baru 4 bulan saja.

Siapa yang berhasil lockdown 309 tahun? Jawaban secara tegas al-Qur’an mengatakan yaitu Sahabat Kahfi dan satu hewan anjing yang bernama Kitmir.

Allah-lah yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Bukan manusia/makhluk/Korona yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Jika Allah yang me-lockdown, maka Allah akan membantu dan mempermudah urusan hambanya tersebut. Presiden/Negara/Gubernur/Pemerintah Daerah itu tidak menanggung biaya hidup warganya di tempat yang ia tinggali. Namun, Allah-lah yang menanggung dan mencukupi biaya hidupnya.

Lalu, bagaimana agar Allah me-lockdown seorang hamba? Pastinya, Allah memiliki kriteria yang tinggi. Minimal, hamba tersebut beriman kepada Allah. Percaya totalitas kepada Allah mengenai makan, minum, tidur, melek, merem, hidup, dan mati mengenai kehidupan di dunia. Dipasrahkan totalitas ke Allah.

Sahabat Kahfi saat di Gua—urusan makan, minum, tidur, rasa senang, dan sedih—itu semua yang menanggung Allah. Terlebih, kondisi di luar Gua dalam keadaan tidak aman. Sang Raja/Presiden bersikap semena-mena, otoriter, dan menyembah kepada berhala. Secara ketauhidan jauh dari ajaran-ajaran Allah.

Dengan cara me-lockdown diri (Sahabat Kahfi) di Gua. Sahabat Kahfi, justru menemukan Allah. Ia “asyik” di Gua melakukan melakukan ibadah, berdoa, berdzikir, dan merenung hidupnya. Terlebih, mereka adalah anak muda. Masih tinggi nafsunya, namun ia sanggup menahannya. Mereka kuat menahan godaan dunia, hanya bermodalkan iman.

Lalu, bagaimana saya dan Anda menyikapi keadaan ini. Sabar! Belajar dari Sahabat Kahfi. Beberapa ahli sudah memprediksikan kejadian ini hingga Desember 2020. Sektor pendidikan yang terakhir dibuka kegiatannya, sehingga Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren yang berada di zona merah seperti Kota Semarang masih off/tidak ada kegiatan pembelajaran.

Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan:

1. Korona mengajarkan umat Islam untuk rajin berwudhu. Syukur dapat belajar dayamul wudhu.

2. Korona hanya makhluk kecil yang besok di Akhirat tidak ditanyai oleh Malaikat Mungkar dan Nakir atas sikapnya di dunia—yang katanya—telah merugikan jagad alam raya ini.

3. Belajarlah cara lockdown yang benar seperti kisah Sahabat Kahfi dalam al-Qur’an. Biarlah yang me-lockdown itu Allah. Jika Allah yang me-lockdown, maka semua menjadi mudah. Biaya hidup yang menanggung Allah. Hanya bermodal iman saja.

Semoga bermanfaat. Amin.

Semarang, 2 Juli 2020
Ditulis di UPT Kearsipan UNNES jam 09.30 – 10.00 WIB.